Jilid 1-2. Tangan Hong Sie Nio

Kepala ular kepala dua seperti pecah dengan mendadak, mejadi berkeping keping.
Perempuan yang duduk dalam keadaan telanjang bulat didalam bak mandi, benarkah Hong Sie Nio yang namanya menggemparkan dunia persilatan, dan yang setiap orang yang melihatnya pasti menjadi pusing kepala?

Ia benar benar tidak percaya, tetapi juga tidak bernai tidak percaya. Kakinya sudah melangkah mundur, sudah tentu yang lainnya sudah mundur lebih cepat lagi.
Dengan sekonyong konyong terdengar suara bentakan perlahan yang keluar dari mulut Hong Sie Nio: “Jangan bergerak!”

Setelah semua orang itu benar benar tidak bergerak, dari wajahnya barulah tampak pula sedikit senyumnya, senyumnya itu masih tetap demikian lemah lembut, dan demikian menggiurkan. Kemudian ia berkata sambil tertawa: “Kalian sudah mengintip orang perempuan mandi, dengan begitu saja kalian kira bisa pergi?” “Lalu...kau mau apa?” bertanya si ular kepala dua.

Meskipun suaranya sudah agak gemetaran, tetapi sepasang matanya masih terbelalak lebar, sewaktu menyaksikan dada terbuka dari Hong Sie Nio yang tubuhnya padat, nyalinya mendadak menjadi besar lagi” katanya sambil tertawa dingin: “Apakah kau masih ingin kami menyaksikan tubuhmu lebih jelas lagi?” “Oh...kiranya kau menghina aku karena tidak berpakaian? Apakah kau kira aku tidak berani melompat mengejar kalian?” “Benar, kecuali sewaktu kau mandi ada juga membawa senjata, sekalipun kau duduk didalam bak mandi juga bisa membunuh orang” berkata ular kepala dua sambil perdengarkan suara tertawanya yang aneh.

Hong Sie Nio menghela napas, ia mengangkat tangannya dan berkata: “kalian lihat....apakah tanganku ini mirip dengan tangan seorang pembunuh?”
Jari jari sepasang tangan itu, tampakanya demikian putih halus seperti tidak bertulang, juga seperti bunga yang indah.
“Tidak mirip” jawab ular kepala dua.
“Aku lihat juga tidak mirip, tetapi yang aneh, ada kalanya tangan ini justru bisa membunuh orang!”
Kedua tangannya itu digerakkan dengan perlahan, dari sela sela jari tanganya tiba tiba melesat keluar sepuluh lebih sinar berkilauan.
Selanjutnya baru ketahuan, bahwa itu adalah serentetan suara jeritan, maka setiap orang, telah tertancap sebatang jarum perak, siapapun tidak melihat dengan nyata jarum jarum itu dilancarkan dari mana.
Maka siapapun juga tidak ada yang mengelak.
Hong Sie Nio kembali menghela napas, katanya seperti menggumam sendiri:
“Mengintip orang perempuan mandi, bisa tumbuh jarum dimatanya, apakah ucapan ini kalian belum pernah dengar?”

Tujuh delapan orang itu semua dengan menggunakan tangannya untuk menutupi mata masing masing, rasa sakit membawa mereka bergelimpangan di tanah.
Suara jeritan tujuh delapan orang itu yang diperdengarkan dengan berbareng ternyata masih belum membuat hong Sie Nio menutup telinganya, sebab ia masih sedang memeriksa sepasang tangannya sendiri.
Lama ia memeriksa tangnnya, barulah menutupi matanya dan berkata sambil menghela napas. “Sepasang tangan yang baik baik tidak digunakan untuk menyulam, sebaliknya digunakan untuk membunuh orang, benar benar sangat sayang....”

Dengan mendadak suara jeritan itu berhenti semua, seolah olah dalam waktu sekejap mata berhenti dengan berbareng, Hong Sie Nio mengerutkan alisnya, memanggil dengan suara perlahan.
“Hoa Peng?”

