Asap dupa di ruang pemujaan masih mengepul tinggi, sehingga pernapasan terasa sesak, asap tebal di dalam rumah tak ubahnya seperti kabut dingin di luar hutan.

Pelan-pelan Han Tin letakkan Wi Thian-bing di atas pembaringan. Di depan meja pemujaan terdapat beberapa kasur bundar, seorang gadis berjubah sutra dengan rambut tergelung tinggi di atas kepala duduk di kasur bundar itu, kelihatan amat cantik. Alisnya turun, mata terpejam, duduk bersimpuh tak bergerak, mirip pendeta samadhi. Di sekian banyak orang beranjak masuk, ternyata dia tidak ambil perduli seperti tidak melihat tidak mendengar.

Tapi tak tertahan Han Tin berpaling mengawasinya. Laki-laki mana yang takkan keranjingan melihat perempuan cantik duduk di depannya, kecuali dia banci. Yang nyata Han Tin adalah laki-laki sejati. Sekilas dia memandang, tak tertahan dia melirik lagi. Mendadak terasa olehnya gadis ini mirip sekali dengan seseorang.

Mirip Ting Ling. Hong-long-kun yang sudah malang melintang di Kang-ouw, kenapa mendadak bisa berubah jadi perempuan? Sudah tentu Han Tin tidak gampang percaya begitu saja, namun semakin dipandang semakin mirip, umpama perempuan ini bukan Ting Ling, pasti dia adalah adik Ting Ling.

Lalu di mana Ting Ling berada? Jikalau dia sudah dibunuh Thi Koh, masakah kakak atau adiknya bisa duduk begitu anteng di sini? Han Tin bukan seseorang yang gampang ketarik pada sesuatu, biasanya diapun tidak suka mencampuri urusan orang lain, tapi sekarang dia benar-benar merasa aneh dan ketarik. Itulah sifat manusia dan Han Tin memangnya seorang manusia.

Thi Koh dan Sim Koh sedang sibuk mengobati luka-luka Wi Thian-bing, seperti tidak memperhatikan dirinya. Tak tertahan Han Tin maju mendekat, panggilnya dengan suara lirih: "Ting Ling."

Gadis jubah sutra tiba-tiba angkat kepala melirik kepadanya, tapi seperti tidak mengenal dirinya, sahutnya geleng-geleng kepala: "Aku bukan Ting Ling."

"Lalu kau siapa?" tanya Han Tin.

"Aku adalah Ting Hun-pin."

Ting Hun-pin. Agaknya Han Tin pernah mendengar nama ini, bukankah Ting Hun-pin adalah kekasih Yap Kay? Bagaimana mungkin paras mukanya mirip dengan Ting Ling? Memangnya apa sangkut pautnya dengan Ting Ling?

Kini gadis jubah sutra sudah menunduk dan pejamkan matanya lagi.

Thi Koh justru sedang perhatikan gerak-geriknya. Begitu Han Tin berpaling, seketika dia bentrok dengan sorot mata Thi Koh, sinar matanya yang lebih tajam dari ujung golok. Sedapat mungkin Han Tin tenangkan diri, katanya tertawa nyengir: "Beliau sudah lolos dari bahaya, bukan?"

Thi Koh manggut-manggut, mendadak dia bertanya: "Menurut pandanganmu dia Ting Ling atau Ting Hung-pin?"

"Sukar aku mengenalnya." sahut Han Tin. Jawabannya memang jujur, dia benar-benar tidak bisa membedakan.

"Seharusnya kau bisa membedakan, siapapun harus bisa membedakan bahwa dia seratus persen adalah perempuan."

"Sekarang dia memang seorang perempuan." ujar Han Tin.

"Memangnya dulu bukan?"

"Aku hanya heran." ujar Han Tin tertawa. "kenapa Ting Ling mendadak hilang."

"Kau amat memperhatikan dia."

Han Tin meraba hidungnya yang penyok, katanya: "Dia memukul ringsek hidungku."

"Kau ingin menuntut balas?"

"Tiada orang yang bisa lolos setelah dia membuat ringsek hidungku."

"Mungkinkah dia mati?"

