Ketika Hong Sie Nio kembali kekediaman sitabib terbang, peti matinya ternyata sudah berada didalam kuburannya lagi.
Apakah peti mati itu bisa terbang kembali sendiri? Sudah tentu tidak. Hong Sie Nio hampir tidak percaya kepada matanya sendiri, ia lompat maju dan bertanya dengan suara keras:
“Dengan cara bagaimana peti mati ini bisa kembali ?”
Sitabib terbang yang ditanya hanya tertawa saja kemudian baru berkata :
“Sudah tentu ada orang yang mengantarkannya kemari.”
“Siapa ?”
Tertawa sitabib terbang agaknya semakin misteri katanya lambat-lambat:
“Siaw Tjap-it-long !”
Hong Sie Niio kembali menjejak-jejakkan kakinya katanya dengan suara gemas :
“Lagi-lagi dia ! Kalau begitu orang itu tentunya dia juga yang menggantungnya ! Mengapa ia tidak menanyakan asal-usul oran gitu?”
“Ia tahu ada orang yang tidak mau menceritakan asal usul dirinya ditanyapun tidak ada gunanya,” berkata sitabib terbang hambar.
“Kalau begitu mengapa ia masih meninggalkan orang itu dijalanan dalam keaddan tergantung kedua kakinya ? Apakah dia sengaja meninggalkan untuk aku lihat ?” bertamya Hong Sie Nio marah.
Sitabib terbang hanya tertawa tidak menjawab.
Mata Hong Sie Nio menyapu keadaan sekitarnya, kemudian berkata :
“Sekarang di mana dia ?”
“Sudah pergi.”
“Kalau ia tahu aku disini, mengapa ia tidak mau menunggu aku ?” bertanya Hong Sie Nio sambil mendelikkan matanya.
“Aku kata kau tidak suka menemui dia, maka ia terpaksa pergi.”
Hong Sie Nio menggigit bibir, katanya sambil tertawa dingin :
“Benar, aku begitu melihat oran gitu lantas merasa sangat mendongkol ....... kemana ia pergi ?”
“Kalau kau tidak mau menemui dia perlu apa kau tanya dia pergi kemana ?”
Hong Sie Nio tercengang, mendadak mendadak mengangkat kakinya dan menendang meja, hingga terbalik, katanya dengan suara keras :
“Kau sirase tua ini, kuharap ia datang lagi untuk mengutungi kedua tanganmu !”
Sehabis berkata demikian, orangnya juga sudah lari kabur keluar dari kediaman sitabib terbang yang berupa kuburan.
Sitabib terbang menghela napas panjang, mulutnya menggumam sendiri :
“Seorang wanita yang sudah berusia tiga puluh tahun tapi masih seperti kanak2 saja lakunya, ini benar-benar juga merupakan suatu hal yang sangat aneh ........”
Arak yang bernama daun bambu hijau, berada dalam cangkir keramik berwarna biru muda, hingga tampaknya seperti sepotong batu giok yang bening.
Bulan purnama berpancang diangkasa bagaikan piring perak bunda, rembulan sudah bundar, tapi mana orangnya ? Wajah Hong Si Nio sudah menjadi merah, agaknya sudah sedikit mabok, sinar rembulan menembusi lubang jendela, ia lalu angkat muka, memandang rembulan yang bundar dan terang, hatinya terkejut.
“Apakah hari ini sudah tanggal limabelas?” demikian ia bertanya-tanya kepada dirinya sendiri.
Tanggal limabelas bulan tujuh, itu adalah hari ulang-tahunnya, selewatnya malam ini, berarti usianya sudah tambah lagi satu tahun.
Usia tiga puluh empat tahun, bagi seorang wanita merupakan suatu jumlah angka yang sangat menakutkan.
Sewaktu ia masih berusia limabelas enambelas tahun, pernah memikirkan bahwa seorang wanita apabila sudah hidup tigapuluh tahun lebih, kalau hidup lagi juga tidak ada artinya, wanita yang sudah berusia tigapuluh tahun lebih, seperti bunga seruni bulan sebelas yang sudah layu, hanya menunggu rontoknya saja.
Akan tetapi ia sendiri sekarang tanpa disadari sudah berusia tigapuluh empat tahun. Ia mau tidak percaya, namun tentunya tidak bisa lagi tidak percaya. Sang waktu mengapa demikian cepat berlalu?
Di satu sudut dinding kamarnya ada sebuah cermin, ia memandang bayangan orang dalam cermin seperti patung, berdiri tanpa bergerak.
Bayangan orang dalam cermin itu tampaknya masih demikian muda, bahkan kalau tertawa, di ujung matanya juga tidak terdapat keriput, siapa pun tidak percaya bahwa ini adalah seorang perempuan yang sudah berusia tigapuluh empat tahun.
Akan tetapi, sekalipun ia bisa menipu mata orang lain, tetapi yang terang ia tidak bisa menipu dirinya sendiri.
Ia memutar diri, menuang araknya ke dalam cangkirnya penuh-penuh, sinar rembulan telah membuat bayangannya yang di tanah seperti panjang sekali, dalam hati dengan sekonyong-konyong teringat dua bait syair.