Di luar tidak ada suara, hanya suara angin yang meniup daun daun diatas pohon hingga memeperdengarkan suara bekeresekkan.
Lama telah berlalu, baru terdengar suara golok masuk kedalam sarungnya.
Bibir Hong Sie Nio tersungging senyuman, katanya pula: “Aku tahu kau yang datang! Kecuali kau, siapa lagi yang dapat membunuh tujuh delapan orang itu dalam waktu sekejap mata? Siapa lagi yang bisa menggunakan golok demikian cepat?”
Diluar masih tetap tidak terdengar suara orang menjawab.

Hong Sie Nio berkata lagi: “Aku tahu kau yang membunuh mereka, disebabkan supaya mereka tidak terlalu lama menderita, aku tidak tahu sejak kapan hatimu berubah demikian lemah?”
Sesaat kemudian dari luar baru terdengar suara orang berkata perlahan:
“Hong Sie Nio kah yang ada didalam?”
“Syukur kau masih mengenali suaraku, ternyata kau masih belum lupa padaku.” menjawab Hong Sie Nio sambil tertawa.
“Kecuali Hong Sie Nio, didalm dunia ini masih ada siapa lagi diwaktu mandi juga mebawa bawa senjata rahasia?” berkata Hoa Peng.

Hong Sie Nio tertawa terkekeh kekeh, kemudian berkata:
“Kiranya kau juga sedang mengintip aku yang sedang mandi, ya? Kalau tidak, darimana kau bisa tahu kalau aku sedang mandi?”
Hoa Peng seolah olah tidak mendengar ucapannya.
Hong Sie Nio berkata: “Kalau kau sudah melihat, mengapa kau tidak mau masuk terang terangan saja?”
“Kau pergi meninggalkan daerah ini enam tujuh tahun lamanya, bukankah kau sudah merasa aman? Mengapa sekarang kau kembali lagi?”
“Sebab aku memikirkan kau”

Hoa Peng kembali bungkam. “Apakah kau tidak percaya kalau aku memikirkan kau? jikalau aku tidak memikirkan kau, mengapa aku sampai datang kemari ini untuk mencarimu?”
Hoa Peng kembali bungkam, hanya terdengar suara elahan napasnya.
“Mengapa kau terus menerus menghela napas? Apakah kau kira aku datang mencarimu itu artinya mesti aku membawa urusan tidak baik? Seorang sudah menjadi jaya, kawan lamanya juga tidak ingin melihat lagi?”
“Pakailah pakaianmu, sebentar aku tengok kau”
“Aku sudah berpakaian, masuklah!”
Orang yang dipanggil Hoa Peng tadi akhirnya kini sudah berada diambang pintu. Wajahnya yang memang banyak guratan, ketika melihat Hong Sie Nio masih duduk didalam bak mandinya dalam keadaan telanjang bulat, wajahnya dengan mendadak seperti bertambah banyak guratannya.
Hoa Sie Nio tertawa terkekeh kekeh kemudian berkata:
“Ada orang sengaja mengintip aku mandi, maka aku lalu membunuhnya, sedang kau yang tidak ingin melihat, sebaliknya aku membiarkan kau menyaksikannya”

Hoa Peng sebetulnya perperawakan pendek, tetapi siapapun semua tidak ada yang menganggap ia seorang pendek, sebab ia bertubuh kekar dan ototnya tampak sangat kuat, tampaknya bertenaga besar.
Waktu itu ia mengenakan mantel panjang warna hitam, namun diatas punggungnya masih tampak gagang goloknya yang diselubungi dengan kain warna merah.

Hoa Peng bisa menjadi kepala semua berandal didaerah Koan tiong, justru disebabkan goloknya itu.
“Kudengar kabar beberapa tahun berselang kau telah membunuh mati Koo Hui, si jago pedang didaerah Tay goan, apakah itu benar” bertanya Hong Sie Nio.
“Ya" menjawab Hoa Peng.
“Kabarnya sepasang golok gunung Tay heng san dua saudara Teng juga kalah dibawah golokmu. Itu juga betul?”
“Ya !” jawab Hoa Peng.
Orang she Hoa ini bukan saja tidak berani memandang Hong Sie Nio, bahkan bicarapun tidak suka banyak.

