Ucapan Hoa Peng itu meskipun sangat perlahan, tetapi seluruh ucapannya hanya itu saja, bagi orang lain siapa saja, kalau mengucapkan perkataan yang demikian singkat, kiranya tidak perlu menggunakan waktu demikian lama, akan tetapi setelah kata kata yang diucapkan sangat lambat itu selesai, goloknya sudah keluar dari sarungnya dan kemudian dimasukkan lagi.

Orang hanya melihat berkelebatnya sinar golok, sebuah bangku yang berada diambang pintu didepan sana tahu tahu sudah terbelah menjadi dua potong.
Kecepatan Hoa Peng main golok benar saja sangat mengejutkan dan mengagumkan sekali.
Tetapi Hong Sie Nio yang menyaksikan itu sebaliknya malah jadi tertawa cekakakan, kemudian berkata sambil menggelengkan kepala:
“Yang kuingin saksikan ialah ilmu golokmu untuk membunuh orang, bukan untuk membelah bangku! Dihadapan kawan lama, kau masih mau menyimpan rahasia?”
“Menyimpan rahasia?”
“Ya, ilmu golokmu meskipun menggunakan tangan kiri dan kanan, bahkan bisa menggunakan kedua duanya dalam waktu berbareng tetapi dalam kalangan Kang-ouw siapakah yang tidak tahu bahwa kalau kau bertempur melawan musuh kau selalu menggunakan tangan kiri? Golok yang kau gunakan dengan tangan kiri, sedikitnya lebih cepat dari tangan kananmu berlipat ganda, bukankah begitu?”

Wajah Hoa Peng kembali berubah, ia berdiam lama, kemudian baru berkata dengan suara berat: “Apakah kau musti hendak menyaksikan ilmu golok tangan kiriku?”
“Tentu”
Hoa Peng menghela napas, kemudian berkata:
“Baik, kau lihatlah!”
Dengan mendadak ia membuka kerudung mantelnya yang hitam.

Hong Sie Nio waktu itu sedang tertawa. Tetapi pada saat mantel Hoa Peng terbuka suara tertawanya itu mendadak berhenti. Ia tidak bisa tertawa lagi.
Golok sakti tangan kiri terkenal dikalangan Kang-ouw dan orang yang mempergunakan golok itu sampai mendapat nama julukan golok tercepat dalam daerah Tionggoan seperti Hoa Peng ini, tapi siapa tahu sebelah tangan kirinya sebatas bahu ternyata telah dipotong orang.
Lama kedua orang itu tidak bisa berkata apa apa. Hong Sie Nio lalu menarik napas panjang, baru berkata:
“Ini....ini apakah terkutung oleh tangan orang?:”
“Ya” jawab Hoa Peng singkat.
“Lawanmu itu menggunakan pedang ataukah kampak?:
“Menggunakan golok!”
“Golok? Siapa lagi orang yang dapat menggunakan golok lebih cepat dari padamu?” “Hanya satu orang!” jawab Hoa Peng sambil memejamkan mata.

Sikapnya itu meskupun sedih, tetapi rupanya ia penasaran, jelas terhadap ilmu golok orang yang mengutungi lengannya, ia sudah merasa tunduk. Ia merasa bahwa terkutung lengannnya dibawah ilmu golok orang itu, sedikitpun tidak harus sampai disesalkan terlalu. Hong Sie Nio agak heran, lalau bertanya kepadanya:
“Siapakah orang itu?”
Hoa Peng dengan pandangan mata ditujukan ketempat jauh menjawab sepatah demi sepatah: “Siauw cap it long!”
“Siauw cap it long!” Ketika nama itu tercetus dari mulut Hoa Peng, diwajah Hong Sie Nio segera terjadi semacam perobahan yang sangat aneh. Ia sendiri juga tidak dapat mengatakan itu entah perasaan marah, girang ataukah duka.