Syair itu demikian bunyinya:
“Mengangkat cawan mengajak rembulan minum arak, menghadapi bayangan menjadi tiga orang.”
Dahulu ia selamanya tidak pernah merasakan betapa dalamnya maksud yang terkandung dalam syair itu.
Di luar rumah tiba-tiba terdengar suara tangisan anak.
Dahulu ia paling benci kepada suara tangisan anak, akan tetapi sekarang betapakah besarnya kerinduannya untuk mendapatkan seorang anak! Ia benar-benar sangat mengharap bisa mendengar suara tangisan dari anaknya sendiri.
Sinar rembulan menyinari wajahnya, entah dari mana datangnya air mata di kedua pipinya?
Selama beberapa tahun terakhir ini, ia pernah beberapa kali ingin mencari seorang laki-laki sebagai suami, akan tetapi ia tidak bisa. Laki-laki yang dijumpainya sebagian menjemukan bagi dirinya.
Demikianlah usia remajanya telah berlalu, lewat beberapa tahun lagi, laki-laki yang dahulu menjemukan itu, barangkali juga tidak mau lagi kepadanya. Aih! Beginilah nasibnya perempuan yang sudah berusia tigapuluh empat tahun.
Di luar pintu kembali terdengar suara tertawa dari seorang laki-laki.
Suara tertawa itu demikian kasar dan kerasnya, bahkan siapa pun yang mendengarnya dapat segera tahu bahwa orang itu sedang mabuk.
“Laki-laki ini entah bagaimana macamnya?” demikian ia coba bertanya-tanya kepada dirinya sendiri.
Laki-laki itu pasti sangat kasar, jorok dan penuh bau arak.
Akan tetapi apabila laki-laki itu masuk ke dalam dan meminang dirinya, mungkin ia bisa menerima......
Seorang wanita yang sudah mencapai usia tigapuluh empat, pilihannya terhadap laki-laki tidak bisa sekeras seperti kalau ia memilih pria pujaannya pada usia duapuluh tahun.
Dalam hati Hong Si Nio bertanya-tanya kepada diri sendiri, di ujung bibirnya tersungging senyuman getir.
Malam semakin larut, di luar berbagai macam suara semua sudah tidak kedengaran lagi, kembali menjadi sunyi senyap.
Dalam kesunyiannya itu, dari jauh terdengar suara kentongan yang kedengarannya sangat menjemukan, tapi begitulah keadaan dalam desa pada setiap malamnya.
“Sudah waktunya harus tidur,” demikian Hong Si Nio berkata lagi kepada dirinya sendiri.
Ia lalu bangkit dari tempat duduknya, baru saja hendak menutup daun jendela, angin malam dengan tiba-tiba meniup masuk membawakan suara nyanyian seseorang, suara nyanyian itu kedengaran memilukan hati dan juga telah dikenal baik olehnya.
“Siauw Cap-it-long!”
Ia ingat, setiap kali bertemu dengan Siauw Cap-it-long, di mulutnya selalu menyanyikan lagu ini sangat perlahan dengan irama yang sama, waktu itu sikapnya bisa berubah demikian mengenaskan.
Dalam hati Hong Si Nio merasa terganggu, ia tidak ingin apa-apa lagi, secepat kilat ia sudah mengambil keputusan dan dengan tangan menekan meja, orangnya bagaikan anak panah sudah melesat keluar dari lubang jendela, meluncur ke arah dari mana datangnya suara nyanyian tadi.
Jalan raya yang panjang tampak sunyi senyap.
Didepan setiap pintu rumah hampir semua ada setumpukan abukertas yang habis dibakar, sewaktu angin meniup abu itu berterbangan mengikuti arah kemana angin berhembus dalam keadaan gelap itu juga tidak diketahui ada berapa banyak setan gentayangan yang berebutan abu kertas sembahyang itu.
Tanggal lima belas bulan tujuh menurut kepercayaan bangsa Tionghoa itu adalah saatnya setan-setan pada keluar dan sekarang pintu setan sudah terbuaka lagi, benarkah di dunia ini ada berbagai jenis setan?
Hong Sie Nio mengertek gigi mulutnya menggumam sendiri:
“Siauw Tjap-it-liong kau juga seperti setan keluarlah sekarang!”
Akan tetapi satu bayangan setanpun tidak ada dan suara nyanyian tadi juga sudah lenyap kembali.
Hong Sie Nio berkata sendiri dengan suara gemas:
“Orang ini benar-benar seperti setan. Ia tidak suka melihat aku tapi membiarkan aku mendengar suara nyanyiannya?”
Pikiran Hong Sie Nio mendadak berubah kesepian tenaganya seperti sudah lenyap seketika, adal ia pulang minum beberapa cawan arak, mungkin bisa tidur hingga esok hari.
Dan besok, mungkin segala2nya sudah berubah semua.
Sebabnya seseorang bisa hidup terus, mungkin lantaran selalu ada harapan di hari esok.