“Koo Hui dan dua saudara Teng semua adalah orang orang terkuat dalam rimba persilatan, kau ternyata bisa membunuh mereka, suatu bukti bahwa ilmu golokmu sudah semakin cepat lagi”
berkata Hong Sie Nio sambil tertawa.
Kali ini sepatah katapun tidak keluar dari mulut Hoa Peng.
Hong Sie Nio bekrata lagi: “Aku kemari, sebabnya ialah hendak melihat ilmu golokmu yang cepat!”

Wajah Hoa Peng mendadak berubah, katanya dengan suara berat
“Benarkah kau hendak melihat?”
“Kau tidak usah panik, aku bukan mencari kau untuk bertanding, sebab aku tidak suka mati dibawah golokmu, juga tidak tega membunuh kau” berkata Hong Sie Nio sambil tersenyum.

Perobahan wajah Hoa Peng tadi lama sekali baru pulih seperti biasa, lalu katanya dengan nada suara dingin:
“kalau begitu, kau tak usah melihat lagi sajalah”
“Mengapa?”
“Sebab golokku ini hanya dapat digunakan untuk membunuh orang, sama sekali bukan buat ditonton!”

Sepasang biji mata Hong Sie Nio yang jelita tampak berputaran, katanya sambil tertawa:
“Tetapi bagaimana kalau aku justru hendak melihatnnya?”
Hoa Peng yang sejak tadi hanya dia saja, tiba tiba berkata:
“Baik, kau lihatlah!”

Anak Berandalan » Jilid 1

Sinar Matahari pagi menembusi kertas tipis tutup lobang daun jendala sebuah kamar mandi, menyinari tubuh seorang wanita muda yang putih halus licin bagaikan gading.
Suhu air panas yang digunakan untuk merendam tuibuhnya, mungkin sama dengan suhu sinar matahari pagi itu. Ia dengan malas malasan terlentang di dalam bak mandi berisi air panas, sepasang kakinya yang runcing halus diletakkan tinggi tinggi diatas pinggiran bak, membiarkan telapak kakiknya disoroti oleh sinar matahari pagi....ia membayangkan, itulah tangan kekasihnya yang sedang mengelus elus kakinya.

Tampaknya ia sangat senang dan gembira sekali dengan cara mandi demikian. Setelah melakukan perjalanan hampir setengah bulan lebih lamanya, cara mandi demikian telah membuat ia melupakan segala keletihan selama dalam perjalannya yang panjang itu. Sekujur tubuhnya semua terendam dalam air hangat, hanya bagian kepada dan mukanya dengan sepasang matanya yang setengah terbuka saja yang berada diatas permukaan air, dengan matanya itu memandang kearah kakinya yang indah.

Sepasang kaki itu pernah mendaki gunung yang tinggi, pernah menyebrangi sungai yang dalam, pernah melakukan perjalanan tiga hari tiga malam berturut turut digurun pasir yang panas, juga pernah melakukan perjalanan diatas air sungai yang sudah membeku menjadi salju.

Sepasang kaki itu pernah menendang sampai mati tiga ekor srigala kelaparan, seekor kucing liar, pernah menginjak sampai mati entah berapa banyak ekor ular berbisa, pernah juga menendang diri seorang kepala berandal yang banyak tahun mengganas digunung Kie lian san, hingga terjatuh kedalam jurang yang dalam.

Tetapi sekarang, sepasang kaki itu tampak dan masih tetap demikian runcing dan indah, demikian halus dan putih bersih, sedikit cacatpun tidak dapat ditemukan. Biarpun seorang gadis pingitan yang belum pernah melangkah keluar dari dalam kamarnya, belum tentu memiliki kaki yang demikian indah sempurna.
Dalam hatinya ia merasa puas.

