Di kala Wi-pat-ya marah dan senang bagaikan langit dan bumi perbedaannya dan ini sudah terlalu sering disaksikan oleh banyak orang. Namun selama ini belum pernah mereka melihat Wi-pat-ya sedemikian tegang, begitu keheranan dan kuatir, sampai kulit mukanya yang selalu bercahaya itu berubah membesi hijau.
"Lam-hay-nio-cu. Apakah benar dia belum mati?" kedua jari-jarinya terkepal, suaranyapun mengandung rasa heran dan tegang, malah seolah-olah mengandung rasa ketakutan dan ngeri.
Tiada orang yang berani berisik meski hanya helaan napas panjang. Tiada yang menduga bahwa masih ada seseorang dalam dunia ini yang masih mampu membuat Wi-pat-ya takut dan bersitegang leher begitu rupa.
Melotot biji mata Wi Thian-bing, serunya: "Apakah kalian tahu orang macam apa sebenarnya Lam-hay-nio-cu itu?."
Pertanyaan ditujukan kepada seluruh hadirin, namun matanya dengan tajam menatap Han Tin. Tapi kali ini Han Tin diam saja tak kuasa menjawab. Keruan Wi Thian-bing gusar serta menghampirinya dan merenggut bajunya, bentaknya beringas: "Lam-hay-nio-cu pun tidak kau ketahui? Memangnya apa pula yang kau ketahui?."
Muka Han Tin tiba-tiba berubah tidak menunjukkan perasaan seperti muka orang-orang jubah putih itu, sepasang matanyapun seperti memandang ke tempat jauh.
Lama Wi Thian-bing menatapnya lekat-lekat, rasa gusarnya pelan-pelan mereda, jari-jarinya yang merenggut baju orang mulai mengendor dan lepas. Mendadak dia menghela napas panjang, katanya: "Memang tak bisa salahkan kau, usiamu masih amat muda, di kala Lam-hay-nio-cu hidup digdaya malang melintang di dunia ini, mungkin kau belum dilahirkan." tiba-tiba dia membusungkan dadanya pula, suaranya lebih keras: "Tapi aku justru pernah melihatnya. Dalam kolong langit ini, yang pernah melihat wajah aslinya mungkin kecuali aku Wi Thian-bing, pasti takkan ada orang kedua." kulit mukanya kembali merah bercahaya, bisa melihat wajah asli Lam-hay-nio-cu seolah-olah merupakan kebanggaan terbesar selama hidupnya.
Dalam hati semua hadirin tengah bertanya-tanya: "Siapakah sebenarnya Lam-hay-nio-cu? Bagaimana pula tampang mukanya?". Sudah tentu tiada orang yang berani mengutarakan hal ini, di hadapan Wi-pat-ya semua orang hanya boleh menjawab, dilarang mengajukan pertanyaan, Wi-pat-ya tidak suka berhadapan dengan orang ceriwis.
Tiba-tiba Wi Thian-bing berkata pula lebih keras: "Lam-hay-nio-cu adalah Jian-bin-koan-im (Koan-im seribu muka), itu berarti dia punya seribu tangan, seribu pasang mata dan punya seribu muka." Mendadak dia bertanya kepada Pang Lak: "Perempuan yang kau temui itu bagaimana pula tampangnya?"
"Gadis itu kelihatannya cukup lumayan."
"Cukup lumayan atau teramat cantik?"
"Ya, cantik sekali." Sahut Pang Lak tertunduk.
"Berapa usianya menurut taksiranmu?"
Semakin rendah kepala Pang Lak, dia mendadak menyadari bahwa dirinya ternyata tidak dapat menaksir berapa usia gadis itu sebenarnya. Waktu pertama kali dia melihatnya, terasa meski gadis itu masih muda belia, tapi sedikitpun sudah berusia enam likuran. Tapi belakangan setelah berhadapan langsung dan bicara, terasa pula orang adalah nona cilik seusia empat lima belasan. Tapi waktu dia menegasi dua kali pandang pula, dilihatnya di ujung mata orang seperti sudah berkeriput, jadi usianya sekitar tiga puluhan lebih!. Kini setelah dipikir dan dibayangkan, dengan kepandaian memutus golok dan menelan golok tajam itu, jikalau membekal latihan Lweekang selama empat lima puluhan tahun secara tekun dan giat, masakah dia memiliki kekebalan ilmu yang begitu tinggi?.
Wi Thian-bing berkata: "Kau tidak bisa menaksir berapa usianya?"
Dari menunduk Pang Lak membungkuk badan malah, mulutnya terkancing.
Mendadak Wi Thian-bing tepuk tangan, serunya: "Gadis itu sendiri mustahil adalah Jian-bin-koan-im."
Tak tahan Pang Lak bersuara: "Jikalau sudah ada tiga empat puluhan tahun dia mengasingkan diri, bukankah sekarang dia sudah patut menjadi nenek renta?".
Wi Thian-bing tertawa dingin, katanya: "Waktu dia berusia tujuh belasan, pernah ada orang menganggapnya seorang nenek tua, dua tiga puluh tahun kemudian, ada orang mengatakan dia seorang nona mungil yang lincah malah."
(Bersambung ke Jilid-2)