"Kukira dia bukan laki-laki yang bisa cepat mati."

"Tapi kenyataan dia sudah mampus."

"Maksudmu Ting Ling sudah mati?"

"Tidak salah."

"Tapi Ting Hun-pin masih hidup."

Lama Thi Koh menatapnya, akhirnya berkata: "Kau sudah melihat jelas?"

Han Tin tertawa pula, sahutnya: "Aku tak bisa membedakan, aku hanya mereka-reka saja."

"Apa pula yang berhasil kau reka?"

"Walau Yap Kay seorang cerdik pandai, tapi terhadap kekasihnya yang asli, tentunya dia takkan berjaga-jaga atau curiga."

"Bagus sekali akalmu."

"Jikalau ada seseorang mampu membokong Yap Kay, lalu merebut Siangkwan Siau-sian dari tangannya, maka orang itu pasti adalah Ting Hun-pin."

"Bagus sekali uraianmu."

"Sayang sekali Ting Hun-pin pasti tak sudi membokong Yap Kay, oleh karena itu......."

"Karena itu bagaimana?"

"Jikalau ada seseorang yang bermuka dan berperawakan mirip Ting Hun-pin, maka dia bisa menyamar jadi Ting Hun-pin, bukankah orang ini bakal menjadi alat yang paling berguna dan manjur untuk menghadapi Yap Kay?"

"Bagaimana jikalau orang itu seorang laki-laki?"

"Peduli dia laki-laki atau perempuan, tiada bedanya." sahut han Tin dengan tertawa. "kabarnya ilmu tata rias dari Lam-hay-nio-cu tiada bandingannya di seluruh jagat dan lagi punya cara untuk mengekang denyut nadi kulit daging tenggorokan orang sehingga suara orang itu berubah."

Dingin suara Thi Koh: "Tidak sedikit yang kau tahu."

"Jikalau orang ini tidak mau menurut, juga tidak menjadi soal, karena Lam-hay-nio-cu masih punya semacam cara untuk mengekang dan menguasai daya pikiran seseorang yang dinamakan Kao-hun-sip-tay-hoat."

Lama Thi Koh menatapnya lekat-lekat, katanya pelan-pelan: "Khabarnya orang-orang Kang-ouw memanggilmu Cui-cu (bor atau gurdi)."

"Ah, tidak berani aku menerimanya."

"Kabarnya peduli betapa keras batok kepala seseorang, kau tetap bisa mengebornya sampai bolong."

"Itu hanya kabar angin belaka."

"Tapi kabar angin itu agaknya bukan bualan belaka."

"Umpama benar aku punya nama, betapapun aku tetap adalah didikan Wi-pat-ya sendiri."

"Kau tak usah memperingati aku, aku tahu kau adalah orang kepercayaannya."

Han Tin menghela napas lega, katanya: "Cukuplah bila Hujin mengerti akan hal ini, legalah hatiku."

"Bahwa aku membiarkan kau ikut dia kemari, sudah tentu aku tidak perlu pakai tedeng aling-aling lagi kepadamu."

"Banyak terima kasih, Hujin sudi percaya kepadaku."

"Apakah kau sudah paham seluruhnya tentang persoalan ini?"

"Ada sedikit yang belum kupahami."

"Coba katakan."

"Apakah Hujin sudah memperhitungkan bahwa Ting Ling akan meluruk kemari?"

"Benar, maka aku sudah siap menunggu kedatangannya."

"Tapi cara bagaimana Hujin bisa mengetahui bahwa dia pasti datang?"

"Ada orang yang memberitahu kepadaku."

"Siapakah orang itu?"

"Seorang teman."

"Teman Ting Ling atau menurut dugaan Hujin saja?"

"Jikalau bukan teman Ting Ling, cara bagaimana dia bisa tahu setiap gerak-geriknya?"

Han Tin menghela napas, katanya: "Ada kalanya seorang teman justru jauh lebih menakutkan daripada musuh besar." tiba-tiba dia bertanya pula: "Apa dulu Hujin pernah bertemu dengan Ting Hun-pin?"

"Tidak pernah."

"Lalu darimana Hujin tahu bahwa paras Ting Ling mirip Ting Hun-pin?"