Diatas perapian masih terdapat air panas. Ia lalu menambah lagi air panas kedalam bak mandinya. Meskipun air itu sudah cukup panas, tapi ia masih perlu menambah panas sedikit lagi, sebab ia paling senang dirinya dipanasi demikian rupa.
Ia suka sekali dengan berbagai jenis dan berbagai cara yang mengandung ketegangan.
Ia suka menunggang kuda yang bisa lari paling cepat, mendaki gunung yang paling tinggi, makan hindang yang paling pedas, minum arak yang paling keras, mainkan senjata yang paling tajam, membunuh orang yang paling jahat.

Orang lain sering berkata: “Ketengangan urat syaraf paling mudah membuat orang perempuan lekas tua”
Akan tetapi pepatah kata itu tidak berlaku baginya. Matanya, buah dadanya masih tetap membusung tinggi dan padat. Pinggangnya masih tetap ceking langsing, perutnya pun masih tetap rata, sepasang kaki dan pahanya padat kuat. Pendeknya, sekujur tubuhnya dari atas sampai kebawah, semua menunjukkan tubuh indah, dan padat sekali, kulitnya putih bersih bagaikan sutera.
Sepasang matanya jernih, kalau tertawa lesung pipitnya yang dekik itu dapat menggerakan hati setiap laki laki yang melihatnya. Siapapun mungkin tak akan percaya kalau ia adalah seorang wanita muda yang sudah berusia tigapuluh tiga tahun.

Selama tigapuluh tiga tahun itu, wanita muda yang bernama Hong Sie Nio ini dapat menjaga dirnya benar benar. Ia mnengerti di dalam keadaan dan suasana bagaimana harus mengenakan pakaian macam apa, ia mengerti terhadap orang bagaimana harus mengucapkan perkataan apa, ia mengerti kalau makan sesuatu barang hidangan yang paling cocok harusnya ditimpali dengan arak yang bagaimana, ia juga mengerti harus menggunakan gerak tipu macam apa untuk membunuh lawan yang bagaimana!
Ia mengerti seluk beluknya penghidupan, ia juga mengerti bagaimana harus menikmati hidup.

Orang seperti dia, didalam dunia ini tidak banyak jumlahnya. Ada banyak orang yang mengiri terhadapnya. Tak kurang orang dengki padanya; tetapi ia sendiri sudah cukup merasa puas. Cuma ada satu hal yang belum bisa membuat ia puas benar benar.
Hal itu adalah kesepian.
Tidak peduli hal hal apa yang menegangkan urat syarafnya juga tidak dapat menghapuskan rasa kesepiannya itu.

Sekarang perasaan letihnya yang terakhir juga lenyap didalam air. Waktu inilah ia baru menggunakan handuk putih, menyeka tubuhnya. Handuk yang halus puith telah menyeka tubuh dan kulitnya, tentunya membuat orang merasakan kenikmatan yang tidak dapat dilukiskan. Tetapi, ia sesungguhnya ingin sekali merasakan, yang menyeka tubuhnya itu adalah tangan seorang laki laki.
Tangan laki laki yang dicintainya.
Betapapun halus lembutnya handuk sutera juga tidak dapat dibandingkan dengan tangan dari kekasih, dalam dunia ini tiada sebuah bendapun yang dapat menggantikan tangan seorang kekasih.

Termangu mangu ia memandang tubuhnya sendiri yang licin putih bersih, hampir tidak ada sedikitpun nodanya, dalam hatinya sekonyong konyong timbul perasaan sedih.
Mendadak, di jendela, pintu dan dinding dinding kamar mandi itu, dalam waktu bersamaan terdapat tujuh delapan lobang. Disetiap lobang tampak menojol kepala orang, setiap muka kelihatan sepasang matanya yang rakus.
Ada yang tertawa cekikikan, ada yang memandangnya dengan mata terbuka lebar sampai tidak sempat tertawa. Tapi yang terang kebanyakan orang laki laki kalau sudah menyaksikan tubuh seorang perempuan yang cantik dalam keadaan telanjang bulat, dalam waktu singkat saja bisa berubah seperti anjing, anjing kelaparan!

