Rahasia Mo Kau Kaucu Jilid 4-2

Asap dupa di ruang pemujaan masih mengepul tinggi, sehingga pernapasan terasa sesak, asap tebal di dalam rumah tak ubahnya seperti kabut dingin di luar hutan.

Pelan-pelan Han Tin letakkan Wi Thian-bing di atas pembaringan. Di depan meja pemujaan terdapat beberapa kasur bundar, seorang gadis berjubah sutra dengan rambut tergelung tinggi di atas kepala duduk di kasur bundar itu, kelihatan amat cantik. Alisnya turun, mata terpejam, duduk bersimpuh tak bergerak, mirip pendeta samadhi. Di sekian banyak orang beranjak masuk, ternyata dia tidak ambil perduli seperti tidak melihat tidak mendengar.

Tapi tak tertahan Han Tin berpaling mengawasinya. Laki-laki mana yang takkan keranjingan melihat perempuan cantik duduk di depannya, kecuali dia banci. Yang nyata Han Tin adalah laki-laki sejati. Sekilas dia memandang, tak tertahan dia melirik lagi. Mendadak terasa olehnya gadis ini mirip sekali dengan seseorang.

Mirip Ting Ling. Hong-long-kun yang sudah malang melintang di Kang-ouw, kenapa mendadak bisa berubah jadi perempuan? Sudah tentu Han Tin tidak gampang percaya begitu saja, namun semakin dipandang semakin mirip, umpama perempuan ini bukan Ting Ling, pasti dia adalah adik Ting Ling.

Lalu di mana Ting Ling berada? Jikalau dia sudah dibunuh Thi Koh, masakah kakak atau adiknya bisa duduk begitu anteng di sini? Han Tin bukan seseorang yang gampang ketarik pada sesuatu, biasanya diapun tidak suka mencampuri urusan orang lain, tapi sekarang dia benar-benar merasa aneh dan ketarik. Itulah sifat manusia dan Han Tin memangnya seorang manusia.

Thi Koh dan Sim Koh sedang sibuk mengobati luka-luka Wi Thian-bing, seperti tidak memperhatikan dirinya. Tak tertahan Han Tin maju mendekat, panggilnya dengan suara lirih: "Ting Ling."

Gadis jubah sutra tiba-tiba angkat kepala melirik kepadanya, tapi seperti tidak mengenal dirinya, sahutnya geleng-geleng kepala: "Aku bukan Ting Ling."

"Lalu kau siapa?" tanya Han Tin.

"Aku adalah Ting Hun-pin."

Ting Hun-pin. Agaknya Han Tin pernah mendengar nama ini, bukankah Ting Hun-pin adalah kekasih Yap Kay? Bagaimana mungkin paras mukanya mirip dengan Ting Ling? Memangnya apa sangkut pautnya dengan Ting Ling?

Kini gadis jubah sutra sudah menunduk dan pejamkan matanya lagi.

Thi Koh justru sedang perhatikan gerak-geriknya. Begitu Han Tin berpaling, seketika dia bentrok dengan sorot mata Thi Koh, sinar matanya yang lebih tajam dari ujung golok. Sedapat mungkin Han Tin tenangkan diri, katanya tertawa nyengir: "Beliau sudah lolos dari bahaya, bukan?"

Thi Koh manggut-manggut, mendadak dia bertanya: "Menurut pandanganmu dia Ting Ling atau Ting Hung-pin?"

"Sukar aku mengenalnya." sahut Han Tin. Jawabannya memang jujur, dia benar-benar tidak bisa membedakan.

"Seharusnya kau bisa membedakan, siapapun harus bisa membedakan bahwa dia seratus persen adalah perempuan."

"Sekarang dia memang seorang perempuan." ujar Han Tin.

"Memangnya dulu bukan?"

"Aku hanya heran." ujar Han Tin tertawa. "kenapa Ting Ling mendadak hilang."

"Kau amat memperhatikan dia."

Han Tin meraba hidungnya yang penyok, katanya: "Dia memukul ringsek hidungku."

"Kau ingin menuntut balas?"

"Tiada orang yang bisa lolos setelah dia membuat ringsek hidungku."

"Mungkinkah dia mati?"

"Kukira dia bukan laki-laki yang bisa cepat mati."

"Tapi kenyataan dia sudah mampus."

"Maksudmu Ting Ling sudah mati?"

"Tidak salah."

"Tapi Ting Hun-pin masih hidup."

Lama Thi Koh menatapnya, akhirnya berkata: "Kau sudah melihat jelas?"

Han Tin tertawa pula, sahutnya: "Aku tak bisa membedakan, aku hanya mereka-reka saja."

"Apa pula yang berhasil kau reka?"

"Walau Yap Kay seorang cerdik pandai, tapi terhadap kekasihnya yang asli, tentunya dia takkan berjaga-jaga atau curiga."

"Bagus sekali akalmu."

"Jikalau ada seseorang mampu membokong Yap Kay, lalu merebut Siangkwan Siau-sian dari tangannya, maka orang itu pasti adalah Ting Hun-pin."

"Bagus sekali uraianmu."

"Sayang sekali Ting Hun-pin pasti tak sudi membokong Yap Kay, oleh karena itu......."

"Karena itu bagaimana?"

"Jikalau ada seseorang yang bermuka dan berperawakan mirip Ting Hun-pin, maka dia bisa menyamar jadi Ting Hun-pin, bukankah orang ini bakal menjadi alat yang paling berguna dan manjur untuk menghadapi Yap Kay?"

"Bagaimana jikalau orang itu seorang laki-laki?"

"Peduli dia laki-laki atau perempuan, tiada bedanya." sahut han Tin dengan tertawa. "kabarnya ilmu tata rias dari Lam-hay-nio-cu tiada bandingannya di seluruh jagat dan lagi punya cara untuk mengekang denyut nadi kulit daging tenggorokan orang sehingga suara orang itu berubah."

Dingin suara Thi Koh: "Tidak sedikit yang kau tahu."

"Jikalau orang ini tidak mau menurut, juga tidak menjadi soal, karena Lam-hay-nio-cu masih punya semacam cara untuk mengekang dan menguasai daya pikiran seseorang yang dinamakan Kao-hun-sip-tay-hoat."

Lama Thi Koh menatapnya lekat-lekat, katanya pelan-pelan: "Khabarnya orang-orang Kang-ouw memanggilmu Cui-cu (bor atau gurdi)."

"Ah, tidak berani aku menerimanya."

"Kabarnya peduli betapa keras batok kepala seseorang, kau tetap bisa mengebornya sampai bolong."

"Itu hanya kabar angin belaka."

"Tapi kabar angin itu agaknya bukan bualan belaka."

"Umpama benar aku punya nama, betapapun aku tetap adalah didikan Wi-pat-ya sendiri."

"Kau tak usah memperingati aku, aku tahu kau adalah orang kepercayaannya."

Han Tin menghela napas lega, katanya: "Cukuplah bila Hujin mengerti akan hal ini, legalah hatiku."

"Bahwa aku membiarkan kau ikut dia kemari, sudah tentu aku tidak perlu pakai tedeng aling-aling lagi kepadamu."

"Banyak terima kasih, Hujin sudi percaya kepadaku."

"Apakah kau sudah paham seluruhnya tentang persoalan ini?"

"Ada sedikit yang belum kupahami."

"Coba katakan."

"Apakah Hujin sudah memperhitungkan bahwa Ting Ling akan meluruk kemari?"

"Benar, maka aku sudah siap menunggu kedatangannya."

"Tapi cara bagaimana Hujin bisa mengetahui bahwa dia pasti datang?"

"Ada orang yang memberitahu kepadaku."

"Siapakah orang itu?"

"Seorang teman."

"Teman Ting Ling atau menurut dugaan Hujin saja?"

"Jikalau bukan teman Ting Ling, cara bagaimana dia bisa tahu setiap gerak-geriknya?"

Han Tin menghela napas, katanya: "Ada kalanya seorang teman justru jauh lebih menakutkan daripada musuh besar." tiba-tiba dia bertanya pula: "Apa dulu Hujin pernah bertemu dengan Ting Hun-pin?"

"Tidak pernah."

"Lalu darimana Hujin tahu bahwa paras Ting Ling mirip Ting Hun-pin?"

"Khabarnya mereka adalah saudara kembar."

"O, kembar dampit."

"Menurut adat istiadat keluarga mereka, jikalau yang dilahirkan adalah kembar dampit (laki-laki dan perempuan), maka satu diantaranya harus diberikan kepada orang lain."

"Menurut adat kebiasaan suku bangsakupun demikian."

"Oleh karena itu banyak orang-orang Kang-ouw tak tahu bahwa Ting Ling sebenarnya adalah keturunan keluarga Ting pula."

"Lalu dari mana Hujin tahu?"

"Seseorang teman memberitahu kepadaku."

"Teman yang tadi kau maksudkan itu?"

"Benar!"

Han Tin manggut-manggut, ujarnya: "Bahwa dia adalah teman Ting Ling, sudah tentu dia jauh lebih tahu mengenai seluk beluk Ting Ling yang tidak diketahui orang lain?"

"Apakah kau ingin tahu siapakah dia itu?"

"Ya, aku ingin tahu kalau boleh."

"Kenapa?"

Han Tin tertawa tawar, katanya "Karena aku tidak ingin bersahabat dengannya."

"Agaknya kau memang seorang cerdik dan teliti."

"Malah aku ini adalah sebuah gurdi."

"Benar, malah gurdi yang punya mata."

"Walau hidungku sudah dipukul ringsek, untung masih tajam untuk mengendus sesuatu."

"Oleh karena itu jikalau kau mau pergi ke suatu tempat dan melihat sesuatu, maka kau akan banyak memberi bantuan kepadaku."

"Silahkan kau katakan."

"Kau mau pergi?"

"Umpama Hujin suruh aku menempuh gunung berapi, aku tetap akan melaksanakannya."

Thi Koh menghela napas, katanya: "Tak heran Wi-pat-ya amat percaya kepadamu, agaknya kau memang laki-laki yang setia dan dapat dipercaya."

"Bisa mendapat pujian Hujin, badan Han Tin hancur leburpun takkan menyesal."

Thi Koh tertawa berseri, katanya: "Bukan aku ingin kau pergi mengantar jiwa, aku hanya ingin kau pergi ke Biau-hiang-wan."

"Melihat keadaan Yap Kay?"

"Sekaligus boleh kau tengok keadaan gadis gede berjiwa anak-anak itu."

ooo)O(ooo

Sesuai dengan namanya, Biau-hiang-wan diliputi harumnya kembang yang semerbak, sinar api masih menyala dan menyorot keluar dari jendela, pada kertas jendela tampak dua bayangan orang, seorang lelaki dan seorang perempuan.

Bayangan Tin-cu-heng-te (saudara kembar mutiara) tidak kelihatan, tapi di atas tanah tampak menggeletak sepasang pedang yang kutung, mutiara yang menghias di gagang pedang tampak kemilau di tingkah sinar api yang menyorot dari jendela. Agaknya nasib bersaudara kembar dari kota mutiara teramat jelek.

Sekonyong-konyong daun jendela terbuka. Seorang gadis jelita dengan menggendong boneka kecil terbuat dari tanah liat berdiri di ambang jendela. Kulit mukanya nan halus putih bersemu merah, matanya bundar besar bersinar bening, bibirnya kecil merah seperti delima merekah, kelihatannya begitu lincah dan aleman. Gadis sebesar ini tapi sikap dan tindak-tanduknya tak ubahnya seperti boneka tanah liat yang digendong dalam pelukannya.

Cuma perawakan dan potongan badannya saja yang tidak mirip boneka, setiap jengkal kulit dagingnya seolah-olah memancarkan daya tarik yang hangat dan menggiurkan. Muka kanak-kanak dengan potongan gadis montok dan mempesona, walaupun satu sama lain tidak seimbang, namun secara wajar menjadikan suatu daya tarik yang luar biasa merangsang, daya tarik yang selalu menimbulkan gairah daya kelakian siapa saja yang melihatnya. Memang bukan suatu tugas gampang untuk melindungi perempuan seperti ini.

Di belakangnya ada seorang laki-laki, kelihatan masih muda, tampan dan gagah. Agaknya Yap Kay adalah pemuda yang elok dipandang, sayang dia berdiri rada jauh. Walau dari luar Han Tin dapat melihat bayangannnya, namun dia tidak jelas melihat wajah orang.

Dengan menggendong boneka kecilnya, seperti ibu inang yang sedang menina-bobokkan orok kecil, Siangkwan Siau-sian bernyanyi-nyanyi kecil sambil menggoyang badan, suaranya nyaring merdu dan manis.

Terdengar Yap Kay berkata: "Di luar amat dingin, kenapa tidak lekas kau tutup jendela?"

Siangkwan Siau-sian memonyongkan mulut, sahutnya: "Popo amat gerah, Popo ingin menghirup hawa segar."

Yap Kay menghela napas, katanya: "Sudah saatnya Popo tidur."

"Tapi dia tidak bisa tidur," sahut Siangkwan Siau-sian, "semangat Popo masih begini baik."

Yap Kay tertawa getir, katanya: "Malam sudah selarut ini, masih tidak mau tidur, Popo memang anak nakal."

Siangkwan Siau-sian segera berteriak melengking: "Popo bukan anak nakal, Popo amat pintar dan anak baik." lalu diulurkan sebelah tangannya yang putih halus, menggoyang-goyang boneka di pelukannya. Dia mengelus-elus sambil mengawasinya, katanya halus: "Popo jangan menangis, memang dia orang jahat, Popo jangan nangis, Popo minum tetek ibu."

Dia buka baju di depan dadanya, seperti seorang ibu yang meneteki bayinya, dia meneteki boneka itu. Dadanya montok dan padat, matang seperti gadis dewasa umumnya.

Dari kejauhan Han Tin pasang mata, terasa jantungnya berdetak dan melonjak-lonjak hampir keluar dari rongga dadanya. Tak nyana Yap Kay memburu maju, 'Blang...' kontan dia tutup daun jendela.

Terdengar suara Siangkwan Siau-sian cekikikan nakal, katanya: "Buat apa kau menarik aku? Apa kau juga minta tetek.......?"

ooo)O(ooo

Dupa dalam tungku sudah habis, asappun sudah sirna. Wi-pat-ya rebah memejamkan mata, rona mukanya merah, seperti sudah tertidur.

Setelah habis mendengar laporan Han Tin, Thi Koh lantas bertanya: "Begitu daun jendela tertutup, kau lantas kembali?"

Han Tin tertawa kecut, katanya: "Memangnya aku harus minta air tetek?"

Terunjuk tawa geli pada sorot mata Thi Koh, katanya: "Agaknya kau cemburu dan ingin menggantikan kedudukan Yap Kay."

"Akupun simpati terhadapnya."

"Kau bersimpati terhadapnya?"

"Sehari-hari menemani perempuan gede berjiwa kerdil seperti itu sungguh merupakan siksaan."