"Khabarnya mereka adalah saudara kembar."

"O, kembar dampit."

"Menurut adat istiadat keluarga mereka, jikalau yang dilahirkan adalah kembar dampit (laki-laki dan perempuan), maka satu diantaranya harus diberikan kepada orang lain."

"Menurut adat kebiasaan suku bangsakupun demikian."

"Oleh karena itu banyak orang-orang Kang-ouw tak tahu bahwa Ting Ling sebenarnya adalah keturunan keluarga Ting pula."

"Lalu dari mana Hujin tahu?"

"Seseorang teman memberitahu kepadaku."

"Teman yang tadi kau maksudkan itu?"

"Benar!"

Han Tin manggut-manggut, ujarnya: "Bahwa dia adalah teman Ting Ling, sudah tentu dia jauh lebih tahu mengenai seluk beluk Ting Ling yang tidak diketahui orang lain?"

"Apakah kau ingin tahu siapakah dia itu?"

"Ya, aku ingin tahu kalau boleh."

"Kenapa?"

Han Tin tertawa tawar, katanya "Karena aku tidak ingin bersahabat dengannya."

"Agaknya kau memang seorang cerdik dan teliti."

"Malah aku ini adalah sebuah gurdi."

"Benar, malah gurdi yang punya mata."

"Walau hidungku sudah dipukul ringsek, untung masih tajam untuk mengendus sesuatu."

"Oleh karena itu jikalau kau mau pergi ke suatu tempat dan melihat sesuatu, maka kau akan banyak memberi bantuan kepadaku."

"Silahkan kau katakan."

"Kau mau pergi?"

"Umpama Hujin suruh aku menempuh gunung berapi, aku tetap akan melaksanakannya."

Thi Koh menghela napas, katanya: "Tak heran Wi-pat-ya amat percaya kepadamu, agaknya kau memang laki-laki yang setia dan dapat dipercaya."

"Bisa mendapat pujian Hujin, badan Han Tin hancur leburpun takkan menyesal."

Thi Koh tertawa berseri, katanya: "Bukan aku ingin kau pergi mengantar jiwa, aku hanya ingin kau pergi ke Biau-hiang-wan."

"Melihat keadaan Yap Kay?"

"Sekaligus boleh kau tengok keadaan gadis gede berjiwa anak-anak itu."

ooo)O(ooo

Sesuai dengan namanya, Biau-hiang-wan diliputi harumnya kembang yang semerbak, sinar api masih menyala dan menyorot keluar dari jendela, pada kertas jendela tampak dua bayangan orang, seorang lelaki dan seorang perempuan.

Bayangan Tin-cu-heng-te (saudara kembar mutiara) tidak kelihatan, tapi di atas tanah tampak menggeletak sepasang pedang yang kutung, mutiara yang menghias di gagang pedang tampak kemilau di tingkah sinar api yang menyorot dari jendela. Agaknya nasib bersaudara kembar dari kota mutiara teramat jelek.

Sekonyong-konyong daun jendela terbuka. Seorang gadis jelita dengan menggendong boneka kecil terbuat dari tanah liat berdiri di ambang jendela. Kulit mukanya nan halus putih bersemu merah, matanya bundar besar bersinar bening, bibirnya kecil merah seperti delima merekah, kelihatannya begitu lincah dan aleman. Gadis sebesar ini tapi sikap dan tindak-tanduknya tak ubahnya seperti boneka tanah liat yang digendong dalam pelukannya.

Cuma perawakan dan potongan badannya saja yang tidak mirip boneka, setiap jengkal kulit dagingnya seolah-olah memancarkan daya tarik yang hangat dan menggiurkan. Muka kanak-kanak dengan potongan gadis montok dan mempesona, walaupun satu sama lain tidak seimbang, namun secara wajar menjadikan suatu daya tarik yang luar biasa merangsang, daya tarik yang selalu menimbulkan gairah daya kelakian siapa saja yang melihatnya. Memang bukan suatu tugas gampang untuk melindungi perempuan seperti ini.