Lubang diatas lubang jendela itu yang letaknya paling baik, terpisah paling dekat, hingga bisa melihat paling jelas nyata. Orang yang menongolkan kepalanya dilubang ini, adalah seorang laki laki yang mukanya penuh daging menonjol, demikianpun kepalanya juga terdapat sebuah daging lebih yang besar, tampaknya seperti mempunyai dua kepala yang ditumpuk menjadi satu, orang semacam ini sebetulnya sangat memuakkan.
Yang lainnya juga tidak lebih baik dari pada orang ini, sekalipun seorang laki laki kalau sedang mandi dan mendadak dilihat begitu banyak orang, barangkali juga akan merasa terkejut dan ketakutan setengah mati.

Akan tetapi bagi Hong Sie Nio, seorang wanita yang lain dari pada yang lain, ia sedikitpun tidak menjukkan perobahan sikap apa apa, bahkan masih dengan tenangnya duduk setengah badang didalam bak mandinya dengan handuknya yang halus dan putih menyeka tubuh dan tangannya sendiri.

Ia sedikitpun tidak menghiraukan orang orang itu, sedikitpun tidak mau angkat muka menegornya. Ia hanya memerhatikan jari jari tangnnya yang runcing halus. Perlahan lahan jari tangan itu diseka kering, barulah ia unjuk tertawanya yang hambar, dan setelah itu disusul oleh kata katanya, “Apakah tuan tuan selamanya belum pernah melihat orang perempuan mandi?”

Tujuh delapan orang laki laki itu semua tertawa dengan berbareng. Seorang laki laki yang baru mangkat dewasa, yang mukanya penuh jerawat, matanya dibuka paling lebar, tertawanya paling senang, ia yang mendahului kawan kawannya berkata, “Aku bukan saja sudah pernah lihat orang perempuan mandi, bahkan memandikan seorang perempuan, itu adalah keahlianku. Apakah kau suka kiranya kalau kuseka punggungmu dengan handuk halus itu? Kutanggung kau nanti akan merasa puas”

Hong Sie Nio juga tertawa, kemudian berkata sambil unjukkan senyumnya: “Punggungku justru sedang gatal sekali, kalau kau suka, lekaslah masuk!”
Sepasang mata pemuda itu sudah seperti lubang celengan, sambil tertawa besar ia mneggedor daun jendela hingga terbuka, ia sudah ingin lompat masuk, tetapi baru saja badannya bergerak, sudah ditarik oleh lelaki yang banyak tumbuh daign lebih dikepala dan mukanya. Tertawa pemuda tadi jadi lenyap seketika, dengan wajah pucat pasi dan membelalakkan lebar kedua matanya ia berkata kepada laki laki yang mencegahnya: “Kay Lo Jie, kau sudah mempunyai banyak istri, perlu apa masih hendak merebut orang lain punya?”

Kay Lo Jie tidak menunggu habis ucapannya, sudah membalikkan tangannya dan menampar sekeras kerasnya, sampai tubuh anak muda tadi terpental jauh.
Hong Sie Nio lalu berkata padanya: “Jikalau kau menggosok punggungku dengan caramu seperti memukul orang demikian keras, aku tidak sanggup menerima”
Kay Lo Kie mendelikkan mata kepadanya. Sepasang matanya mendadak beruba demikian buas dan kejam, seperti seekor ular berbisa yang hendak menerkam mangsanya. Suaranya juga demikian tidak enak, ia berkata sepatah demi sepatah: “Tahukah kau ini tempat apa?” “Jikalau aku tidak tahu, bagaimana aku bisa datang kemari?” demikian Hong Sie Nio balas bertanya.
Ia kembali perdengarkan suara tertawanya kemudian baru berkata lagi: “Disini adalah gunung Loan ciok san juga dinamakan gunung berandal, sebab orang yang berdiam digunung ini semua adalah kawanan berandal, sehingga pemilik rumah penginapan kecil ini yang nampaknya jujur, sebetulnya juga kawanan berandal”
“Kalau kau sudah tahu ini tempat apa, mengapa kau masih berani datang kemari?” kata pula Kay Lo jie dengan bengis. “Kedatanganku toh tidak mengganggu kalian, bukan? Aku hanya ingin meminjam tempat ini untuk mandikan diriku saja. Apa itu salah?” “Dimana saja kau toh bisa mandi. Apa sebanya kau sengaja datang disini untuk mandi?”
Sepasang mata Hong Sie Nio bergerak gerak. Katanya dengan suara lemah lembut: “Mungkin aku senang membiarkan diriku ditonton leh kawanan berandal, bukankah itu merupakan satu hal yang menegangkan urat syaraf”