Sim Koh tiba-tiba menyelutuk: "Apa benar dia cantik?"

Diam-diam Han Tin mengerling sebentar, sahutnya: "Boleh terhitung cantik."

Tiada perempuan yang suka mendengar laki-laki memuji perempuan lain dihadapannya.

Sim Koh segera menjengek dingin "Khabarnya orang linglung biasanya memang cantik."

"Ya." Han Tin mengiakan saja.

Tiba-tiba Sim Koh tertawa geli, katanya: "Untung setiap gadis cantik belum tentu linglung."

Memang, dia sendiripun seorang gadis jelita, gadis rupawan.

Tiba-tiba Thi Koh bertanya: "Apakah hanya mereka berdua yang berada di Biau-hiang-wan?"

"Dari depan sampai ke belakang dan sekitarnya sudah kuperiksa, memang tiada orang lain."

"Agaknya tiada? Atau memang tiada?"

"Memang tiada!." Sahut Han Tin setelah bimbang sebentar.

"Mungkin ada lain orang yang sudah tidur?"

"Kamar lain tiada yang menyalakan api, hawa sedingin ini, siapa yang tahan tidur di dalam kamar tanpa membuat api?"

Akhirnya Thi Koh tertawa, katanya: "Agaknya bukan saja kau pintar, kerjamu amat teliti."

Mendadak Sim Koh menyeletuk: "Sayang hidungnya menjadi pesek."

Thi Koh kontan mendelik, katanya: "Kau toh tidak ingin kawin sama dia, perduli hidungnya pesek atau tidak."

"Memangnya laki-laki hidung pesek pasti tidak lekas kawin?" spontan Sim Koh membantah.

Thi Koh tertawa geli, katanya: "Setan cilik, ngaco-belo, tidak malu kau didengar orang."

Tiba-tiba Han Tin rasakan detak jantungnya bertambah cepat. Bukan tidak pernah dia memikirkan kemungkinan ini, cuma dia memang tidak berani memikirkan. Kini kedua ibu beranak seakan-akan memberi hati kepadanya. Memangnya mereka ada persoalan pelik yang ingin dia lakukan?.

Betul juga, Thi Koh lantas bertanya: "Ilmu silatmu apa kau belajar dari Wi-pat-ya?"

"Bukan!", sahut Han Tin.

Memang dia bukan murid Wi Thian-bing, juga bukan salah satu dari Cap-sha-thay-po.

"Senjata yang kau gunakan adalah gurdi itu?"

Han Tin mengiakan.

"Belum pernah kudengar tokoh-tokoh kosen mana dalam Kang-ouw yang menggunakan gurdi sebagai senjata."

"Memang, aku menggunakan sambil lalu saja."

"Apakah gurdi itu juga mempunyai jurus-jurus yang khas?"

"Tidak ada, tapi jurus ilmu senjata apapun, semuanya bisa digunakan memakai gurdi."

"Dari jawabanmu ini aku jadi berkesimpulan, ilmu silat yang pernah kau pelajari tentu amat rumit dan luas sekali."

"Memang rumit dan luas, tapi semua tidak matang."

Tiba-tiba Sim Koh cekikikan geli, katanya: "Tak nyana orang ini pandai juga berpura-pura."

Jantung Han Tin serasa hendak melonjak keluar.

"Hanya beberapa tahun saja kau bekerja untuk Wi-pat-ya," kata Thi Koh, "cepat sekali kau sudah menjadi orang kepercayaannya, tentunya ilmu silatmu boleh dibanggakan."

Han Tin mengakui: "Ya, hanya lumayan saja."

"Oleh karena itu aku masih ingin minta sedikit bantuanmu."

"Silahkan katakan!"

"Tugas ini makin cepat kau laksanakan semakin baik, malam ini adalah kesempatan terbaik untuk kau turun tangan."

"Baik, malam ini nanti akan kukerjakan."

"Maka sekarang aku ingin Ting Hun-pin turun tangan."

Han Tin menepekur, katanya: "Entah Yap Kay bisa mengenalinya tidak?"

"Pasti tidak, umpama ada sedikit cirinya di bawah sinar lampu yang remang-remang, pasti tidak kentara."

"Tapi mereka sepasang kekasih, jikalau dipandang seksama beberapa kali, bukan mustahil.........."

"Masakah kita bakal memberi kesempatan sehingga dia melihat jelas, asal Ting Hun-pin mendekati dia, urusan pasti berhasil dengan baik........"

Sim Koh menimbrung dengan tertawa: "Bukankah dia amat cepat turun tangan, kalau tidak masakah sekali pukul bikin hidungmu ringsek?"

Han Tin menyengir getir, namun hatinya merasa syuur.

"Akan tetapi kita harus berhati-hati untuk menjaga segala kemungkinan, maka aku ingin kau mengiringi dia."

Sekilas Han Tin melengak, katanya: "Cara bagaimana aku bisa temani dia?"

"Kenapa tidak bisa?"

"Aku.......aku terhitung orang apa?"

"Anggap saja sebagai pengurus di sini. Bawa dia ke Yap Kay, karena Ting Hun-pin belum pernah kemari, sudah tentu harus ada orang yang menunjuk jalan."

Han Tin manggut-manggut sambil menghela napas: "Hujin memang bisa mengatur dengan baik."

Thi Koh tertawa, katanya: "Kalau tidak bisa mengatur dengan baik, bagaimana berani menghadapi Yap Kay?"

"Sekarang hanya ada satu kekuatiranku."

"Apa yang kau kuatirkan?"

"Kuatir akan pisau terbang Yap Kay."

"Kau takut?"

"Yang kukuatirkan Ting Hun-pin yang satu ini tidak bisa membunuhnya sekali turun tangan, mungkin punya kesempatan balas menyerang."

Jawaban Thi Koh dingin dan meyakinkan: "Jangan lupa akupun mempunyai pisau, tiada orang bisa hidup oleh pisauku." Mendadak tangannya bergerak, "Tring..." sebilah pisau tahu-tahu jatuh di hadapan Ting Ling. Sebilah pisau kemilau warna hijau. Mata Ting Ling seketika berubah lebar, dengan mendelong kaku mengawasi pisau ini.

"Ambil pisau itu dan sembunyikan di dalam lengan bajumu." Thi Koh memerintah.

Ting Ling segera menjemput pisau itu dan disembunyikan di dalam lengan baju.

"Sekarang angkat kepalamu, pandanglah orang ini." Thi Koh menuding Han Tin.

Ting Ling lantas angkat kepala, matanya mendelong mengawasi Han Tin.

"Kau kenal orang ini?"

Ting Ling manggut-manggut.

"Kau harus ikut dia. Dia akan membawamu mencari Yap Kay yang adalah laki-laki yang tidak kenal budi dan tidak setia kawan, kau dibuang secara semena-mena, mencari gadis lain di depan hidungmu, maka begitu kau berhadapan dengan dia, tusuk saja sampai mampus dengan pisaumu, lalu bawa gadis itu kemari."

"Aku pasti akan membunuhnya, serta membawa gadis itu kemari." Ting Ling mengulang perintah.

"Sekarang juga kau berangkat."

Ting Ling manggut-manggut mengulang perintah Thi Koh. Terunjuk mimik aneh pada raut mukanya, seolah-olah hambar, tapi juga seperti amat menderita.

"Kenapa tidak lekas kau pergi?" sentak Thi Koh.

"Sekarang juga aku pergi." Mulut Ting Ling menjawab, namun dia tetap bersimpuh di tempatnya tanpa bergeming.

Sim Koh menghela napas, katanya: "Agaknya dia memang teramat cinta terhadap Yap Kay, urusan sudah berlarut demikian jauh, namun dia masih tidak tega membunuhnya."

Thi Koh menyeringai dingin, katanya: "Dia pasti pergi!"

Tiba-tiba dia tepuk-tepuk tangan, sebuah pintu di samping tiba-tiba terbuka sendiri, seorang melangkah masuk pelan-pelan.

Itulah laki-laki berusia tiga puluh tahun, mengenakan jubah kulit rase yang mahal, bagian luarnya ditambahi baju lengan pendek. Jelas sekali gayanya seperti orang dagang. Orang ini ternyata Hwi Hou si Rase Terbang Nyo Thian.

Mendadak muka Ting Ling berkerut ketakutan badanpun gemetar keras.

Nyo Thian mengawasinya dingin, tidak tampak mimik apa-apa pada mukanya. Sebilah pisau menancap di dadanya, bajunyapun berlepotan darah.

"Kau kenal orang ini?" tanya Thi Koh.

Ting Ling manggut-manggut, mukanya pucat dan semakin ketakutan. Sudah tentu dia kenal orang ini, karena ingatannya belum lenyap.

"Sekarang dia sudah mampus, apakah kau ingat, kaulah yang membunuhnya."

"Ya....ya, akulah yang membunuhnya."

"Sebetulnya dia teman karibmu, namun kau membunuhnya, menjadi setan dia akan membalas dendam kepadamu."

"Kau..... kau yang menyuruhku membunuh dia!" bantah Ting Ling.

"Sekarang kusuruh kau pergi membunuh Yap Kay........ kau mau pergi tidak?"

"Aku.....baiklah aku pergi."

"Sekarang juga kau pergi."

"Benar, sekarang juga aku berangkat," sahut Ting Ling.

Benar juga pelan-pelan dia berdiri, lalu beranjak keluar, tapi badannya kelihatan masih gemetar.

"Tunggu di luar, tunggu Han Tin yang akan membawamu."

"Aku akan menunggu di luar. Han Tin akan membawaku, pergi membunuh Yap Kay." Sahut Ting Ling.

Setelah Ting Ling di luar pintu, baru Thi Koh berpaling dan tertawa kepada Han Tin, katanya: "Sekarang kau harus tahu, siapakah teman baiknya itu."

Han Tin hanya menyengir kecut sambil mengawasi Nyo Thian.

"Kau tidak mengenalnya?" tanya Thi Koh.

Nyo Thian berkata dingin: "Dia tidak mengenalku, dia tidak ingin bersahabat dengan aku." Tiba-tiba tangannya terbalik mencabut pisau di dadanya terus dibuang ke lantai. Baru sekarang Han Tin melihat jelas pisau itu hanya gagangnya saja.

Terdengar "Cret..." sebatang pisau tajam menjepret keluar dari gagangnya, hanya sedikit tekan saja, tajam pisau itu kembali melesak masuk ke dalam gagangnya pula, kiranya pisau ini hanya alat permainan belaka yang tidak mungkin bisa membunuh orang.

Han Tin menghela napas, katanya: "Kalau ada pisau semacam ini dalam dunia ini, tidak heran ada teman baik seperti dirimu."

"Tapi lebih baik kau selalu ingat," Thi Koh memperingatkan, "pisau semacam ini dan teman seperti itu, bukan tiada gunanya sama sekali."

ooo)O(ooo

Setelah menyusuri ratusan pucuk pohon kembang Bwe, akhirnya sampai di Biau-hiang-wan.

Selama ini Ting Ling mengintil di belakangnya tanpa bersuara, selangkah Han Tin bertindak, selangkah pula kakinya bergerak. Jikalau Han Tin tiba-tiba berhenti, Ting Ling pun seketika berhenti.

Tiba-tiba Han Tin membalik badan sambil menatap orang: "Temanmu Sebun Cap-sha sudah mati."

"Sebun Cap-sha sudah mati" Ting Ling mengulang perkataannya.

"Kau tidak ingin tahu oleh siapa dia menemui ajalnya?"

"Aku tidak ingin tahu siapa yang membunuhnya." sahut Ting Ling.

"Tapi jika kau adalah temannya, pantas kau menuntut balas sakit hatinya."

"Kalau aku memang teman baiknya, aku harus menuntut balas sakit hatinya."

Begitulah dia selalu mengulang perkataan orang yang mengajaknya bicara, cuma kau mungkin takkan tahu apakah dia benar-benar sudah memahami maksudmu.

"Orang sepintar kau akhirnya dikendalikan orang juga, sungguh aku tidak mau percaya." dengan ujung matanya dia melirik kepada Ting Ling.

Tidak terunjuk mimik apapun di muka Ting Ling.

Han Tin menghela napas, katanya: "Di depan ada sinar lampu, nah, di sanalah Biau-hiang-wan."

Ting Ling mengiakan.

"Yap Kay berada di sana. Apa benar kau tega turun tangan? Sebetulnya tak perlu kau membunuhnya."

"Ya, memang tidak perlu." sahut Ting Ling.

"Kau boleh menutuk Hiat-to nya saja, sehingga dia tidak bisa berkutik lagi."

"Aku bisa membuatnya tidak berkutik."

"Segera aku akan membawa gadis itu pergi ke tempat jauh, supaya dia tidak melihat Yap Kay lagi."

"Biar dia tidak melihat Yap Kay lagi."

"Maka selanjutnya kau bisa hidup berdampingan dengan Yap Kay."

Di lihatnya sorot mata Ting Ling tiba-tiba memancarkan sinar terang.

"Coba katakan, apakah cara ini baik?"

Ting Ling seperti berpikir-pikir, katanya dengan sikap ketakutan: "Tapi aku membunuh Nyo Thian, menjadi setan diapun akan selalu mengganggu kami."

"Sebetulnya kau tidak membunuhnya dan dia belum mati."

"Jelas aku telah membunuhnya." bantah Ting Ling.

Han Tin keluarkan pisau mainan itu, katanya: "Dengan pisau ini kau membunuhnya."

Ting Ling manggut-manggut.

"Pisau ini hanya mainan yang tidak bisa membunuh orang, coba kau lihat.........." dengan tersenyum dia angkat pisau itu terus menusuk ke dada sendiri. Senyum yang menghiasi mukanya seketika kaku.

Tadi hanya sedikit tekan, tajam pisau menyurut masuk ke dalam. Tapi sekarang batang pisau yang tajam ternyata tidak mau menyurut masuk pula. Sedikit dia gunakan tenaga, ujung pisau sudah menusuk melukai kulit dagingnya. Walau tidak dalam namun darah sudah bercucuran.

"Kelihatan darah menyumbat tenggorokan, pasti mati tak bisa di tolong.". Ingat akan pepatah ini, seketika sekujur tubuh Han Tin dingin.

Tiba-tiba di dengarnya seseorang berkata dingin: "Lebih baik kau berdiri tidak bergerak, bila racun menjalar pasti melayang jiwamu."

Han Tin tidak berani bergerak, dia sudah mendengar suara Sim Koh. Betul juga dilihatnya Sim Koh melangkah dari hutan, di belakangnya ada seseorang ternyata Nyo Thian.

Dengan dingin Sim Koh mengawasinya, katanya: "Pisau itu adalah pisau iblis, walau tak bisa membunuh orang lain, tapi pasti bikin kau mampus."

Nyo Thian menyeringai dingin, jengeknya: "Kalau di dunia ada manusia seperti tampangmu, maka ada pula pisau seperti itu."

Sim Koh berseri tawa, katanya: "Sedikitpun tidak salah, pisau macam ini memang khusus untuk menghadapi orang seperti kau."