Di belakangnya ada seorang laki-laki, kelihatan masih muda, tampan dan gagah. Agaknya Yap Kay adalah pemuda yang elok dipandang, sayang dia berdiri rada jauh. Walau dari luar Han Tin dapat melihat bayangannnya, namun dia tidak jelas melihat wajah orang.

Dengan menggendong boneka kecilnya, seperti ibu inang yang sedang menina-bobokkan orok kecil, Siangkwan Siau-sian bernyanyi-nyanyi kecil sambil menggoyang badan, suaranya nyaring merdu dan manis.

Terdengar Yap Kay berkata: "Di luar amat dingin, kenapa tidak lekas kau tutup jendela?"

Siangkwan Siau-sian memonyongkan mulut, sahutnya: "Popo amat gerah, Popo ingin menghirup hawa segar."

Yap Kay menghela napas, katanya: "Sudah saatnya Popo tidur."

"Tapi dia tidak bisa tidur," sahut Siangkwan Siau-sian, "semangat Popo masih begini baik."

Yap Kay tertawa getir, katanya: "Malam sudah selarut ini, masih tidak mau tidur, Popo memang anak nakal."

Siangkwan Siau-sian segera berteriak melengking: "Popo bukan anak nakal, Popo amat pintar dan anak baik." lalu diulurkan sebelah tangannya yang putih halus, menggoyang-goyang boneka di pelukannya. Dia mengelus-elus sambil mengawasinya, katanya halus: "Popo jangan menangis, memang dia orang jahat, Popo jangan nangis, Popo minum tetek ibu."

Dia buka baju di depan dadanya, seperti seorang ibu yang meneteki bayinya, dia meneteki boneka itu. Dadanya montok dan padat, matang seperti gadis dewasa umumnya.

Dari kejauhan Han Tin pasang mata, terasa jantungnya berdetak dan melonjak-lonjak hampir keluar dari rongga dadanya. Tak nyana Yap Kay memburu maju, 'Blang...' kontan dia tutup daun jendela.

Terdengar suara Siangkwan Siau-sian cekikikan nakal, katanya: "Buat apa kau menarik aku? Apa kau juga minta tetek.......?"

ooo)O(ooo

Dupa dalam tungku sudah habis, asappun sudah sirna. Wi-pat-ya rebah memejamkan mata, rona mukanya merah, seperti sudah tertidur.

Setelah habis mendengar laporan Han Tin, Thi Koh lantas bertanya: "Begitu daun jendela tertutup, kau lantas kembali?"

Han Tin tertawa kecut, katanya: "Memangnya aku harus minta air tetek?"

Terunjuk tawa geli pada sorot mata Thi Koh, katanya: "Agaknya kau cemburu dan ingin menggantikan kedudukan Yap Kay."

"Akupun simpati terhadapnya."

"Kau bersimpati terhadapnya?"

"Sehari-hari menemani perempuan gede berjiwa kerdil seperti itu sungguh merupakan siksaan."

Sim Koh tiba-tiba menyelutuk: "Apa benar dia cantik?"

Diam-diam Han Tin mengerling sebentar, sahutnya: "Boleh terhitung cantik."

Tiada perempuan yang suka mendengar laki-laki memuji perempuan lain dihadapannya.

Sim Koh segera menjengek dingin "Khabarnya orang linglung biasanya memang cantik."

"Ya." Han Tin mengiakan saja.

Tiba-tiba Sim Koh tertawa geli, katanya: "Untung setiap gadis cantik belum tentu linglung."

Memang, dia sendiripun seorang gadis jelita, gadis rupawan.

Tiba-tiba Thi Koh bertanya: "Apakah hanya mereka berdua yang berada di Biau-hiang-wan?"

"Dari depan sampai ke belakang dan sekitarnya sudah kuperiksa, memang tiada orang lain."

"Agaknya tiada? Atau memang tiada?"

"Memang tiada!." Sahut Han Tin setelah bimbang sebentar.

"Mungkin ada lain orang yang sudah tidur?"

"Kamar lain tiada yang menyalakan api, hawa sedingin ini, siapa yang tahan tidur di dalam kamar tanpa membuat api?"

Akhirnya Thi Koh tertawa, katanya: "Agaknya bukan saja kau pintar, kerjamu amat teliti."