Kay Lo Jie mendadak membalikkan tangannya, menghajar tiang jendela, hingga kayu kayu itu telah terpukul hancur olehnya, jelas bahwa pukulan tangan kosongnya sudah mencapai ketaraf yang cukup tinggi. Hong Sie Nio sebaliknya tetap berlaga seperti tidak pernah melihat, ia hanya menghela napas perlahan, dan katanya seperti menggumam sendiri: “Masih untung aku tidak suruh orang ini menggosok punggungku, tindakannya demikian kasar....”

Kay Lo Jie marah dan bentaknya dengan suara keras: “Dimata seorang bajingan tidak perlu kau berlaga, kau datang kemari sebetulnya ada keperluan apa? Lekas kau jawab dengan terus terang!”
Hong Sie Nio kembali tertawa dan kemudian baru berkata: “Kau benar benar tidak salah, aku dari tempat ribuan pal jauhnya dari sini datang kemari, sudah tentu tidak hanya lantaran hendak mandi saja”
Sepasang mata Kay Lo Jie bergerak dan memancarkan sinar berkilauan, katanya: “Apa bukan ada orang yang mengutusmu kemari untuk mencari berita?”
“Sekali kali tidak, aku hanya ingin menengok seorang kawan lama saja”
“Tapi disini mana ada kawanmu?”
“Bagaimana kau tahu kalau aku tidak punya kawan? Apakah aku tidak boleh berkawan dengan berandal? Mungkin aku sendiri juga berasal dari orang berandal yang belum kau ketahui”

Wajah Kay Lo Jie berubah seketika, tanyanya: “Siapakah kawanmu itu?”
“Aku juga sudah lama tidak ketemu dengannya, kabarnya selama beberapa tahun ini keadaanya boleh juga, ia sudah menjadi toako dari kawanan berandal di daerah Koan tiong, cuma masih belum tahu kau kenal orang yang kumaksud itu atau tidak”

Wajah Kay Lo Jie kembali berubah, tanyanya:
“Kawan kawan golongan hitam di daerah Koan tion, semua berjumlah tiga belas golongan. Setiap golongan ada seorang toako, tidak tahu siapa yang kau maksudkan itu?”
“Ia seperti sudah menjadi pemimpin besar dari tiga belas golongan berandal kalian” jawab Hong Sie Nio dengan hambar.

Kay Lo Jie kini tercengang, tak lama kemudian tiba tiba ia tertawa besar, dan berkata sambil menunding Hong Sie Nio, “Dengan perempuan seperti kau ini, juga apakah pantas berkawan dengan seorang pemimpin besar?”
“Mengapa aku tidak bisa berkawan dengannya? Tahukan kau aku ini siapa?”
Tertawa Kay Lo Jie berhenti dengan mendadak, sepasang matanya berputaran lama diatas diri Hong Sie Nio, lalu katanya dengan nada suara dingin:
“Kau siapa? Tidak mungkin kau Hong Sie Nio perempuan siluman itu?”

Hong Sie Nio tidak menjawab pertanyaan itu, sebaliknya ia balas bertanya:
“Kau ini bukankah seorang yang bernama Kay Put Tek yang mempunyai nama julukan ular kepala dua?”
Diwajah Kay lo Jie saat itu menunjukkan rasa bangga, katanya sambil tertawa:
“Benar, tidak perduli siapa, kalau melihat aku siular kepala dua semua harus mati!”
“Kalau kau benar memang ular kepala dua, aku terpaksa mengaku adalah Hong Sie Nio.”