Tersendat perkataan Han Tin di tenggorokan: "Aku......aku hanya........"

Sim Koh menarik muka, dengusnya: "Kau hanya ingin menjual dan mengkhianati kita, maka kau harus mampus!"

"Harap nona suka pandang muka Wi-pat-ya, ampunilah jiwaku sekali ini."

"Kau masih ingin hidup?"

Han Tin manggut-manggut, keringat dingin gemerobyos.

"Baik," ujar Sim Koh, "kau harus berdiri dengan baik di sini, jangan bergerak, kepalapun jangan bergeming, bila aku merasa senang, mungkin aku datang menolongmu."

"Entah kapan nona baru senang hati?"

"Wah, susah dikatakan, biasanya aku periang, tapi begitu melihat orang seperti kau, bukan mustahil aku bisa marah-marah lagi."

Han Tin kertak gigi, sungguh gemasnya bukan main, ingin rasanya dia pukul ringsek hidung si gadis kurang ajar ini. Sayangnya umpama dia mampu berbuat demikian, dia toh tidak berani bergerak, ujung jaripun tidak berani bergerak.

Sim Koh tiba-tiba mengelus mukanya, katanya lembut: "Sebetulnya aku ingin kawin denganmu, sayang hanya sedikit ujian begini saja kau tidak mampu mengatasi, sungguh bikin aku kecewa." setelah menghela napas, kedua pipi Han Tin dia jewer pulang pergi, lalu menamparnya puluhan kali.

Hampir tak tertahan Han Tin hendak muntah-muntah darah, namun sedapat mungkin dia pertahankan.

Agaknya Sim Koh amat puas, katanya sambil berpaling kepada Nyo Thian: "Sekarang boleh kau pergi bawa nona Ting itu."

Nyo Thian mengiakan.

Sim Koh tersenyum, katanya menambahkan: "Aku tahu kau pasti tidak kenal budi pekerti seperti dia ini, ya tidak?"

"Sedikitnya aku tidak segoblok dia." sahut Nyo Thian.

Tiba-tiba Han Tin merasa dirinya memang benar-benar bodoh, sungguh ingin rasanya dia bentur kepalanya biar pecah dan mampus saja.

Ting Ling masih mengawasinya, mukanya tidak tampak berubah.

Nyo Thian menepuk pundaknya, katanya: "Ikut aku!"

Ting Ling lantas mengintil di belakangnya. Nyo Thian maju selangkah, Ting Ling ikut maju selangkah, lekas sekali kedua orang ini sudah keluar dari hutan kembang Bwe.

ooo)O(ooo

Sinar api masih menyorot keluar dari jendela, Nyo Thian sedang mengetuk pintu.

"Siapa?" pertanyaan dari dalam.

"Cayhe Nyo Thian, pengurus tempat ini."

"Apakah pengurus Nyo tidak tahu waktu apa sekarang?" orang di dalam menegur tanpa sungkan-sungkan.

"Sudah tentu Cayhe tahu sekarang waktu apa, soalnya ada seorang tamu, begitu besar keinginannya dan tergesa-gesa ingin bertemu dengan Yap Kongcu."

"Siapa ingin mencari aku?"

"Seorang nona she Ting, Ting Hun-pin."

Baru habis keterangannya, pintu lantas terbuka.

"Yang membuka pintu pasti Yap Kay," demikian sebelumnya Nyo Thian sudah membisiki Ting Ling. Cahaya lampu dari dalam kebetulan menyorot mukanya.

Seorang pemuda berparas tampan dengan dandanan sederhana membuka pintu, seketika dia berdiri menjublek di ambang pintu, mimiknya heran, kaget dan senang: "Benarkah kau?"

(Bersambung ke Jilid-5)

Rahasia Mo Kau Kaucu Jilid 4-1

Yang tahu rahasia ini hanya Ki Bu-bing, tapi orang yang satu ini tak kemaruk harta, maka selama puluhan tahun, belum pernah timbul ambisi atau ketamakannya untuk mengeduk harta kekayaan yang berlimpah-limpah itu."

"Memang, Ki Bu-bing adalah bayangan Siangkwan Kim-hong."

"Ilmu silatnya amat ganas, serangannya tak kenal kasihan, maka tiada orang berani mengusik padanya, apalagi jejaknya tidak menentu, umpama ada orang ingin mencarinya, selamanya takkan bisa menemukan dia."

"Umpama berhasil menemukan dia, tentu jiwanya melayang di pedangnya." timbrung Lam-hay-nio-cu.

"Tapi belakangan dia memberitahu rahasia ini pada seseorang."

"O, kepada siapa?" tanya Lam-hay-nio-cu ketarik.

"Dia memberitahu rahasia ini kepada keturunan atau darah daging Siangkwan Kim-hong satu-satunya."

"Siangkwan Siau-sian maksudmu?"

"Benar, memang Siangkwan Siau-sian. Oleh karena itu bukan saja dia gadis tercantik di seluruh jagat ini, dia pula gadis yang terkaya di seluruh dunia, ditambah ilmu silat peninggalan Siangkwan Kim-hong, siapapun yang menemukan dia, bukan saja dapat menjulang tinggi menjadi manusia yang terkaya di seluruh kolong langit, kelak akan menjadi tokoh silat kosen yang tiada bandingannya, sudah tentu daya tariknya teramat besar bagi manusia yang tamak."

"Sayang dia tidak mengetahui, karena dia tidak lebih hanya seorang gadis cilik yang baru berusia tujuh delapan tahun."

"Oleh karena itu untuk melindungi dan menjaga gadis seperti ini, boleh dikata tak mungkin terlaksana."

"Mungkin saja."

"Kalau orang lain tidak mungkin melindungi dia, tapi Yap Kay pasti mungkin."

Wi Thian-bing tertawa dingin, katanya: "Umpama kata Yap Kay benar-benar tunas muda yang luar biasa bakatnya, ilmu silatnya sudah memuncak tingkat yang tiada bandingannya di seluruh jagat, hanya tenaga dia seorang, memangnya mampu menghadapi puluhan tokoh-tokoh kosen kelas wahid dari seluruh pelosok dunia ini?"

"Yang terang dia tidak hanya seorang diri." sahut Lam-hay-nio-cu tegas.

"Tidak seorang diri? Lalu dengan siapa?"

"Memang tidak sedikit yang ingin membunuh dia dan merebut Siangkwan Siau-sian, tapi demi kesetiaan dan budi pekerti, tidak sedikit pula orang-orang yang bertekad melindunginya."

"Kesetiaan dan budi pekerti masa lalu?"

"Jangan lupa dia adalah pewaris Siau-li Tham-hoa satu-satunya, dan yang pernah mendapat budi pertolongan Li Sin-hoan tidak sedikit jumlahnya."

"Peristiwa sudah berselang sekian tahun, umpama orang-orang itu belum mati, tentu sudah melupakan hutang budinya, budi lebih cepat dilupakan orang daripada dendam kesumat."

"Sedikitnya masih ada seorang yang tidak pernah melupakannya."

"Siapa?"

"Aku!", sahut Lam-hay-nio-cu.

Seluruh hadirin tersentak kaget oleh jawaban pendek dan tegas ini.

"Jikalau kalian kira aku kemari juga ingin merebut Siangkwan Siau-sian, maka meleset jauh dugaan kalian."

"Lalu apa maksudmu mengundang kami kemari?"

"Tidak lebih hanya satu permintaanku, sukalah pandang mukaku, batalkan niat kalian semula."

"Kau minta kami melepaskan Yap Kay?"

"Begitulah."

"Jikalau kami tidak setuju?"

"Kalau begitu bukan saja kalian lawan Yap Kay, kalianpun akan jadi musuhku, maka untuk keluar dari rumah ini, kukira bukan pekerjaan mudah."

Mendadak Wi Thian-bing terloroh-loroh, serunya: "Aku mengerti, akhirnya aku mengerti."

"Kau mengerti apa?"

Tiba-tiba terhenti loroh tawa Wi Thian-bing, katanya: "Kau minta kami membatalkan niat, hanya karena kau ingin mencaploknya sendiri, sengaja kau agulkan Yap Kay setinggi langit segagah naga, yang terang kau sudah mencari akal jahat untuk menghadapinya."

Suara Lam-hay-nio-cu berubah, katanya: "Wi-pat-ya, kau pandanglah aku."

Wi Thian-bing malah berpaling muka ke lukisan di pintu angin, katanya dingin: "Kau hendak gunakan Kou-hun-sip-tay-hoat dari Mo Kau untuk menundukkan aku, kau salah alamat."

"Aku hanya ingin memperingatkan kepadamu tiga puluh tahun yang lalu, aku pernah melepasmu tanpa kurang suatu apa."

"Benar, tiga puluh tahun yang lalu, aku hampir mampus di tanganmu."

"Waktu itu kau bersumpah berat, asal aku melihatmu lagi, perduli apapun yang kuperintahkan, kau tidak akan menolak, kalau sebaliknya kau rela terbunuh mampus dengan badan tercacah hancur lebur." sampai di sini suaranya semakin seram menggiriskan. "Apa kau masih ingat akan sumpahmu dulu itu?"

"Sudah tentu aku masih ingat, hanya..........."

"Hanya apa lagi?"

"Waktu itu aku bersumpah terhadap Lam-hay-nio-cu."

"Aku inilah Lam-hay-nio-cu!"

"Kau bukan!" seru Wi Thian-bing geram seraya mendelik beringas, "Lam-hay-nio-cu sudah lama meninggal, kau kira aku tidak tahu?"

Bak Pek yang biasanya tenang seketika terkesima dan tersentak kaget mendengar kabar ini.

Kata Wi Thian-bing lebih lanjut: "Waktu berada di belakang gubuk rumput itu, kau tanya aku kenapa aku tidak mengenal suaramu, waktu itu juga aku sudah tahu, kau pasti bukan Lam-hay-nio-cu, maka dia tentu sudah meninggal, kalau tidak masakah aku berani kemari?"

Lama berdiam diri, akhirnya suara misterius itu berkata kalem: "Cara bagaimana kau bisa tahu?"

"Karena selamanya tak pernah kau mengajukan pertanyaan ini."

"Kenapa?"

"Karena aku tak bisa membedakan suaranya, memang hanya aku laki-laki yang pernah melihat wajah aslinya, namun selamanya tak pernah aku mendengar sepatah katapun suaranya." tawa Wi Thian-bing amat aneh, katanya lebih lanjut: "walau kau tahu. aku adalah laki-laki yang pernah melihat wajahnya dan masih hidup sampai sekarang, namun kau tak mungkin tahu apa yang pernah terjadi antara kami berdua, karena dia takkan memberi tahu hal itu kepadamu."

Lama suara misterius itu diam, akhirnya tak tahan dia bertanya: "Kenapa?"

"Karena itu rahasia, tak ada orang di kolong langit ini yang tahu akan rahasia itu." terunjuk cahaya cemerlang di wajahnya yang berseri lebar pada muka si orang tua ini, seolah-olah kembali pada masa dulu, diliputi impian muluk-muluk di masa remajanya. Maka tercetuslah sebuah cerita yang tak ubahnya seperti dongeng jaman kuno.

"Tiga puluh tahun yang lalu, aku adalah pemuda yang suka menimbulkan gara-gara dimana aku berada. Suatu hari aku membuat onar di daerah Biau-kiang, terpaksa aku melarikan diri ke atas gunung sembunyi di dalam hutan belantara, tak kusadari aku tersesat di atas gunung belukar."

"Di Biau-san, dimana-mana kau dapat bertemu dengan ular atau binatang liar, malah di sana-sini kau bisa menghirup hawa beracun, untuk menghindari dan menyelamatkan diri dari Tho-hoa-ciang yang selalu muncul pada magrib, maka aku sembunyi dalam gua yang amat dalam."

"Gua ini adalah sarang rase, karena lapar aku berburu rase untuk mengisi perut, dan karena aku mengejar rase itulah akhirnya aku mengalami peristiwa yang selama hidup tak pernah kulupakan."

Sorot mata setajam golok tadi berubah lembut dan hangat, lalu dia lanjutkan ceritanya: "Aku kejar rase itu ke dalam sehingga mencapai ujung gua, akhirnya kutemukan di belakang dinding gunung bagian bawahnya ada sebuah jalan keluar pula yang tersembunyi."

"Setelah aku bersihkan semak-semak rotan, aku lantas keluar, tak lama kemudian kudengar suara gemerciknya air, aku menyusuri aliran sungai ke depan, aku tiba di alam terbuka dan di luar gua merupakan alam permai laksana di tempat dewata."

"Waktu itu kebetulan musim semi, ratusan kembang mekar bersama, pepohonan menghijau permai laksana permadani, air terjun mencurah ke bawah, air terasa hangat dan hawapun sejuk. Maka di bawah pancuran air yang bening laksana sebuah jambangan itu, kudapati seorang gadis sedang mandi."

Sampai di sini ceritanya berhenti, namun orang banyak tahu siapa gerangan gadis yang ditemuinya sedang mandi itu.

Pandangan mata Wi Thian-bing terpantul di tempat jauh, seolah-olah dia melihat pula lembah pegunungan nan indah permai itu, seperti menghadapi gadis rupawan yang sedang keluar dari air.

"Waktu itu diapun masih amat muda, rambutnya yang panjang terurai berwarna hitam legam, halus mengkilap, laksana benang sutra layaknya, terutama sepasang matanya yang jeli bening, selama hidupku belum pernah aku saksikan sepasang mata perempuan seindah dan seelok kedua matanya itu. Seperti orang linglung aku mengawasinya dengan kesima, seolah-olah aku sudah kehilangan kesadaran."

"Semula kelihatannya dia amat gugup dan malu serta marah, namun lambat laun gejolak hatinya mulai reda, kami lantas beradu pandang tanpa bersuara. Begitulah entah berapa lamanya kami beradu pandang tanpa berkesip, tiba-tiba terkulum senyuman mekar pada mukanya, bak kuntum kembang yang paling elok di seluruh jagat ini, mekar bersama pada raut mukanya."

"Tanpa sadar aku maju menghampirinya, tak kusadari bahwa di depanku adalah jambangan, lupa bahwa aku mengenakan sepatu. Boleh dikata apapun sudah kulupakan, hanya satu keinginanku, memeluknya........"

Hadirin yang mendengarkan mengunjuk rasa iri dan kepingin, mereka lantas membayangkan adegan mesra dan hangat serta hot.

Lama sekali baru Wi Thian-bing menghela napas, melanjutkan ceritanya: "Sejak permulaan kita tidak pernah mengucapkan sepatah kata, jadi siapa nama masing-masing kami tidak pernah saling tanya. Semua kejadian berjalan secara wajar, tanpa paksaan sedikitpun, tidak kikuk-kikuk, seolah-olah Yang Maha Esa memang sudah mengatur pertemuan kami berdua di tempat yang sepi itu."