Sementara itu Hoa Peng sudah berkata seperti menggumam sendiri:
“Siauw cap it long...Kau seharusnya kenal padanya”
Hong Sie Nio menganggukkan kepala lambat, katanya:
“Benar, aku kenal dia...sudah tentu aku kenal dia!”
Pandangan mata Hoa Peng kini beralih ke wajah Hong Sie Nio, katanya:
“Kau ingin mencari dia atau tidak?”
Hong Sie Nio mendadak mendelikkan matanya, katanya dengan suara keras:
“Siapa kata aku hendak mencari dia? Menagapa aku harus mencari dia?”
Hoa Peng menghela napas, kemudian berkata:
“Cepat atau lambat kau nanti toh akan mencari dia”
“Kentutmu!” kata Hong Sie Nio marah.
“Sebetulnya itu juga tidak perlu membohongi kau, aku sudah lama tahu bahwa kali ini kau datang kembali ialah lantaran hendak melakukan suatu pekerjaan.”

“Siapa kata?” bertanya Hong Sie nIo sambil mendelikkan matanya.
“Meskipun aku tidak tahu, urusan apa yang kau hendak lakukan, tetapi setidak tidaknya aku tahu bahwa urusan itu pastilah urusan besar, kau karena takut dengan tenaga sendiri tidak cukup, maka kau hendak mencari pembantu.”
Dengan hati pilu Hoa Peng tertawa, kemudian berkata lagi: “Oleh karena itu maka barulah kau bisa datang mencari aku, namun sayang sekali kau ternyata sudah salah alamat.” “Taruhlah bahwa dugaanmu itu sama sekali tidak salah, tapi aku toh masih boleh pergi mencari orang lain” Mengapa musti mencari Siau cap it long? Apakah orang orang kuat dan pandai dalam rimba persilatan ini sudah mati semua?” “Akan tetapi kecuali dia, siapa lagi yang masih bisa membantu kau?”
Dengan keadaan masih telanjang bulat Hong Sie nio lompat keluar dari bak mandinya, katanya dengan suara keras: “Siapa kata tidak ada? Aku sekarang justru hendak mencari seorang yang akan segera kuperlihatkan padamu!”
Hoa Peng buru buru memejamkan matanya, katanya lambat lambat: “Kau hendak mencari siapa? Apakah si tabib terbang yang kau maksudkan?” “Benar, aku justru sedang hendak mencari dia!”
Mata Hong Sie Nio kini memancarkan sinar terang, katanya pula: “Si tabib terbang itu, dalam hal mana yang tidak sebanding dengan Siau cap it long? Bukan saja kepandaian ilmu meringankan tubuhnya sangat tinggi, dan ilmu jari tangannya yang hebat, sepuluh Siau cap it long barangkali juga tidak dapat dibandingkan dengannnya”
Menurut cerita orang orang dunia Kang-ouw, sitabib terbang yang bernama Kongsun Leng itu, hanya dengan menggunakan kekuatan tenaga satu jari tangannya, dapat menahan larinya kuda. Ilmunya meringankan tubuhnya boleh dikata menjagoi dalam rimba persilatan, ditambah lagi dengan ilmunya obat obatan dan tabibnya yang luar biasa, maka dalam rimba persilatan banyak orang menjunjung tinggi padanya.
Sitabib terbang Kongsun Leng ini kediamannya juga sangat ganjil. Kediamannya itu ialah merupakan sebuah kuburan yang dibuat dari batu marmer, tempat tidurnya juga merupakan sebuah peti mati.
Ia anggap dengan cara begini paling mudah, nmati atau hidup tidak perlu menukar tempat lagi.
Dalam rumahnya didalam kuburan itu tidak ada barang lain, hanya seorang anak yang menjaga pintu, anak kecil itu juga sangat aneh bentuknya, ketika Hong Sie Nio tiba dikediamannya, ia mengajukan pertanyaan kepada anak penjaga itu: “Kongsun sianseng adakah didalam atau tidak?” Karena tidak mendapat jawaban, ia terpaksa bertanya lagi: “Kongsun sianseng pergi kemana?”
Namun ia masihn tetap tidak mendapat jawaban, maka ia lalu bertanya lagi: “kongsun sianseng hari ini pulang atau tidak?Kapan ia pulang?” Ditanya hingga tiga empat kali, anak itu barulah menjawab dengan singkat: “Tidak ada”