Mendadak Sim Koh menyeletuk: "Sayang hidungnya menjadi pesek."

Thi Koh kontan mendelik, katanya: "Kau toh tidak ingin kawin sama dia, perduli hidungnya pesek atau tidak."

"Memangnya laki-laki hidung pesek pasti tidak lekas kawin?" spontan Sim Koh membantah.

Thi Koh tertawa geli, katanya: "Setan cilik, ngaco-belo, tidak malu kau didengar orang."

Tiba-tiba Han Tin rasakan detak jantungnya bertambah cepat. Bukan tidak pernah dia memikirkan kemungkinan ini, cuma dia memang tidak berani memikirkan. Kini kedua ibu beranak seakan-akan memberi hati kepadanya. Memangnya mereka ada persoalan pelik yang ingin dia lakukan?.

Betul juga, Thi Koh lantas bertanya: "Ilmu silatmu apa kau belajar dari Wi-pat-ya?"

"Bukan!", sahut Han Tin.

Memang dia bukan murid Wi Thian-bing, juga bukan salah satu dari Cap-sha-thay-po.

"Senjata yang kau gunakan adalah gurdi itu?"

Han Tin mengiakan.

"Belum pernah kudengar tokoh-tokoh kosen mana dalam Kang-ouw yang menggunakan gurdi sebagai senjata."

"Memang, aku menggunakan sambil lalu saja."

"Apakah gurdi itu juga mempunyai jurus-jurus yang khas?"

"Tidak ada, tapi jurus ilmu senjata apapun, semuanya bisa digunakan memakai gurdi."

"Dari jawabanmu ini aku jadi berkesimpulan, ilmu silat yang pernah kau pelajari tentu amat rumit dan luas sekali."

"Memang rumit dan luas, tapi semua tidak matang."

Tiba-tiba Sim Koh cekikikan geli, katanya: "Tak nyana orang ini pandai juga berpura-pura."

Jantung Han Tin serasa hendak melonjak keluar.

"Hanya beberapa tahun saja kau bekerja untuk Wi-pat-ya," kata Thi Koh, "cepat sekali kau sudah menjadi orang kepercayaannya, tentunya ilmu silatmu boleh dibanggakan."

Han Tin mengakui: "Ya, hanya lumayan saja."

"Oleh karena itu aku masih ingin minta sedikit bantuanmu."

"Silahkan katakan!"

"Tugas ini makin cepat kau laksanakan semakin baik, malam ini adalah kesempatan terbaik untuk kau turun tangan."

"Baik, malam ini nanti akan kukerjakan."

"Maka sekarang aku ingin Ting Hun-pin turun tangan."

Han Tin menepekur, katanya: "Entah Yap Kay bisa mengenalinya tidak?"

"Pasti tidak, umpama ada sedikit cirinya di bawah sinar lampu yang remang-remang, pasti tidak kentara."

"Tapi mereka sepasang kekasih, jikalau dipandang seksama beberapa kali, bukan mustahil.........."

"Masakah kita bakal memberi kesempatan sehingga dia melihat jelas, asal Ting Hun-pin mendekati dia, urusan pasti berhasil dengan baik........"

Sim Koh menimbrung dengan tertawa: "Bukankah dia amat cepat turun tangan, kalau tidak masakah sekali pukul bikin hidungmu ringsek?"

Han Tin menyengir getir, namun hatinya merasa syuur.

"Akan tetapi kita harus berhati-hati untuk menjaga segala kemungkinan, maka aku ingin kau mengiringi dia."

Sekilas Han Tin melengak, katanya: "Cara bagaimana aku bisa temani dia?"

"Kenapa tidak bisa?"

"Aku.......aku terhitung orang apa?"

"Anggap saja sebagai pengurus di sini. Bawa dia ke Yap Kay, karena Ting Hun-pin belum pernah kemari, sudah tentu harus ada orang yang menunjuk jalan."

Han Tin manggut-manggut sambil menghela napas: "Hujin memang bisa mengatur dengan baik."

Thi Koh tertawa, katanya: "Kalau tidak bisa mengatur dengan baik, bagaimana berani menghadapi Yap Kay?"