"Setelah cuaca menjadi gelap seluruhnya, waktu dia hendak pergi, baru aku tahu siapa dia sebetulnya, karena pada waktu itu aku menemukan di atas jidatnya yang tertutup rambut, terukir sekuntum kembang teratai yang hitam, itulah pertanda khas Lam-hay-nio-cu. Di saat aku kaget keheranan, tanpa sadar aku melakukan kesalahan yang akan menjadi penyesalan besar seumur hidupku. Tanpa terasa tercetus namanya dari mulutku. Seketika sikapnya berubah, wajahnya nan ayu lembut seketika dilambari nafsu membunuh yang berkobar, dia menyerangku dengan Toa-thian-mo-jiu, ilmu kepandaian yang paling menakutkan dari Mo Kau, seakan-akan dia hendak mengorek keluar jantungku."

"Aku tidak berkelit, kenyataan memang aku tidak mampu berkelit. Waktu itu aku merasa dapat mati ditangannya sungguh merupakan suatu hal yang membahagiakan hidupku. Mungkin karena sikapku ini, dia tidak tega turun tangan, sebetulnya sudah terasa olehku jari-jari tangannya yang runcing halus itu menusuk dadaku, aku sudah pejam mata menunggu ajal."

"Akan tetapi, dia menarik tangannya, waktu aku membuka mata pula, bayangannya sudah hilang. Tabir malam sudah menyelimuti lembah gunung itu, namun pemandangan lembah gunung itu tetap kelihatan indah permai, namun dia menghilang begitu saja seperti di tiup angin lalu. Seperti baru sadar dari mimpi, jikalau dadaku tidak mencucurkan darah, sungguh aku tidak percaya bahwa yang kualami itu memang kenyataan."

"Aku berlutut di atas tanah, mohon dia kembali, supaya aku dapat melihatnya sekali lagi, namun aku tahu dia tak mungkin kembali. Oleh karena itu aku lantas bersumpah, asal aku bisa bertemu sama dia pula, apapun yang dia perintahkan pasti takkan kutolak. Akan tetapi sejak hari itu, untuk selamanya aku tak pernah melihatnya lagi, selamanya tak........" suaranya semakin lirih, lalu diakhiri dengan hembusan napas panjang.

Itulah cerita yang elok, memilukan dan penuh diliputi suasana khayal dan misterius. Begitu indahnya sehingga kedengarannya mirip dongeng. Tapi hadirin tahu cerita ini bukan impian, juga bukan dongeng. Asal kau mengawasi mimik perubahan muka Thi Koh dan Wi Thian-bing, maka kau akan tahu bahwa cerita ini adalah kenyataan. Raut muka Thi Koh yang semula dingin kaku dan bengis, kini berubah seperti diliputi kepedihan, kaget dan heran.

Demikian pula rona muka Sim Koh ikut berubah. Hanya patung Koan-im Posat yang membawa setangkai dahan pohon Yang-liu masih tetap tersenyum di antara kepulan asap dupa.

Entah berapa lama kemudian, Wi Thian-bing sudah tenang kembali, katanya dingin: "Oleh karena itu aku tahu Lam-hay-nio-cu sudah meninggal, akupun tahu dari Mo Kau ada semacam kepandaian bicara dari perut, dengan menggunakan patung ini, kalian ingin menggertak aku, sungguh terlalu jenaka kalian."

Sim Koh tiba-tiba berkata: "Benar, memang kami bicara meminjam patung Koan-im ini, tapi apa yang kuucapkan sama saja hasilnya."

"Hasil apa?" tanya Wi Thian-bing.

"Jikalau kau masih ingin mengincar Siangkwan Siau-sian, aku tanggung kau akan menyesal."

Wi Thian-bing tertawa gelak-gelak, katanya: "Sejak umur tiga puluh Wi-pat mengembara, selama lima enam puluh tahun berkecimpung di kalangan Kang-ouw, sampai sekarang belum pernah aku menyesal lantaran sesuatu yang pernah kulakukan."

"Jadi kau bertekad merebutnya?"

"Harapanku supaya kalian membagi semangkok nasi kepada orang banyak, jangan kau monopoli sendiri."

"Baik! Mengingat hubunganmu dengan Cosuya kita dahulu, sekarang masih kuberi kesempatan kepadamu untuk keluar dengan masih hidup."

"Selanjutnya?" tanya Wi Thian-bing.

"Setelah kau keluar dari rumah ini, selanjutnya kau adalah musuh besar Lam-hay-bun kita, maka kuanjurkan lekas kau persiapkan urusan belakangmu, mungkin sembarang waktu jiwamu bisa melayang."

Tawar suara Wi Thian-bing: "Mengingat hubunganku dengan Lam-hay-nio-cu dulu, aku tidak akan menindas orang muda, apalagi terhadap kalian, hanya............."

"Hanya apa?"

"Jikalau kalian benar-benar menentang kehendakku, belum tentu kalian bisa berumur panjang." dengan tertawa dingin tiba-tiba dia mencelat bangun, katanya kepada Bak Pek: "Pertikaian kita sementara ini biarlah dianggap lunas, sejak sekarang kau lawan atau temanku, terserah kepadamu sendiri." habis bicara tanpa berpaling lagi dia beranjak keluar.

ooo)O(ooo

Kabut tebal hawa dingin, jagat raya diliputi kepekatan malam.

Menyongsong angin malam dingin, Wi Thian-bing menghirup napas panjang, mendadak dia berseru: "Han Tin!"

Han Tin selalu membuntutinya, sahutnya: "Ada!"

"Tahukah kau di mana letak Biau-hiang-wan?"

"Sekarang juga kita sedang ke sana."

"Turun tangan dulu lebih menguntungkan, tentunya kau pernah dengar perkataan ini."

"Tapi Yap Kay......"

"Yap Kay kenapa?"

"Sekarang Yap Kay tentu sudah bersiaga, jikalau sekarang kita menggunakan kekerasan, peduli siapa kalah atau menang, jelas kedua pihak akan mengalami rugi, bukankah pihak lain akan memungut hasilnya?"

"Siapa bilang kita hendak bentrok sama dia?"

"Jadi bukan?"

"Sudah tentu tidak." terunjuk senyuman licik selicin rase di ujung mulutnya, katanya: "Secara baik-baik kita ke sana memberikan kabar, langsung bersahabat dengan dia."

Bersinar mata Han Tin, katanya tersenyum: "Karena dulu Siau-li Tham-hoa pernah menanam budi kepada kita, kedatangan kita bukan mencari setori, tapi untuk membalas budi."

"Sedikitpun tidak salah."

"Bahwa Lam-hay-nio-cu sudah meninggal, orang lain tidak perlu dibuat kuatir, kita harus menghasutnya supaya menggunakan kesempatan baik ini, turun tangan lebih dulu menyingkirkan orang-orang yang punya maksud jahat terhadapnya."

"Dia orang cerdik pandai, pasti gampang diberi pengertian."

"Apalagi kita masih bisa menjadi tulang punggungnya, peduli siapa yang ingin dia bunuh, kami siap bantu dia angkat golok."

Wi Thian-bing tertawa gelak-gelak, serunya: "Bagus, kau semakin pintar dan tahu urusan, tidak sia-sia kau ku didik selama ini."

Mereka sudah memasuki hutan, hembusan angin membawa serangkum bau harum semerbak. Di tengah kabut tebal di depan sana, tiba-tiba muncul sesosok bayangan orang.

"Siapa di sana?" bentak Wi Thian-bing.

"Inilah aku!" sahut orang itu beranjak maju sambil menunduk, kiranya Sebun Cap-sha.

Seketika Wi Thian-bing menarik muka, bentaknya: "Siapa suruh kau kemari?"

"Tecu ada urusan penting yang perlu kulaporkan kepada kau orang tua," sahut Sebun Cap-sha.

"Urusan apa?"

Sebentar Sebun Cap-sha ragu-ragu, lalu maju mendekat: "Aku tahu Yap Kay......." suaranya mendadak menjadi lirih.

Terpaksa Wi Thian-bing maju mendekat.

Selama hidupnya entah berapa banyak orang yang pernah dibunuhnya, setiap waktu selalu bersiaga kuatir dibunuh orang, namun sekarang mimpipun tak terpikir olehnya, murid terkecil yang paling di sayang ini sudah mempersiapkan sebatang golok untuk menusuk ke dadanya.

Badan kedua orang sudah berhadapan dekat sekali, Wi Thian-bing menyentaknya pula: "Ada urusan apa lekas katakan!"

Terpaksa Sebun Cap-sha menjawab: "Aku ingin kau mampus!"

Mendengar kata 'mampus' baru Wi Thian-bing benar-benar tersentak kaget, namun berkelitpun sudah tidak keburu lagi. Tahu-tahu sebatang golok dingin sudah menusuk lewat jaket kulitnya amblas ke dalam dadanya. Sampai bagaimana rasanya kematian itu seperti sudah dinikmatinya. Untung pada saat-saat gawat itu mendadak Sebun Cap-sha juga menjerit ngeri dan roboh terkapar.

Golok di tangannya berkilauan berlepotan darah segar, darah Wi Thian-bing. Baru sekarang Wi Thian-bing bergetar menahan sakit, baru sekarang dia benar-benar ketakutan menghadapi ajal. Dilihatnya Sebun Cap-sha terlentang di atas salju, biji matanya melotot, kuping, hidung dan mata serta mulutnya mendadak mengucurkan darah segar berbareng, darah yang hitam kental.

Waktu Wi Thian-bing berpaling ke arah Han Tin, Han Tin berdiri terkesima saking kagetnya. Jelas kematian Sebun Cap-sha bukan hasil karyanya, lalu siapakah yang turun tangan secara gelap menolong jiwa Wi Thian-bing? Tak sempat dia memikirkan hal ini.

Di tengah kabut tebal dalam hutan, setiap jengkal mengandung hawa pembunuhan yang tebal pula.

Dengan mendekap luka-luka di dadanya Wi Thian-bing banting kaki serta memberi perintah dengan suara berat: "Lekas mundur!"

Mendadak seseorang berkata: "Berdirilah, jangan bergerak, kalau racun di atas golok itu bekerja, jiwamu takkan tertolong lagi."

Suaranya merdu dan genit, maka muncullah sesosok bayangan orang bagai setan gentayangan dari kabut tebal, ternyata adalah Thi Koh.

"Barusan kaukah yang menolong aku?" tanya Wi Thian-bing terbelalak heran.

Thi Koh manggut-manggut.

"Yang suruh dia membunuhku juga kau?" tanya Wi Thian-bing pula.

Thi Koh manggut-manggut pula.

Wi Thian-bing menyurut mundur dua langkah, gemetar: "Jadi kau...........kau.........apakah kau adalah........." agaknya dia tidak berani mengatakan adalah putriku.

Ternyata Thi Koh tidak menyangkal, sorot matanya menampilkan rasa kaku, katanya kemudian: "Selama hidupnya, hanya kau laki-laki yang pernah dimilikinya."

Wi Thian-bing menyurut dua langkah lagi, sekujur badannya gemetar, selama hidupnya Lam-hay-nio-cu hanya mempunyai seorang suami yaitu dirinya. Hatinya entah sedih, haru, heran ataukah senang?

Berkaca-kaca Thi Koh, katanya: "Oleh karena itu aku tidak akan berpeluk tangan melihat jiwamu terancam."

Memangnya manusia mana di dunia ini yang tega melihat ayahnya mati dibunuh orang.

Apa benar dia putri kandungnya? Hampir Wi Thian-bing tidak berani percaya, namun tidak bisa tidak dia harus percaya.

Dengan nanar dia pandang mukanya, suatu hal yang menjadi penyesalan seumur hidup adalah dia tidak punya keturunan, siapa tahu menjelang hari tuanya, mendadak muncul seorang perempuan yang mengaku sebagai anaknya, anak yang begini cantik, yang patut dibuat bangga. Tanpa terasa berlinang air matanya, terlupakan olehnya bahwa barusan dia membuat rencana untuk membunuhnya, meminjam tangan orang lain.

Darah lebih kental dari air, binatang buas seperti harimaupun tak pernah makan anaknya sendiri, apalagi manusia. Dengan gemetar, tangan Wi Thian-bing terulur, seakan-akan dia ingin mengelus kepala putrinya, meraba raut mukanya, tapi dia tidak berani. Pada saat itulah dari luar hutan menerjang masuk seseorang yang mengawasinya dengan pandangan kejut dan terkesima, ternyata Sim Koh pun menyusul datang.

Thi Koh menghela napas, katanya: "Sebetulnya kau tak usah kemari."

Dengan kencang Sim Koh gigit bibirnya, mendadak dia berkata dengan suara keras: "Kenapa tidak boleh kemari? Jikalau benar dia ayahmu, berarti kakekku pula, kenapa aku tidak boleh menemui kakekku?"

Wi Thian-bing tertegun, kiranya bukan saja dia sudah punya anak, malah sudah punya cucu. Darah sekujur badannya serasa mendidih, hampir tak tertahan ingin dia menggembor sekeras-kerasnya. Sigap sekali mendadak Sim Koh turun tangan membalikkan badan, sehingga tidak terduga sama sekali, dalam sekejap tujuh Hiat-to di dadanya sudah tertutuk.

Han Tin hanya melongo di tempatnya, sedikitpun dia tidak memberi reaksi. Melihat Sim Koh turun tangan, hendak menolongpun dia sudah tak sempat lagi. Siapa tahu Sim Koh malah membimbing Wi Thian-bing, katanya: "Golok itu sudah berlepotan darah, tentunya dia sudah keracunan, lekas gendong dia dan ikuti aku." Kiranya tutukan Hiat-to yang dia lakukan adalah untuk menolong jiwa Wi Thian-bing.

Han Tin menghela napas, apa yang dia saksikan dan dia dengar hari ini, untuk selama hidupnya takkan pernah dilupakan. Sebesar ini dia hidup, belum pernah dia alami peristiwa aneh seperti ini.

ooo)O(ooo

Rahasia Mo Kau Kaucu Jilid 3-2

Akhirnya Sebun Cap-sha bisa duduk, namun hatinya amat sedih dan mendelu. Waktu dia menjengking kesakitan memeluk perut tadi ternyata gurunya tidak berusaha menolongnya. Jagat seluas ini seperti hanya dia seorang diri saja yang masih ketinggalan hidup. Wi-pat-ya tinggal pergi bersama Han Tin yang pandai menjilat itu, seolah-olah melupakan dirinya yang masih kesakitan. Tiada seorangpun di dunia ini yang sudi memandang dirinya, bila seseorang sampai merendahkan dirinya, bagaimana dia bisa mengharap orang lain memandang tinggi dirinya.