Hong Sie Nio sangat mendongkol sekali, hingga ia ingin sekali menamparnya barang dua kali saja.
Sebetulnya ia juga tahu bahwa sitab terbang kalau keluar pintu hanya mempunyai satu tugas saja: ialah memeriksa orang sakit. Adat tabib terbang itu meskupun sangat aneh, tetapi hatinya baik.
Ia juga tahu sebab tabib terbang diwaktu malam tidak mungkin tidur dilain tempat, ia sudah pasti akan tidur didalam peti matinya. Maka itu sekalipun tidurnya itu tidak akan mendusin lagi, juga tidak perlu repot repot pindah kelain tempat.
Hong Sie Nio sebetulnya boleh duduk menunggu hingga tabib itu pulang tetapi seorang seperti Hong Sie Nio yang suka bergerak ini duduk didaerah perkuburan apalagi duduk diatas peti mati sebetulnya sangat tidak menyenangkan baginya.Maka itu, ia lebih suka duduk menunggu ditepi jalan.
Hari perlahan lahan mulai gelap, aingin meniup sudah mengandung rasa dingin.
Tempat Hong Sie Nio duduk menunggu ialah diatas sebuah bukit kecil, ia mencari ke suatu tempat yang lebih enak untuk merebahkan diri, dengan mata memandang jauh keatas angkasa, menantikan munculnya bintang yang pertama.
Sedikit sekali jumlahnya orang yang dapat melihat bagaimana bintang pertama itu mucul diatas angkasa.
Demikianlah orangnya dan sifatnya Hong Sie Nio, tidak perduli didalam keadaan bagaiamanapun, ia selalu dapat mencari pekerjaan yang menyenangkan baginya, sedikitpun tidak mau menyia nyiakan hidupnya. Dalam dunia ini ada berapa orang yang mengerti dan dapat menikmati penghidupan?
malam telah larut, bintang bintang dilangit pada bermunculan.
Dalam cuaca yang gelap itu akhirnya terdengar suara langkah kaki yang berat, segera nampak oleh Hong Sie Nio, dua orang memikul sebuah tandu kecil berjalan melalui jalanan pegunungan, diatas tandu duduk seorang tua kurus kering berpakaian jubah kain kasar yang berwarna hijau.
Sikap orang tua itu sangat tenang, tampaknya letih sekali, ia memejamkanmata mungkin untuk menghilangkan letihnya.
Dua orang laki laki yang memikul tandu itu tampaknya letih sekali,napasnya memburu seperti napas kerbau sehabis membajak, ketika berjalan dihadapan bukit kecil dimana diatasnya rebah Hong Sie Nio, tukang tandu yang ada didepan berpaling dan berkata kepada kawannya: “Didepan merupakan suatu jalanan gunung yang amat panjang, mari kita berhenti sebentar disini, baru mendaki gunung” Kawannya yang berada dibelakang lalu menyahut: “Dua hari ini semangatku menurun nanti kalau kita mendaki gunung, kita tukar tempat saja”
Memang kalau mengusung tandu, orang yang memikul dibelakang sudah tentu menggunakan tenaga lebih banyak.
Sang kawan yang ada didepan berkata sambil memaki dan tertawa: “Enak saja kau, kembali mau enaknya sendiri, Apakah tadi malam kembali kau main pacar pacaran dengan pacarmu?Kulihat cepat atau lambat satu hari kelak nanti kau mampus diatas perutnya”
Dua tukang tandu itu berkata kata dan tertawa tawa, sedang langkah kaki mereka sudah mulai lambat, sedang orang tua yang diatas tandu itu juga tahu entah benar benar tidur, entah tidak atau pura pura tidur untuk mendengarkan pembicaraan mreka. Namun demikan matanya itu sama sekali belum pernah dibuka.
Tiba didepan tanah pegunungan, tukang tandu itu berhenti, dan perlahan lahan meletakkan tandunya.
Dengan mendadak, dua orang itu dalam waktu besamaan dari tiang tandu masing masing menghunus dua bilah pedang yang panjang dan kecil, dua bilah pedang menikam kedepan ulu hati siorang tua, sedang dua bilah pedang yang lain menikam belakang punggung orang tua itu!