"Sekarang hanya ada satu kekuatiranku."

"Apa yang kau kuatirkan?"

"Kuatir akan pisau terbang Yap Kay."

"Kau takut?"

"Yang kukuatirkan Ting Hun-pin yang satu ini tidak bisa membunuhnya sekali turun tangan, mungkin punya kesempatan balas menyerang."

Jawaban Thi Koh dingin dan meyakinkan: "Jangan lupa akupun mempunyai pisau, tiada orang bisa hidup oleh pisauku." Mendadak tangannya bergerak, "Tring..." sebilah pisau tahu-tahu jatuh di hadapan Ting Ling. Sebilah pisau kemilau warna hijau. Mata Ting Ling seketika berubah lebar, dengan mendelong kaku mengawasi pisau ini.

"Ambil pisau itu dan sembunyikan di dalam lengan bajumu." Thi Koh memerintah.

Ting Ling segera menjemput pisau itu dan disembunyikan di dalam lengan baju.

"Sekarang angkat kepalamu, pandanglah orang ini." Thi Koh menuding Han Tin.

Ting Ling lantas angkat kepala, matanya mendelong mengawasi Han Tin.

"Kau kenal orang ini?"

Ting Ling manggut-manggut.

"Kau harus ikut dia. Dia akan membawamu mencari Yap Kay yang adalah laki-laki yang tidak kenal budi dan tidak setia kawan, kau dibuang secara semena-mena, mencari gadis lain di depan hidungmu, maka begitu kau berhadapan dengan dia, tusuk saja sampai mampus dengan pisaumu, lalu bawa gadis itu kemari."

"Aku pasti akan membunuhnya, serta membawa gadis itu kemari." Ting Ling mengulang perintah.

"Sekarang juga kau berangkat."

Ting Ling manggut-manggut mengulang perintah Thi Koh. Terunjuk mimik aneh pada raut mukanya, seolah-olah hambar, tapi juga seperti amat menderita.

"Kenapa tidak lekas kau pergi?" sentak Thi Koh.

"Sekarang juga aku pergi." Mulut Ting Ling menjawab, namun dia tetap bersimpuh di tempatnya tanpa bergeming.

Sim Koh menghela napas, katanya: "Agaknya dia memang teramat cinta terhadap Yap Kay, urusan sudah berlarut demikian jauh, namun dia masih tidak tega membunuhnya."

Thi Koh menyeringai dingin, katanya: "Dia pasti pergi!"

Tiba-tiba dia tepuk-tepuk tangan, sebuah pintu di samping tiba-tiba terbuka sendiri, seorang melangkah masuk pelan-pelan.

Itulah laki-laki berusia tiga puluh tahun, mengenakan jubah kulit rase yang mahal, bagian luarnya ditambahi baju lengan pendek. Jelas sekali gayanya seperti orang dagang. Orang ini ternyata Hwi Hou si Rase Terbang Nyo Thian.

Mendadak muka Ting Ling berkerut ketakutan badanpun gemetar keras.

Nyo Thian mengawasinya dingin, tidak tampak mimik apa-apa pada mukanya. Sebilah pisau menancap di dadanya, bajunyapun berlepotan darah.

"Kau kenal orang ini?" tanya Thi Koh.

Ting Ling manggut-manggut, mukanya pucat dan semakin ketakutan. Sudah tentu dia kenal orang ini, karena ingatannya belum lenyap.

"Sekarang dia sudah mampus, apakah kau ingat, kaulah yang membunuhnya."

"Ya....ya, akulah yang membunuhnya."

"Sebetulnya dia teman karibmu, namun kau membunuhnya, menjadi setan dia akan membalas dendam kepadamu."

"Kau..... kau yang menyuruhku membunuh dia!" bantah Ting Ling.

"Sekarang kusuruh kau pergi membunuh Yap Kay........ kau mau pergi tidak?"

"Aku.....baiklah aku pergi."

"Sekarang juga kau pergi."

"Benar, sekarang juga aku berangkat," sahut Ting Ling.

Benar juga pelan-pelan dia berdiri, lalu beranjak keluar, tapi badannya kelihatan masih gemetar.