Dengan seluruh kekuatannya dia mengepal tinju, hatinya diliputi dendam dan penasaran, dia sadar harus melakukan sesuatu yang menggemparkan dan mengejutkan orang banyak supaya Sebun Cap-sha tidak dipandang sebagai manusia yang tidak berguna, biar orang banyak berlutut mencium kakinya. Namun dengan cara apa dia harus melakukan kerja yang mengejutkan dan menggemparkan?. Bahwasanya dia sendiri tidak bisa menyimpulkan apa-apa. Hal ini kembali membuat hatinya merana dan kesepian, lebih baik mencari suatu tempat minum sepuas-puasnya sampai mabuk, setelah mabuk akan terasa olehnya bahwa dirinya adalah Enghiong besar yang tiada tandingan di seluruh jagat raya ini. Sayang sekali jadi Enghiong hanyalah angan-angan kosong belaka, yang terang sekarang dia harus pasang pelana jadi kusir kendalikan kereta.

Dengan menghela napas pelan-pelan dia berdiri tanpa semangat. Sekonyong-konyong di luar kereta seseorang berkata: "Seorang diri kau duduk di sini, apa tidak merasa kesepian?". Suara merdu nyaring misterius tadi, cuma nada bicaranya lebih lembut dan hangat.

Tiba-tiba berdiri bulu roma Sebun Cap-sha, mengkirik dia dibuatnya, teriaknya: "Siapakah kau? Dimana kau?"

"Aku kan di sini, masa kau tidak melihatku?"

Lapat-lapat seperti tampak bayangan seseorang di luar kereta, mengenakan jubah halus ringan semampai, rambutnya yang hitam panjang menjuntai mayang. Sekujur badan Sebun Cap-sha basah kuyup oleh keringat dingin, seperti mendadak dia kecemplung ke dalam perigi es tak terlihat dasarnya. Kini dia sudah melihat jelas orang itu, mukanya pucat seperti kapur, jubahnya melambai, darah berlepotan di depan dada, perut sampai ke bawah darah masih mancur dari tenggorokannya yang bolong, dia bukan lain adalah sang taci yang mampus tertusuk bor Han Tin. Biji mata yang jeli dan bening tadi melotot keluar, darah segar meleleh di ujung mulutnya, di dalam kegelapan tampak seram menakutkan.

Lemas kedua kaki Sebun Cap-sha. Sungguh tak tega dia melihat keadaan orang, namun entah kenapa dia terkesima tak ingin berpaling ke arah lain.

"Lihatlah aku......aku tahu kau pasti melihat aku." suaranya berubah dibanding waktu dia masih hidup, tapi suaranya keluar dari tenggorokan yang bolong.

"Sebetulnya aku mencintaimu sepenuh hati, sebetulnya aku sudah berkeputusan menjadi istri dan selamanya mengikuti jejakmu, tapi dengan kejam mereka membunuhku, kini kau sebatangkara, tiada orang menemanimu." suaranya menjadi sedih pilu dan rawan, dari biji matanya yang melotot berlinang dua butir air mata.

Serasa remuk hati Sebun Cap-sha, rasa takut entah sirna kemana. Mendadak dia ikut merasa sedih dan rawan, betapapun masih ada orang yang sudi memandang dirinya, sayang orang ini sudah ajal. Tadi dia hanya berpeluk tangan menonton dengan mendelong tanpa berbuat apa-apa.

"Begitu kejam dan tega mereka membunuhku di hadapanmu, bahwasanya mereka tidak memandangmu sebagai manusia," suaranya semakin memilukan. "tapi aku tahu, kau tidak akan membiarkan aku mati penasaran, kau pasti menuntut balas, supaya mereka tahu bahwa kau bukan pemuda yang tidak berguna."

Terkepal kedua tinju Sebun Cap-sha, kepalanya manggut-manggut, katanya mendesis benci: "Aku akan bikin perhitungan, aku akan memberitahu kepada mereka."

"Nah, aku membawa sebatang golok, kenapa tidak sekarang kau pergi bunuh mereka?."

Dari tengah udara tiba-tiba melayang jatuh sebuah benda, 'Ting...' ternyata sebilah golok kemilau yang menancap di atas tanah.

"Asal kau membunuh Han Tin dan Wi Thian-bing, kau adalah Enghiong yang paling hebat dan kenamaan di Kang-ouw, selanjutnya takkan ada orang berani memandang rendah dirimu. Di alam baka akupun bisa mati dengan meram dan tentram." suaranya melayang terombang-ambing di tengah udara, semakin jauh dan jauh. "Inilah permintaanku terakhir kepadamu, kau harus melaksanakan permintaanku......" makin jauh dan akhirnya tak terdengar lagi.

Maka robohlah jazat yang sudah dingin kaku itu.

Malam gelap tak berujung pangkal. Tiba-tiba Sebun Cap-sha memburu maju menggenggam erat tangannya, tapi tangan orang sudah kaku dingin, jelas orang sudah mati cukup lama. Tapi kenyataan barusan dia berdiri dan bicara, sebatang golok benar-benar menancap di atas salju.

Dengan tangan yang basah oleh keringat, Sebun Cap-sha jemput golok itu. Mengawasi golok di tangannya, dia hanyut oleh emosi, mukanya tampak haru dan berkerut-kerut menahan pilu, namun sepasang matanya menatap lurus kosong, mirip pandangan orang mati. Dengan kencang dia genggam golok itu, lalu disimpan di dalam lengan baju, pelan-pelan dia beranjak pergi.

ooo)O(ooo

Nyala api yang kelap-kelip terhembus angin terus melayang ke depan, terpaksa Wi Thian-bing dan Han Tin berjalan cepat mengikuti arah kemana api itu pergi. Jalan yang mereka lewati licin, salju sudah membeku. Di dalam hutan yang luas ini, hanya kelihatan beberapa titik api yang tersebar seperti sinar bintang di cakrawala. Menyusuri jalan kecil licin ini mereka terus menerobos hutan Bwe, tiba-tiba muncul sinar api yang menyala terang di sebelah depan, puluhan orang serba putih berbaris mengejar sinar api itu dan tiba-tiba lenyap seluruhnya di balik pepohonan.

Begitu keluar dari hutan lebat itu, baru Wi Thian-bing melihat deretan rumah-rumah petak yang rendah, gaya dan bentuk bangunannya amat aneh, orang-orang baju putih tentu masuk ke dalam rumah ini. Pada saat itu pula api yang menuntun mereka tiba-tiba lenyap, di tengah hembusan angin kembali kumandang suara merdu misterius itu, kali ini hanya dua patah kata saja yang diucapkan: "Silahkan masuk."

Setelah berada di dalam baru Wi Thian-bing berdua merasakan bahwa rumah-rumah ini bukan saja tidak rendah, malah kelihatan luas dan megah, lantainya tertutup permadani yang masih baru, begitu dihadang deretan pintu angin, dimana terdapat lukisan pemandangan alam, puncak gunung yang memutih salju, warna kembang merah yang menyolok, kelihatan bukan pemandangan dari daratan Tiong-goan.

Waktu tulisan pada lukisan itu ditegasi, kiranya pemandangan ini diambil dari kepulauan Hu-siang-to (Jepang) di luar lautan, warna kembang yang merah menyolok itu adalah kembang yang paling kenamaan di Hu-siang-to yaitu kembang sakura.

Jadi bentuk rumah juga diciptakan menurut seni bangunan dari Hu-siang-to. Di dalam rumah tiada kursi, kecuali beberapa buah meja pendek, di atasnya hanya terdapat tempat lilin warna hijau, sinarnya guram, hiolo di ujung rumah masih mengepulkan asap tebal berbau harum semerbak. Di tengah rumah di mana sebuah meja pendek terdapat sebuah patung Koan-im Posat setinggi tiga kaki, tangannya memegangi dahan pohon Yang-liu, mukanya tersenyum halus lembut.

Dua orang gadis jelita berpakaian serba putih bagai salju berdiri disamping meja, memejamkan mata menurunkan alis, seorang usianya lebih tua, berperawakan tinggi semampai, potongannya elok, satunya lebih muda dan lebih cantik, bagai bidadari yang turun dari khayangan.

Mereka adalah Thi Koh dan Sim Koh. Sementara orang-orang baju putih bersimpuh di atas lantai, semua duduk mematung, sorot matanya tertuju ke tempat jauh. Suasana hening lelap dengan kepulan asap dupa yang semerbak, hingga keadaan rumah terasa seram dan tentram.

Kini belum tiba saatnya buka suara. Wi Thian-bing langsung bersimpuh di atas permadani, baru sekarang dia melihat di belakang pintu angin ada dua pemuda bersutra yang beralis tegak bermata terang, berwajah cakap kereng, keduanya berdiri tegak memegangi pedang. Sarung pedang masing-masing dihiasi mutiara berkilauan, setiap butir tak ternilai harganya, barang mestika yang jarang terdapat di dunia ini.

Bukan saja raut muka mereka mirip satu sama lain, di antara kedua alisnya juga memancarkan watak sombong, seakan-akan seluruh hadirin tiada yang terpandang dalam mata mereka.

Sekilas Wi Thian-bing dan Han Tin beradu pandang, dalam hati mereka tahu, bahwa kedua pemuda ini datang dari kota mutiara.

Setelah berdiam lama satu di antara saudara kembar yang berperawakan agak tinggi bertanya: "Dimanakah sebetulnya Lam-hay-nio-cu? Kami sudah berada di sini. Kenapa ia belum muncul?"

Suara misterius yang berkumandang itu menjawab: "Sejak tadi aku berada di sini, memangnya kalian tidak melihatku?" ternyata patung Koan-im itu bersuara, jelas bibir Thi Koh dan Sim Koh tidak pernah bergerak.

Berubah air muka kedua saudara kembar, katanya dingin: "Dari tempat jauh kami kemari bukan ingin berhadapan dengan patung ukiran."

"Tapi orang yang kalian ingin lihat dan hadapi adalah aku."

"Jadi kau inikah Jian-bin-koan-im Lam-hay-nio-cu?"

"Memang inilah aku."

Saudara kembar itu tiba-tiba menyeringai dingin, berbareng mencabut pedang, sinar pedang laksana bianglala menyambar ke depan menusuk patung Koan-im, gerak-gerik mereka begitu mirip satu sama lain, seolah-olah kerja dari satu bayangan orang.

Ilmu pedang mereka begitu lincah, enteng dan cepat, begitu pedangnya menusuk, sasarannya berubah di tengah jalan, sinar pedang menyambar menyilang, berbintik-bintik bagai kuntum salju berterbangan. Mendadak 'trap" dua jalur pedang bergabung menjadi satu, laksana kilat menyambar muka patung Koan-im Posat.

Pada detik yang menentukan serangan mereka itulah, tiba-tiba terasa oleh saudara kembar ini rona muka Koan-im itu rada berubah, senyum lembut menjadi dingin, serius dan kereng. Di dalam waktu sekejap saja, perempuan cantik yang berusia lebih tua tiba-tiba turun tangan. Terdengar 'pletak' dan ujung pedang yang bergabung satu itu tahu-tahu tergencet di antara kedua telapak tangannya, disusul suara keras yang bergetar, ujung ke dua pedang saudara kembar itu ternyata putus menjadi dua potong.

Agaknya saudara kembar dari kota mutiara ini dipaksa merubah serangan karena kaget, akhirnya kalah karena melihat perubahan air muka Koan-im tadi, meski menghadapi perubahan di luar dugaan, namun mereka tidak gugup karenanya, sebat sekali mereka menggeser kedudukan mundur delapan kaki, kembali ke belakang pintu angin, pedang mereka sudah kembali ke dalam sarungnya. Reaksi mereka menghadapi perubahan cukup cepat dan cekatan, namun tak urung rona muka mereka mengunjuk rasa heran, karena dengan mata mendelong mereka saksikan kutungan pedang dimasukkan ke dalam mulut dan dimakan secara lahap oleh perempuan cantik setengah umur itu. Mereka hampir tidak percaya, betapa tajamnya ujung pedang mereka, memangnya perut perempuan cantik setengah umur ini dibuat dari besi baja?

Lam-hay-nio-cu yang misterius itu menghela napas, katanya: "Ouyang Shia-cu tidak pantas mengutus kalian datang kemari."

Kedua saudara kembar dari kota mutiara tengah mendengarkan.

"Hanya dengan bekal kepandaian kalian bersaudara, memangnya setimpal menghadapi Yap Kay?"

Tak tahan kedua saudara kembar membantah: "Yap Kay toh juga seorang manusia." hanya satu suara, tapi bibir keduanya seperti bergerak.

"Benar, Yap Kay memang hanya seorang manusia, tapi dia bukan manusia sembarangan."

Terunjuk senyum sinis pada ujung mulut ke dua saudara kembar, mimik wajahnya mencemoohkan.

"Dinilai ilmu silatnya, diantara kita yang ada di sini, tiada satupun yang unggul melawannya."

"Jakalau dia datang, kami bersaudara yang pertama ingin menghadapinya."

Lam-hay-nio-cu menghela napas, katanya: "Mungkin sekarang dia sudah datang."

Kata-kata ini bukan saja membuat Wi Thian-bing mengkirik, orang-orang seragam putih yang dipimpin Bak Pek itupun menunjukkan mimik aneh. Terutama kedua saudara kembar lebih hebat perubahan mukanya, tanyanya bengis: "Apa benar dia sudah datang?"

"Di saat kalian kemari, keretanyapun sudah masuk Leng-hiang-wan."

"Bagaimana dengan Siangkwan Siau-sian?"

"Kalau Siangkwan Siau-sian tidak datang, buat apa dia kemari?"

Jadi kedatangan Yap Kay juga lantaran Siangkwan Siau-sian.

"Apa benar Siangkwan Siau-sian adalah putri dari perkawinan Siangkwan Kim-hong dengan Lim Sian-ji?"

"Kenapa diragukan?"

"Di kala hidupnya Siangkwan Kim-hong dan Siau-li Tham-hoa adalah musuh yang tak mau sejajar, mana mungkin putrinya sudi ikut Yap Kay?"

"Karena Ah Hwi menyerahkan dia kepada Yap Kay dan Yap Kay melindunginya kemari."

"Lalu apa pula sangkut paut persoalan ini dengan Hwi-kiam-kek?"

"Sebagai perempuan centil yang suka mempermainkan cinta, sampai usia lanjut baru Lim Sian-ji menginsyafi kesalahan hidupnya, selama hidupnya hanya Ah Hwi saja yang paling dipercayanya, maka sebelum ajal dia suruh putrinya mencari Ah Hwi."

"Cara bagaimana dia bisa membuktikan diri bahwa dirinya adalah putri Lim Sian-ji?"

"Sudah tentu dia punya cara yang tidak diketahui orang lain, kalau tidak masakah Ah Hwi mau percaya?" tiba-tiba dia bertanya: "Agaknya kalian bersaudara tidak banyak tahu seluk beluk persoalan ini."

"Kami hanya tahu satu hal."

"O, apa itu?"

"Kami hanya tahu Shia-cu suruh kami kemari untuk membawa Siangkwan Siau-sian kembali."

"Maka kalian bertekad hendak membawanya pulang?"

"Sudah tentu."

"Sekarang dia sudah datang, kenapa tidak lekas kalian kesana?"

Kedua saudara kembar dari kota mutiara tidak banyak bicara lagi, mendadak keduanya melambung terus jumpalitan melampaui pintu angin, dalam sekejap sudah menghilang di luar.

"Kepandaian bagus!" tak tertahan Wi Thian-bing berseru memuji.

Suara Lam-hay-nio-cu menjadi dingin ketus, katanya: "Antar dua buah peti mati ke Biau-hiang-wan, siapkan urusan belakang ke dua saudara kembar itu."

Walaupun ujung pedang kedua saudara kembar itu kutung, namun ilmu pedang mereka dilandasi kekuatan dasar yang mengeluarkan deru angin santer di saat membelah udara, terutama gerak badan mereka yang lincah dan kerja sama yang begitu serasi, jelas tingkat kepandaian mereka sudah boleh dikategorikan kelas satu di dalam Bu-lim, terutama perpaduan pedang mereka yang melesat laksana bianglala menembus sinar matahari, betapa hebat kekuatannya, sampaipun Wi Thian-bing sendiri tidak punya keyakinan untuk melawannya.

Tapi di dalam pandangan Lam-hay-nio-cu, asal mereka kebentur Yap Kay, berarti mereka antarkan jiwa secara cuma-cuma. Tentunya pandangan Lam-hay-nio-cu takkan keliru.

Suasana rumah itu menjadi hening laksana di dalam sebuah kuburan raksasa, seakan-akan mereka tengah menunggu dengan sabar orang-orang Lam-hay-nio-cu menggotong mayat kedua saudara kembar dari kota mutiara itu kemari.

Entah berapa lama kemudian Wi Thian-bing mendahului buka suara: "Diwaktu Siangkwan Kim-hong menjagoi dunia, Sin-to-tong belum berdiri, sekarang keturunan Sin-to-tong tumbuh dewasa, maka usia Siangkwan Siau-sian tentunya tidak kecil lagi."

Lam-hay-nio-cu berkata: "Ya, sekarang sedikitnya dia sudah berusia dua puluh tahun."

"Gadis likuran tahun, apakah selama ini dia belum menikah?"

"Jikalau dia sudah punya suami, buat apa minta Yap Kay melindunginya?"

"Kecantikan Lim Sian-ji diagulkan nomor satu di seluruh dunia, tentunya Siangkwan Siau-sain bukan gadis jelek."

"Bukan saja tidak jelek, malah boleh juga terhitung gadis cantik yang jarang ada di dunia."

"Kalau dia gadis cantik, kenapa tidak atau belum mendapat suami?"

Lam-hay-nio-cu menghela napas, katanya: "Soalnya meskipun kecantikannya melebihi bidadari, tapi ingatannya, daya pikirnya lebih rendah dari bocah umur tujuh delapan tahun, gadis yang minus jiwanya."

Wi Thian-bing mengerut kening, katanya: "Perempuan secantik itu, memangnya dia seorang linglung?"

"Dia bukan anak terbelakang sejak lahirnya, khabarnya waktu berumur tujuh tahun pernah terluka parah, hingga gegar otak, karena itu otaknya tak pernah tumbuh dan tetap pada usia tujuh tahun saja."

"O, aneh juga kejadian ini." ujar Wi Thian-bing.

"Tapi perawakan dan potongan serta kecantikannya dapat membuat gila laki-laki."

"Takdir memang sudah menentukan nasib seseorang, agaknya nasibnya jauh lebih mengenaskan dari pengalaman hidup ibunya yang rusak itu."

"Perempuan seperti itu, jikalau tiada orang yang melindunginya, entah berapa banyak laki-laki yang akan menipu dan mempermainkan dia."

"Oleh karena itu diwaktu Lim Sian-ji hampir meninggal dunia, hatinya tidak tega meninggalkan putri satu-satunya ini, maka dia cari Hwi-kiam-kek minta dia melindungi putrinya." ujar Wi Thian-bing menegas.

"Selama hidup Ah Hwi berkelana dan belum pernah punya tempat tinggal tetap, karena itu di saat dia ketemu Yap Kay di Kang-lam, maka dia serahkan tanggung jawab ini kepada Yap Kay."

"Apakah dia bisa percaya penuh terhadap Yap Kay seperti Lim Sian-ji percaya terhadapnya?" tanya Wi Thian-bing.

"Siapapun boleh percaya terhadap Yap Kay, walau orang ini berwatak bebas, liar dan tak mau terkekang, tidak mementingkan adat istiadat, namun setiap pesan yang diserahkan kepadanya oleh seorang teman, umpama harus menempuh gunung apipun tidak akan ditolaknya."

Selama ini Bak Pek hanya mendengarkan saja, tiba-tiba menyeletuk: "Bagus, laki-laki sejati, laki-laki gagah."

"Justru karena dia berjanji untuk melindungi Siangkwan Siau-sian, maka dia bertengkar dengan kekasihnya Ting Hun-pin, hingga tunangannya itu minggat tak karuan parannya, sampai sekarang belum terdengar kabar beritanya."

Wi Thian-bing tertawa, katanya: "Aku pernah dengar putri keluarga Ting memang nona cemburuan."

"Perempuan memang dilahirkan untuk cemburuan." ujar Lam-hay-nio-cu.

Setelah berpikir sebentar Wi Thian-bing berkata pula: "Tempo dulu Kim-cie-pang menguasai dunia tujuh selatan tiga puluh enam utara, hampir seluruh propinsi di tanah Tiong-goan ini berada dalam kursinya, betapa besar kekayaannya, hampir menandingi kekayaan negara, tapi umum tahu bahwa Siangkwan Kim-hong adalah manusia yang hidup sederhana dan kikir."

"Dia bukan kikir dan hidup sederhana, yang terang segala hidup foya-foya dan segala kemewahan di dunia ini tiada yang menarik perhatiannya, kecuali kekuasaan, jelas tiada sesuatu apapun dalam dunia ini yang bisa menggerakkan perhatian Siangkwan Kim-hong, sampai perempuan secantik Lim Sian-ji pun dalam pandangannya tidak lebih hanya alat pemuas napsu belaka."

Kata Wi Thian-bing: "Konon, disaat Siangkwan Kim-hong masih hidup, seluruh kekayaan Kim-cie-pang dan ilmu silatnya disimpan pada suatu tempat rahasia."

"Memang di kalangan Kang-ouw banyak orang memperbincangkan soal ini."

"Tapi sejak Siangkwan Kim-hong meninggal, sampai sekarang sudah dua puluhan tahun lebih, belum pernah ada orang menemukan tempat penyimpanan harta itu."

"Memang belum pernah ada." ujar Lam-hay-nio-cu.

Bercahaya mata Wi Thian-bing, katanya pelan-pelan: "Soalnya di mana letak penyimpanan harta ini memang tiada orang tahu."

Lam-hay-nio-cu bersuara heran dalam tenggorokan.

(Bersambung ke Jilid-4)

Rahasia Mo Kau Kaucu Jilid 3-1



Tiba-tiba Ting Ling berpaling, sekilas dia memandang ke arah patung pahatan yang dipuja itu, seketika sorot matanya terkesima dan menjublek tak bergerak lagi. Di antara kepulan asap dupa yang bergulung-gulung itu, tampak wajah patung Koan-im Posat yang satu ini sudah berubah. Raut muka yang semula mengulum senyum bahagia, kini serius dan berwibawa, alisnya tegak, sorot matanya beringas memantulkan perasaan marah. Patung pemujaan yang semula tidak bernyawa mendadak berubah menjadi manusia.

"Aku adalah orang yang ingin kau temui, maka kau harus mengawasiku, setiap patah kata yang kuucapkan, harus kau ingat betul-betul."

Terasa oleh Ting Ling sekujur badannya sudah basah berkeringat, tanpa sadar dia manggut, walau dalam hati tidak ingin melihatnya, namun sorot matanya sukar beralih ke arah lain, tatapan tajam mata patung misterius ini seperti mengandung hawa gaib.

"Kau adalah Ting Hun-pin, Yap Kay adalah kekasihmu, suamimu, tapi Siangkwan Siau-sian merebutnya dari tanganmu. Setiap detik setiap saat mereka berpelukan main cinta, kau ditinggal seorang diri hidup merana."

Ting Ling menatapnya kaku, tiba-tiba wajahnya menampilkan derita dan sedih serta pilu yang tak tertahankan.

"Aku tahu akan dirimu dan jelas akan dirinya, sakit hati ini takkan bisa terlupakan karena itu kau harus menuntut balas."

Wajah Ting Ling beringas, gusar dan buas, mulutnya mengguman: "Aku harus menuntut balas.......aku akan menuntut balas......"

"Tidak lama lagi Yap Kay hendak membawa perempuan genit dan jahat itu kemari. Kebetulan ada kesempatan bagimu menuntut balas kepadanya."

Ting Ling mendengarkan, sorot matanya yang semula bercahaya, lambat laun berubah menjadi kosong hambar, sebaliknya rasa kebencian di mukanya bertambah tebal dan liar.

"Yap Kay pasti tak menduga kau bakal berada di sini, oleh karena itu munculmu yang mendadak ini pasti akan membuatnya kaget bukan main."

"Dia pasti takkan menaruh prasangka terhadapmu, maka kau harus cari kesempatan untuk merebutnya dari tangan perempuan jahat yang bernama Siangkwan Siau-sian itu, bawa dia kemari, biar kami bantu kau merusak mukanya, supaya dia tidak memelet laki-laki dan menjebloskan kaum Adam ke dalam neraka."

"Bagaimana, kau sudah mengerti maksudku?"

Ting Ling manggut, sahutnya: "Aku sudah mengerti."

"Apa kau mau bertindak menurut petunjukku?"

"Baik! Aku akan bertindak sesuai petunjukmu."

"Setiap patah kata perintahku, kau percaya sepenuhnya?"

"Baik! Aku percaya sepenuhnya."

"Bagus! Sekarang kau boleh berdiri. Hiat-to mu sudah terbuka, berdirilah pelan-pelan."

Benar juga, Ting Ling ternyata bisa berdiri. Kedua kakinya yang semula kaku lemas, kini punya tenaga.

"Baik, di dalam bajumu ada sebatang golok, sekarang aku perintahkan kau membunuh seseorang dengan golokmu itu."

"Membunuh siapa?"

"Bunuhlah Nyo Kan."

Ting Ling pelan-pelan membalik badan, kakinya beranjak pergi dari depan Sim Koh dan Thi Koh. Sorot matanya kaku tertuju ke depan nan jauh, tangannya merogoh ke dalam pakaiannya mengeluarkan sebatang golok. Hanya ada satu pikiran yang bergolak dalam benaknya: "Gunakan golok ini, bunuhlah Nyo Kan."

ooo)O(ooo

Api unggun sudah berkobar dalam ruangan itu, namun hawa masih terasa dingin. Nyo Kan duduk menyanding tungku yang menyala, agaknya hatinya mulai gelisah duduk tidak tenang. Dia sedang menunggu kabar dari Ting Ling. Ternyata Ting Ling tidak kunjung datang, meski waktu yang dijanjikan sudah berselang beberapa lamanya.

Di saat dia gelisah itulah, dilihatnya seseorang mendorong pintu dan melangkah masuk. Itulah perempuan yang cantik molek, rambutnya yang hitam gelap tersanggul rapi dengan model mutakhir, tusuk kundai hijau pupus yang terbuat dari batu giok menghias sanggulnya.

Nyo Kan segera berdiri dan menyambutnya dengan tersenyum: "Nona ada pesan apa?" agaknya dia kira perempuan ini adalah murid atau pesuruh Lam-hay-nio-cu, maka melirikpun dia tidak memandangnya lagi.

Tapi sejak melangkah masuk, perempuan ini menatapnya nanar, sorot matanya menampilkan mimik yang aneh sekali. Tak tahan Nyo Kan angkat kepala melihatnya sekali lagi, tiba-tiba terasa olehnya wajah orang seperti mirip seseorang.

Gadis itu tetap menatapnya, tanyanya dengan suara tandas: "Kau inikah Nyo Kan?"

Nyo Kan manggut-manggut, tiba-tiba dia berteriak kaget: "Kau adalah Ting Ling!"

"Aku bukan Ting Ling, aku Ting Hung-pin" sahut Ting Ling.

Melotot biji mata Nyo Kan, serunya: "Kau...... bagaimana kau berubah begini rupa?"

"Memang demikianlah keadaanku semula, memangnya aku seorang perempuan?"

Berubah air muka Nyo Kan, katanya: "Apa kau sudah gila?"

"Aku tidak gila, kaulah yang gila, maka kau harus kubunuh!" tiba-tiba dia keluarkan goloknya terus menusuk ke dada Nyo Kan.

Mimpipun Nyo Kan tidak pernah menduga orang akan membunuh dirinya, bahwasanya dia tidak bersiaga, maka untuk berkelitpun tak sempat lagi. Darah menyembur dari lubang dadanya, menyemprot membasahi pakaian Ting Ling. Tidak terunjuk perubahan mimik muka Ting Ling, dengan kaku dia awasi Nyo Kan roboh pelan-pelan, lalu pelan-pelan dia putar badan. Kabut tebal di luar pintu terasa dingin membeku, malam semakin gelap. Pelan-pelan dia beranjak di tengah kabut.

Dari tempat gelap berkumandang suara misterius yang merdu: "Bagus! Kau menunaikan tugasmu dengan baik, tapi kau sudah terlalu letih, saking lelah matapun tak kuasa melek lagi."

"Ya, aku memang terlalu penat." sahut Ting Ling. Betul juga kelopak matanya pelan-pelan terpejam.

"Di sini ada ranjang paling baik dan nyaman, sekarang kau boleh tidur sepuasmu, setelah Yap Kay dan perempuan jahat itu datang, kami akan membangunkan kau."

Tanah itu bukan saja kotor juga dingin bertumpuk salju, tapi pelan-pelan Ting Ling sudah merebahkan dirinya, seolah-olah dia di atas ranjang yang benar-benar empuk dan nyaman. Tiba-tiba dia sudah pulas dan kelelap di alam mimpi.

Kabut semakin tebal.

ooo)O(ooo

Sang adik tetap tidur pulas, sang taci sedang mendengus napas sambil di tahan-tahan kelopak matanya, akhirnya terpejam. Air mukanya menampilkan kelelahan dan senyum manis puas. Ganti berganti Sebun Cap-sha mengawasi kedua kakak beradik kembar ini, tiba-tiba hatinya dirangsang rasa riang dan puas serta bangga, seolah-olah dia berhasil mengalahkan Ting Ling.

"Belum tentu setiap orang selalu menang di bidang tertentu, ternyata aku punya kekuatan yang melebihi keampuhannya." demikian dengan tersenyum dia angkat cangkir arak. Baru saja dia hendak minum, tiba-tiba didengarnya suara ketukan pintu dari luar.

Apakah Ting Ling sudah kembali? Kerai jendela sudah tersingkap, namun matanya tidak melihat jelas siapa yang berada di luar.

"Siapa?" tanyanya tanpa mendapat jawaban.