"Tunggu di luar, tunggu Han Tin yang akan membawamu."

"Aku akan menunggu di luar. Han Tin akan membawaku, pergi membunuh Yap Kay." Sahut Ting Ling.

Setelah Ting Ling di luar pintu, baru Thi Koh berpaling dan tertawa kepada Han Tin, katanya: "Sekarang kau harus tahu, siapakah teman baiknya itu."

Han Tin hanya menyengir kecut sambil mengawasi Nyo Thian.

"Kau tidak mengenalnya?" tanya Thi Koh.

Nyo Thian berkata dingin: "Dia tidak mengenalku, dia tidak ingin bersahabat dengan aku." Tiba-tiba tangannya terbalik mencabut pisau di dadanya terus dibuang ke lantai. Baru sekarang Han Tin melihat jelas pisau itu hanya gagangnya saja.

Terdengar "Cret..." sebatang pisau tajam menjepret keluar dari gagangnya, hanya sedikit tekan saja, tajam pisau itu kembali melesak masuk ke dalam gagangnya pula, kiranya pisau ini hanya alat permainan belaka yang tidak mungkin bisa membunuh orang.

Han Tin menghela napas, katanya: "Kalau ada pisau semacam ini dalam dunia ini, tidak heran ada teman baik seperti dirimu."

"Tapi lebih baik kau selalu ingat," Thi Koh memperingatkan, "pisau semacam ini dan teman seperti itu, bukan tiada gunanya sama sekali."

ooo)O(ooo

Setelah menyusuri ratusan pucuk pohon kembang Bwe, akhirnya sampai di Biau-hiang-wan.

Selama ini Ting Ling mengintil di belakangnya tanpa bersuara, selangkah Han Tin bertindak, selangkah pula kakinya bergerak. Jikalau Han Tin tiba-tiba berhenti, Ting Ling pun seketika berhenti.

Tiba-tiba Han Tin membalik badan sambil menatap orang: "Temanmu Sebun Cap-sha sudah mati."

"Sebun Cap-sha sudah mati" Ting Ling mengulang perkataannya.

"Kau tidak ingin tahu oleh siapa dia menemui ajalnya?"

"Aku tidak ingin tahu siapa yang membunuhnya." sahut Ting Ling.

"Tapi jika kau adalah temannya, pantas kau menuntut balas sakit hatinya."

"Kalau aku memang teman baiknya, aku harus menuntut balas sakit hatinya."

Begitulah dia selalu mengulang perkataan orang yang mengajaknya bicara, cuma kau mungkin takkan tahu apakah dia benar-benar sudah memahami maksudmu.

"Orang sepintar kau akhirnya dikendalikan orang juga, sungguh aku tidak mau percaya." dengan ujung matanya dia melirik kepada Ting Ling.

Tidak terunjuk mimik apapun di muka Ting Ling.

Han Tin menghela napas, katanya: "Di depan ada sinar lampu, nah, di sanalah Biau-hiang-wan."

Ting Ling mengiakan.

"Yap Kay berada di sana. Apa benar kau tega turun tangan? Sebetulnya tak perlu kau membunuhnya."

"Ya, memang tidak perlu." sahut Ting Ling.

"Kau boleh menutuk Hiat-to nya saja, sehingga dia tidak bisa berkutik lagi."

"Aku bisa membuatnya tidak berkutik."

"Segera aku akan membawa gadis itu pergi ke tempat jauh, supaya dia tidak melihat Yap Kay lagi."

"Biar dia tidak melihat Yap Kay lagi."

"Maka selanjutnya kau bisa hidup berdampingan dengan Yap Kay."

Di lihatnya sorot mata Ting Ling tiba-tiba memancarkan sinar terang.

"Coba katakan, apakah cara ini baik?"

Ting Ling seperti berpikir-pikir, katanya dengan sikap ketakutan: "Tapi aku membunuh Nyo Thian, menjadi setan diapun akan selalu mengganggu kami."

"Sebetulnya kau tidak membunuhnya dan dia belum mati."

"Jelas aku telah membunuhnya." bantah Ting Ling.

Han Tin keluarkan pisau mainan itu, katanya: "Dengan pisau ini kau membunuhnya."