Sejenak Sebun Cap-sha ragu-ragu akhirnya dia memberanikan diri membuka pintu. Tiada seorangpun di luar. Tabir malam menelan segala makhluk di atas bumi ini.

"Barusan siapa mengetuk pintu?" tanyanya sembari mengencangkan pakaiannya. Tetap tidak mendapat jawaban. Kemanakah kusir kereta yang berjaga di luar? Hawa malam ini sungguh terlalu dingin. Sebetulnya dia tidak ingin meninggalkan bilik kereta yang hangat dan nikmat itu, tapi seseorang setelah melakukan sesuatu yang tidak berkenan dalam sanubarinya selalu merasa kurang tentram hatinya. Akhirnya dia kenakan sepatu tinggi, melompat turun ke tanah. Kabut tebal nan gelap pekat, dingin dan sunyi senyap.

Kusir kereta mengenakan pakaian tebal berkulit kapok sedang jongkok di tumpukan jerami di luar gubuk sana, dengan dengkul sebagai bantal, tangan memeluk kaki, agaknya sudah lelap dalam tidurnya.

Lalu siapa yang barusan mengetuk pintu? Apakah dia salah dengar? Jelas tidak. Usianya masih muda, kuping dan matanya masih tajam. Entah darimana Ting Ling mengundang kusir kereta ini, kalau barusan ada orang kemari, tentu dia tahu atau mendengar suara.

Sebun Cap-sha segera menghampiri, baru saja dia hendak dorong dan membangunkan orang, sekonyong-konyong kusir kereta yang jongkok memeluk kaki itu melejit ke atas tumpukan jerami, di tengah udara jumpalitan terus melesat keluar laksana anak panah. Kecepatan gerak badannya memang tidak selincah dan segesit Ting Ling, namun jelas tidak lebih asor dari Sebun Cap-sha sendiri.

Sebun Cap-sha tidak sempat melihat muka orang. Ingin dia mengejar, namun sekilas dia ragu-ragu, bayangan kusir itu sudah menghilang di tempat gelap. Kabut tebal pasti bisa menyesatkan arah, hawa begini dingin setajam golok mengiris kulit. Tiba-tiba dia bergidik kedinginan, akhirnya dia berkeputusan untuk kembali ke bilik kereta sambil menunggu kedatangan Ting Ling saja.

Ternyata pintu kereta sudah tertutup pula. Sebun Cap-sha tidak ingat, dirinyakah yang menutup atau tertutup sendiri ditiup angin lalu. Lentera yang terbuat dari tembaga itu masih menyala, cahaya lentera yang redup menembus jendela menyorot keluar.

Sebun Cap-sha menjadi gegetun dan menyesal, kenapa dia keluar meninggalkan bilik kereta yang hangat itu, maka bergegas dia melangkah balik terus menarik daun pintu. Tapi hatinya yang hangat menyala seketika mendelu dingin seperti batu yang tenggelam ke dasar air. Badannya tegak gemetar di luar kereta, bergerakpun tidak berani.

Ternyata di bilik kereta sudah ketambahan satu orang. Seorang berkepala gundul berhidung elang, laki-laki tua yang berwajah merah segar, bertengger di mana tadi dia duduk. Dia bukan lain adalah Wi-pat-ya.

Kedua kakak beradik kembar itu masih meringkuk di pojok, tidurnya nyenyak sekali.

Bagai tajam golok, sorot mata Wi-pat-ya yang berwibawa menatap muka Sebun Cap-sha, katanya dingin: "Masuklah!"

Dengan tunduk kepala Sebun Cap-sha masuk ke dalam kereta, sekilas ujung matanya sempat melirik ke sana, dilihatnya kusir kereta tadi sudah jongkok kembali di tempatnya semula memeluk kedua kaki berjongkok seperti tertidur, seolah-olah dia tidak pernah bergerak dari tempatnya.

Bilik kereta ini terlalu rendah, siapapun tak bisa berdiri tegak di dalam bilik. Tapi Sebun Cap-sha tidak berani duduk, terpaksa dia membungkuk dan menunduk kepala lagi.

Wi-pat-ya tetap menatapnya dingin, tanyanya: "Dimana teman baikmu itu?"

"Sudah masuk sejak tadi."

"Kapan dia masuk."

Semakin rendah kepala Sebun Cap-sha, dia tidak mampu menjawab, karena dia lupa diri untuk memperhitungkan waktu. Memangnya tadi dia sudah melupakan segala-galanya. Umpama dunia kiamatpun takkan terasakan olehnya.

"Apa yang kau lakukan setelah dia pergi?" hardik Wi-pat-ya gusar.

Sebun Cap-sha tidak berani menjawab. Apa yang dia lakukan barusan malu untuk diberitahukan meski terhadap gurunya sendiri. Seorang laki-laki main perempuan adalah jamak, namun serong dengan perempuan milik temannya sudah tentu merupakan persoalan lain pula.

Wi-pat-ya tertawa dingin, katanya: "Agaknya nyalimu memang setinggi langit. Memangnya kau tidak takut diketahui oleh Ting Ling?"

Merah muka Sebun Cap-sha, katanya gemetar: "Kami....... kami kan teman baik."

Wi-pat-ya gusar: "Justru kalian teman baik, kenapa kau justru melakukan perbuatan ini, jikalau di luar tahumu dia merebut dan main dengan perempuanmu, bagaimana perasaanmu?"

Sebun Cap-sha tidak berani menjawab.

"Kau kira Ting Ling takkan ambil perduli, setiap laki-laki akan berpeluk tangan jika melihat hal-hal buruk seperti ini?"

Sebun Cap-sha hanya manggut perlahan tak bersuara.

"Apa kepintaranmu sekarang, seorang diri dia mampu menghadapi delapan kau. Setelah tahu akan perbuatan curangmu, jikalau dia ingin menghajarmu, apa pula yang kau bisa lakukan?"

Akhirnya Sebun Cap-sha memberanikan diri, sahutnya: "Kukira dia takkan tahu."

"Kau kira dia tidak tahu? Dengan alasan apa kau berpikir demikian?"

Sebun Cap-sha menyeringai getir: "Aku sendiri tentu tidak bilang kepadanya."

"Kau tidak bilang, tapi perempuan ini?"

"Dia sendiri yang minta, mana berani beritahu kepadanya."

"Kau kira dia jatuh hati kepadamu, maka dia memelet kau?"

Sebun Cap-sha tidak berani menyangkal, namun diapun tak berani mengakui.

"Apakah kedua perempuan ini hasil rebutanmu dari Giok-keh-ceng?"

Sebun Cap-sha manggut-manggut.

"Kau kira mereka rela kalian rebut dan di bawa pergi?."

Memang tiada manusia di dunia ini yang rela di tengah malam buta, diculik secara kekerasan lalu dibuat main-main.

Wi-pat-ya tertawa dingin: "Memangnya matamu tidak bisa melihat, lonte ini memang memelet kau, maksudnya untuk menimbulkan rasa sirik dan jelus antara kau dan Ting Ling, baru mereka punya kesempatan untuk membalas."

Agaknya Sebun Cap-sha tidak sependapat, katanya: "Mungkin dia......"

"Kau masih berpendapat dia jatuh hati kepadamu? Dalam hal apa kau lebih kuat dari Ting Ling? Apalagi nona cilik berusia empat belas tahun, umpama dia perempuan jalang yang tebal muka, memangnya tidak malu di hadapan adiknya main sex dengan kau?"

Sebun Cap-sha terdiam.

"Apalagi kalian bermain begitu asyik, dari kejauhan sudah kudengar, adiknya kan bukan babi, kalian bergulat disampingnya, memangnya dia bisa tidur nyenyak?"

Seketika berubah air muka Sebun Cap-sha, tiba-tiba terbayang olehnya, mungkin hal ini memang sudah terencana oleh kedua kakak beradik kembar ini, maka begitu Ting Ling pergi, sang taci lantas bangun, sementara sang adik tetap pura-pura tidur, maksudnya untuk memberi kesempatan bagi mereka. Tiba-tiba otaknya sadar, betapapun jahe yang tua lebih pedas.

Tiba-tiba Wi-pat-ya bertanya lagi: "Apakah kedua lonte ini memang lahir di Giok-keh-ceng?"

"Agaknya bukan, dulu aku pernah ke Giok-keh-ceng, namun belum pernah melihat mereka."

Wi-pat-ya tertawa dingin, katanya: "Agaknya tidak lepas dari dugaanku." Setajam golok sorot matanya menatap ke arah kedua gadis kembar, katanya pelan-pelan: "Nona-nona cantik seperti kedua orang ini, sebetulnya tak tega aku melihat mereka mampus dihadapanku."

Kedua gadis kembar itu masih meringkel di pojok dengan memeluk kepala, pernapasannya masih enteng teratur, sedikitpun tidak menjadi takut atau gelisah, tidurnya seperti nyenyak.

Tiba-tiba Wi-pat-ya berpaling menatap Sebun Cap-sha: "Oleh karena itu di kala kau membunuh mereka, aku pasti akan memejamkan mata."

"Aku?" Sebun Cap-sha tertegun.

"Benar! Kau!", sahut Wi-pat-ya menarik muka.

Terkejut dan kesima Sebun Cap-sha dibuatnya: "Aku...... aku harus membunuh mereka?"

"Jikalau kau tidak tega bunuh mereka, akupun akan beri kesempatan mereka membunuhmu."

Pucat muka Sebun Cap-sha, katanya: "Tapi kalau Ting Ling kembali, jikalau tahu mereka sudah mati, bukankah........"

"Dia tidak akan tahu." tukas Wi-pat-ya.

"Kenapa?"

"Orang mati bisa tahu apa?"

Kembali Sebun Cap-sha berjingkrak kaget, serunya: "Ting Ling sudah mati?"

"Kalau dia tidak mampus, kaulah yang harus mampus....."

Lama Sebun Cap-sha mengawasi gurunya, akhirnya dia tahu apa maksudnya. Di waktu dia suruh Ting Ling kemari, tujuannya supaya dia menempuh bahaya dan mungkin jiwanya sudah melayang dalam menjalankan tugas. Bila Ting Ling berhasil menyelidiki keadaan Lam-hay-nio-cu yang sebenarnya, begitu dia kembali, maka dia harus mampus, karena itu maka Wi-pat-ya menyusul kemari, kusir kereta itupun sudah diganti salah seorang muridnya.

Sebun Cap-sha mengawasi muka orang yang kaku dingin dan kejam, hampir dia percaya bahwa orang tua yang disanjung sebagai guru dan bertabiat kasar ini tak berambisi dan pemarah. Namun dalam detik terakhir ini kelihatannya berubah menjadi bentuk orang lain, lebih tabah tenang dan cerdik, lebih lihay dari Ting Ling.

Tiba-tiba disadari oleh Sebun Cap-sha, bila seseorang ingin dirinya menonjol dan angkat nama di kalangan Kang-ouw, maka dia harus mempunyai dua wajah yang berlainan dengan watak dan jiwanya yang asli, hingga orang terdekatpun takkan gampang tahu macam apa sebetulnya muka aslinya.

Sorot mata Wi-pat-ya yang tajam laksana ujung golok masih menatap mukanya, katanya tawar: "Menunggu ajal jauh lebih menderita daripada mampus, jikalau kau kasihan terhadap gadis-gadis ayu ini, lebih baik kau buat mereka mati lebih cepat."

Sebun Cap-sha kertak gigi, mendadak dia turun tangan, jari tengahnya tertekuk menjojoh seperti paruh elang, menotok Hiat-to mematikan di bawah tulang iga sang adik. Sang taci sudah mempersembahkan permainan hebat yang cukup mengesankan hatinya, betapapun dia tidak tega, memangnya dia bukan laki-laki kejam bertangan gapah.

Tak nyana sebelum totokan jarinya mengenai sasaran, kedua kakak beradik yang meringkel nyenyak itu tahu-tahu membalik badan bersama. Entah darimana tahu-tahu kedua tangan mereka mencekal sebatang golok melengkung yang berbentuk aneh dan mengeluarkan sinar hijau.

Biasanya mereka lembut dan jinak seperti burung dara yang kasmaran, tapi sekarang kelihatan mereka jauh lebih jahat dari ular berbisa, buas dan liar daripada serigala. Begitu membalik badan, sang taci menendang perutnya, berbareng golok melengkung di tangannya sudah menusuk ke tenggorokan Wi-pat-ya.

Saking kesakitan air mata dan air liur Sebun Cap-sha bercucuran, begitu kedua tangan memeluk perut dengan badan terbungkuk, golok melengkung sang adik sudah membacok ke lehernya dari sebelah kiri.

Wi-pat-ya tidak menunjukkan perubahan perasaannya, agaknya dia sudah menduga akan kejadian ini. Baru saja golok kedua gadis kembar itu terayun, terdengarlah suara 'ting, ting, ting, ting" empat kali, empat golok melengkung itu tahu-tahu sudah putus ujungnya. Entah kapan tangan Wi-pat-ya sudah mencekal sebatang tongkat pendek panjang satu kaki tiga dim. Tongkat pendek warna hitam legam, gelap tak bersinar, tidak menunjukkan keistimewaan apa-apa pada tongkat pendek ini, tahu-tahu golok melengkung yang tajam berkilau terbuat dari baja asli itu sudah protol ujungnya, hanya dengan sekali ketukan saja.

Saking kaget ke dua gadis kembar itu terkesima mengawasi golok kutung di tangannya, hampir mereka tidak percaya akan kenyataan ini. Kilas lain mereka merasa kedua lengan mereka linu kemeng, sehingga tak kuat lagi menyekal golok melengkungnya yang sudah kutung.

Dengan menyeringai dingin Wi-pat-ya menatap mereka: "Kalian selalu bawa sepasang mestika, kini masih ada satu yang belum dikeluarkan."

Sang taci tiba-tiba menarik napas panjang, katanya tertawa: "Agaknya kau sudah tahu asal usul kami."

"Hm...." Wi-pat-ya hanya mendengus.

"Wanpwe berdua adalah murid Ouyang Shia-cu dari Kwi-cu-to di laut timur, dari dalam Tin-cu-shia (kota mutiara). Kami di utus untuk menghadap kepada Wi-pat-ya." kelihatannya sedikitpun tidak menunjukkan rasa takut, hanya sikapnya kelihatan hormat terhadap Wi-pat-ya.

"Kalian sengaja hendak menyambangi aku?" tanya Wi Thian-bing.

"Sejak lama Ouyang Shia-cu sudah mendengar dan kagum akan nama besar Wi-pat-ya."

"Diakah yang suruh kalian kemari?"

"Benar!" sahut sang taci.

"Kalian sembunyi di Giok-keh-ceng, maksudnya hendak menghadap aku?"

"Gedung rumahmu di jaga keras dan ketat, orang-orang seperti kami untuk menemui kau orang tua bukannya soal gampang."

"Oleh karena itu kalian sengaja main mata dengan laki-laki hidung belang ini. Kalian sudah membuat rencana bagus untuk melaksanakan tugas."

Merah muka sang taci, katanya tertawa: "Di hadapan kau orang tua, mana berani kami berdusta, sebetulnya kami tidak menduga di tengah malam mereka bakal mencari kami, walau cara yang digunakan tidak baik, tapi amat manjur."

Wi Thian-bing tiba-tiba tertawa gelak-gelak, serunya: "Sejak lama kudengar murid-murid Ouyang Siau-cu adalah kuntum-kuntum kembang yang mekar, baru hari ini aku saksikan sendiri ternyata benar!" dia tertawa dengan menengadah, seolah-olah sudah lupa bahwa salah satu mestika kedua gadis kembar ini belum digunakan.

Betul juga, kesempatan yang baik ini tidak disia-siakan oleh kedua gadis kembar ini, terdengar 'cret' dua kali, puluhan bintik-bintik sinar bintang dingin tahu-tahu melesat keluar dari lengan baju mereka, laksana hujan deras menyerang ke dada Wi Thian-bing.

Gelak tawa Wi Thian-bing tidak berhenti, Cuma tongkat pendek di lengannya tiba-tiba bergerak melingkar di depan dada, puluhan sinar bintang yang dingin itu ternyata seperti mendadak disedot kekuatan gaib, tahu-tahu meluncur masuk di tengah lingkaran di susul bunyi 'tring, tring' yang ramai, ternyata puluhan titik sinar dingin itu tersedot dan lengket pada tongkat pendeknya, seperti puluhan lalat hijau hinggap di atas sepotong gula-gula panjang. Keruan kedua gadis kembar seketika tertegun melongo.

Berkata Wi-pat-ya dingin: "Aku tahu sebelum kalian keluarkan kedua mestikamu, kalian takkan putus asa."

Sang adik tiba-tiba menghela napas, katanya: "Agaknya kami yang salah menilai dirimu."

"Lho, kenapa salah nilai?" tanya Wi Thian-bing.

"Kami kira kau sudah tua, kami duga kalangan kang-ouw sekarang sudah menjadi dunianya kaum muda. Dari situasi sekarang aku menilai seorang diri, kau bisa menandingi mereka sepuluh orang," kepala tertunduk sorot matanya melirik ke arah Wi Thian-bing, sorot mata kagum dan hormat.

Kelihatan Wi-pat-ya jauh lebih muda dari usianya, katanya tersenyum: "Jahe yang tua lebih pedas, kalian anak-anak muda harus selalu ingat akan kenyataan ini."

"Kita terpaksa turun tangan, kami berdua adalah orang yang harus dikasihani, apa yang orang lain ingin kami lakukan, kami harus melakukan, bukan saja tidak boleh membangkang, kamipun tidak berani melawan." agaknya sang adik pandai mengoceh dengan mengucurkan air mata segala.

Terunjuk mimik simpati pada muka Wi-pat-ya, katanya menghela napas: "Aku tak salahkan kalian, bagaimana Ouyang Shia-cu menghukum anak didiknya, setiap insan persilatan di Kang-ouw tahu semua."

Sang taci menambahkan dengan mimik yang harus dikasihani: "Tapi kecuali kau orang tua, siapa pula yang sudi menyelami penderitaan kami?"

Suara Wi-pat-ya menjadi lembut dan iba: "Asal kalian terus terang akan tugas kedatanganmu, aku tidak akan mempersulit kalian."

"Dihadapan kau orang tua, kami tak berani berbohong lagi." sahut sang taci.

"Tentunya kau orang tua juga tahu." demikian sang adik menambahkan, "untuk Yap Kay dan Siangkwan Siau-sian lah kami datang kemari."

"Untuk urusan ini, berapa orang yang datang dari kota mutiara kalian?" tanya Wi Thian-bing.

"Hanya kami berdua saja," jawab sang adik.

Sang taci menambahkan: "Ouyang Shia-cu bukan menginginkan barang-barang itu, kami hanya disuruh melihat saja orang apa sebenarnya Yap Kay itu dan seberapa lihaynya."

"Lekas sekali kalian bisa melihatnya secepatnya dia akan datang." kata Wi Thian-bing.

"Tapi kami........."

"Kalian boleh pergi sekarang, kelak, kalau ada kesempatan, boleh sembarang waktu datang menengokku, tidak perlu main sembunyi di Giok-keh-ceng lagi."

Sang taci tertawa: "Kelak kami pasti datang untuk menyambangi kau orang tua."

"Ya, kita pasti datang," sang adik menyambung.

Kakak beradik tertawa manis, putar badan, terus buka pintu kereta. Melompat keluar, laksana sepasang burung walet yang lepas dari kurungan.

Sebun Cap-sha sejak tadi tertunduk lesu, merasa amat di luar dugaan. Dia tidak mengira Wi-pat-ya membiarkan mereka pergi. Namun pada saat itu pula, mendadak di dengarnya dua kali suara aneh, seperti batang bor menghujam daging manusia, disusul dua kali jeritan yang mengerikan.

Tak tertahan lagi dia melongok keluar, maka dilihatnya seorang berpakaian tebal kapas anti dingin berdiri di luar kereta. Dengan saputangan putih laksana salju, sedang membersihkan noda-noda darah. Darah di atas sebatang bor senjata yang dipegang ditangannya ternyata sebatang bor gede yang berkilauan.

Han Tin.

Baru sekarang Sebun Cap-sha tahu, kusir yang antar mereka ke tempat ini ternyata adalah Han Tin. Semula hidung Han Tin mancung tinggi, namun hidung mancungnya itu ringsek oleh pukulan Ting Ling, Tulang hidungnya patah dan sekarang peyot, sehingga raut wajahnya tidak enak dipandang, orang pasti menyangka mimiknya selalu menampilkan senyum sinis.

Wi-pat-ya tidak menunjukkan perasaan apa-apa, tiba-tiba dia bertanya: "Keduanya sudah mampus?"

Han Tin manggut-manggut.

"Agaknya kau laki-laki culas yang tidak tahu bagaimana harus menaruh belas kasihan terhadap cewek-cewek ayu."

"Memangnya aku bukan."

Terunjuk senyum pada sorot mata Wi-pat-ya, katanya: "Jikalau Ting Ling tahu kau membunuh mereka, hidungmu akan lebih berbahaya lagi."

"Dia tidak akan tahu." sahut Han Tin.

"Lho, kenapa?"

"Orang mati masa bisa bicara?"

Wi Thian-bing tertawa lebar mendengar ucapan ini. Dia suka mendengar orang meniru nadanya.

Han Tin berkata pula: "Waktu berangkat dia hanya mengatakan supaya kita menunggunya satu jam saja."

"Tentu dia sudah memperhitungkan waktu dengan persis."

"Segala persoalan sudah selalu diperhitungkan dengan tepat olehnya."

"Memang dia seorang lihay, ciri satunya hanya karena dia terlalu muda."

"Selamanya dia tidak akan pergi."

"Kenapa?"

"Orang mati masa bisa pergi?" kata Han Tin. "sekarang satu jam sudah berselang, dia belum kembali."

Bercahaya sorot mata Wi Thian-bing, katanya: "Oleh karena itu mungkin dia tidak akan kembali untuk selamanya, dan hal ini menandakan bahwa Lam-hay-nio-cu memang kenyataan."

Han Tin manggut-manggut, katanya: "Orang yang bisa menahan atau membunuh Ting Ling memang tidak banyak."

Tiba-tiba rona muka Wi Thian-bing berubah kereng dan dingin, katanya pelan-pelan: "Bak Pek dari Ceng-seng-san, Ouyang Shia-cu dari kota mutiara, ditambah Lam-hay-nio-cu....... dalam dunia ini, sebetulnya tiada sesuatu persoalan yang mengusik keinginan mereka, tapi mereka meluruk datang bersama."

"Kalau Yap Kay tahu, tentu dia amat gembira."

"Gembira?", Wi Thian-bing menegas.

"Untuk memancing orang-orang itu bukan tugas yang sepele, kecuali dia, memangnya siapa dalam dunia ini yang mampu memancing orang-orang itu keluar?"

Wi Thian-bing diam saja, agaknya dia mengakui kebenaran ucapan Han Tin. Sudah tentu Sebun Cap-sha lebih tidak berani sembarang buka mulut, tapi dalam hati dia semakin keheranan. Tiba-tiba terasakan olehnya setiap orang menyebut nama Yap Kay selalu mengunjuk mimik muka yang aneh, perduli itu merasa hormat, benci atau dendam serta ketakutan, semua mimik perasaan yang berlainan ini kelihatannya amat menyolok.

Seorang anak muda yang masih terlalu asing bagi setiap orang yang mendengar dan mengenal namanya, memangnya dia mempunyai tenaga gaib yang begitu besar daya tariknya? Bukankah hal ini terlalu luar biasa untuk diterima? Diam-diam Sebun Cap-sha bersyukur dalam hati, karena dirinya bukan Yap Kay. Tiba-tiba disadari olehnya menjadi seorang awam malah bisa hidup tentram dan bahagia.

Lama sekali Wi Thian-bing menepekur, akhirnya bersuara pelan-pelan: "Setahun yang lalu, aku belum pernah dengar nama Yap Kay disinggung teman-teman Kang-ouw."

"Setahun yang lalu hakekatnya belum ada orang yang pernah dengar namanya." sahut Han Tin.

"Tapi sekarang mendadak dia menjadi tokoh paling kenamaan di kalangan Kang-ouw."

"Bahwa orang ini muncul dan terus menjagoi dunia persilatan, memangnya tunas muda menimbulkan gelombang badai yang menakjubkan sekali."

"Untuk menimbulkan gelombang menakjubkan seperti itu bukannya suatu pekerjaan gampang."

"Sudah tentu tidak gampang."

"Apa benar dia begitu menakutkan seperti yang tersiar di luar?"

"Dia belum pernah membunuh jiwa seorangpun, malah jarang sekali turun tangan. Tiada tokoh Kang-ouw yang jelas sampai dimana tingkat kepandaian silatnya."

"Mungkin disitulah letak yang paling menakutkan daripadanya."

"Tapi yang paling menakutkan tetap adalah pisaunya."

"Pisau apa?"

"Pisau terbang!." sahut Han Tin. Kembali raut mukanya menampilkan mimik yang aneh, katanya lebih tandas: "Khabarnya begitu pisau terbang keluar, selamanya belum pernah luput."

Seketika berubah rona muka Wi Thian-bing, tiba-tiba teringat olehnya sepatah kata pameo "Siau-li si pisau terbang, selamanya tidak disambitkan sia-sia" pameo inilah yang merupakan daya tekanan bagi batin setiap insan persilatan yang tersedot oleh tenaga gaib.

Selama puluhan tahu, tiada seorang tokoh silat manapun di kang-ouw yang meragukan pameo ini. Tiada orang berani coba-coba. Demikian pula empat pendeta besar Siau-lim-si yang paling diagungkan dunia persilatanpun tak berani menantangnya.

Dua puluh tahun yang lalu, Siau-li Tham-ha seorang diri meluruk ke Siau-lim-si yang biasanya tak berani sembarangan dijajah kaum persilatan dari cabang manapun, seperti berjalan di tempat datar yang tidak berpenghuni saja layaknya, ratusan Hwesio dalam Siau-lim-si tiada satupun yang berani merintangi kedatangannya.

Apakah Yap Kay mempunyai wibawa begitu besar? Watak gagah yang tinggi pula? Umpama benar dia membekal semua itu, sepak terjang orang-orang kota mutiara dan Lam-hay-nio-cu, jelas tidak sebanding bila dijajarkan dengan kaum Hwesio di Siong-san Siau-lim-si.

"Kota mutiara berada jauh di ujung dunia, betapa tinggi dan anehnya ilmu silat kakak beradik Ouyang yang menduduki kota mutiara itu, maka Pek Siau-seng yang dulu membuat daftar senjatapun sukar mengukurnya, oleh karena itu mereka tidak termasuk dalam daftar yang dibuatnya."

Han Tin berkata: "Itulah karena seluruh anak murid perguruan di Kwi-cu-to itu semua harus saudara kembar, seumpama Kwi-cu (sumpit) selamanya tak pernah berpisah, maka dalam daftar senjata, mereka tidak dicantumkan."

Wi Thian-bing manggut-manggut, katanya: "Di dalam daftar senjata tidak mencantumkan tokoh-tokoh kosen dari Mo Kau, tapi Pek Siau-seng sendiri mau tidak mau harus mengakui, kalau dinilai dari kepandaian untuk mengalahkan musuh serta membunuhnya, paling sedikit ada tujuh tokoh kosen dari Mo Kau yang patut dicantumkan di daam daftarnya, malah termasuk di antara jago-jago nomor dua puluhan."

"Sayang orang-orang Mo Kau satu sama lain saling curiga dan bunuh membunuh, jago-jago tinggi dari Mo-kiong (istana iblis) kabarnya sudah hampir mampus seluruhnya."

"Tapi Lam-hay-nio-cu dapat berubah ribuan bentuk, kepandaian iblisnya yang tunggal, jelas takkan lebih asor dibanding Jit-toa-thian-ong dari Mo Kau."

Han Tin tertawa, ujarnya: "Sebetulnya Cap-pui-ji-gi-pang senjata andalan kau orang tua berani dibanding dengan Thian-ki-pang yang tercantum nomer nomer satu dalam daftar senjata."

Mendadak Wi Thian-bing tertawa gelak-gelak, katanya: "Jikalau Yap Kay tahu banyak orang dari berbagai golongan sedang menunggu dirinya, mungkin dia tak berani datang."

Sekonyong-konyong seseorang menjawab tegas lantang: "Dia pasti datang, karena dia dipaksa untuk datang."

Suara ini merdu lembut seperti berkumandang dari langit, orang yang bicara kedengarannya berada di sampingnya, namun terasa seperti di ujung langit.

Gelak tawa Wi Thian-bing seketika sirap, rona mukanyapun berubah, lama sekali baru dia tanya dengan pancingan: "Lam-hay-nio-cu?"

"Ah, kenalan lama sejak puluhan tahun yang lalu, memangnya kau sudah melupakan suaraku?" suaranya kedengaran lebih dekat namun bayangannya belum kelihatan.

Jidat Wi Thian-bing dihiasi keringat dingin, katanya dengan tertawa dipaksakan: "Kalau sudah kemari kenapa tidak keluar saja?"

"Apa benar kau ingin melihat aku?"

"Bertahun-tahun sudah aku kangen kepadamu, mohon bisa bertemu dengan kau."

"Baik, marilah kau ikut aku." tiba-tiba suaranya seperti berada di tempat gelap nan jauh. Di tempat gelap sana tiba-tiba menyala sebuah lentera. Sinar lentera seperti kunang-kunang, kelap-kelip dihembus angin malam nan dingin, namun tidak kelihatan bayangan seorangpun.

Sesaat Wi Thian-bing ragu-ragu, tahu-tahu dia tepuk pundak Han Tin, katanya: "Hayolah kaupun ikut aku."

ooo)O(ooo