Ting Ling manggut-manggut.

"Pisau ini hanya mainan yang tidak bisa membunuh orang, coba kau lihat.........." dengan tersenyum dia angkat pisau itu terus menusuk ke dada sendiri. Senyum yang menghiasi mukanya seketika kaku.

Tadi hanya sedikit tekan, tajam pisau menyurut masuk ke dalam. Tapi sekarang batang pisau yang tajam ternyata tidak mau menyurut masuk pula. Sedikit dia gunakan tenaga, ujung pisau sudah menusuk melukai kulit dagingnya. Walau tidak dalam namun darah sudah bercucuran.

"Kelihatan darah menyumbat tenggorokan, pasti mati tak bisa di tolong.". Ingat akan pepatah ini, seketika sekujur tubuh Han Tin dingin.

Tiba-tiba di dengarnya seseorang berkata dingin: "Lebih baik kau berdiri tidak bergerak, bila racun menjalar pasti melayang jiwamu."

Han Tin tidak berani bergerak, dia sudah mendengar suara Sim Koh. Betul juga dilihatnya Sim Koh melangkah dari hutan, di belakangnya ada seseorang ternyata Nyo Thian.

Dengan dingin Sim Koh mengawasinya, katanya: "Pisau itu adalah pisau iblis, walau tak bisa membunuh orang lain, tapi pasti bikin kau mampus."

Nyo Thian menyeringai dingin, jengeknya: "Kalau di dunia ada manusia seperti tampangmu, maka ada pula pisau seperti itu."

Sim Koh berseri tawa, katanya: "Sedikitpun tidak salah, pisau macam ini memang khusus untuk menghadapi orang seperti kau."

Tersendat perkataan Han Tin di tenggorokan: "Aku......aku hanya........"

Sim Koh menarik muka, dengusnya: "Kau hanya ingin menjual dan mengkhianati kita, maka kau harus mampus!"

"Harap nona suka pandang muka Wi-pat-ya, ampunilah jiwaku sekali ini."

"Kau masih ingin hidup?"

Han Tin manggut-manggut, keringat dingin gemerobyos.

"Baik," ujar Sim Koh, "kau harus berdiri dengan baik di sini, jangan bergerak, kepalapun jangan bergeming, bila aku merasa senang, mungkin aku datang menolongmu."

"Entah kapan nona baru senang hati?"

"Wah, susah dikatakan, biasanya aku periang, tapi begitu melihat orang seperti kau, bukan mustahil aku bisa marah-marah lagi."

Han Tin kertak gigi, sungguh gemasnya bukan main, ingin rasanya dia pukul ringsek hidung si gadis kurang ajar ini. Sayangnya umpama dia mampu berbuat demikian, dia toh tidak berani bergerak, ujung jaripun tidak berani bergerak.

Sim Koh tiba-tiba mengelus mukanya, katanya lembut: "Sebetulnya aku ingin kawin denganmu, sayang hanya sedikit ujian begini saja kau tidak mampu mengatasi, sungguh bikin aku kecewa." setelah menghela napas, kedua pipi Han Tin dia jewer pulang pergi, lalu menamparnya puluhan kali.

Hampir tak tertahan Han Tin hendak muntah-muntah darah, namun sedapat mungkin dia pertahankan.

Agaknya Sim Koh amat puas, katanya sambil berpaling kepada Nyo Thian: "Sekarang boleh kau pergi bawa nona Ting itu."

Nyo Thian mengiakan.

Sim Koh tersenyum, katanya menambahkan: "Aku tahu kau pasti tidak kenal budi pekerti seperti dia ini, ya tidak?"

"Sedikitnya aku tidak segoblok dia." sahut Nyo Thian.

Tiba-tiba Han Tin merasa dirinya memang benar-benar bodoh, sungguh ingin rasanya dia bentur kepalanya biar pecah dan mampus saja.

Ting Ling masih mengawasinya, mukanya tidak tampak berubah.

Nyo Thian menepuk pundaknya, katanya: "Ikut aku!"

Ting Ling lantas mengintil di belakangnya. Nyo Thian maju selangkah, Ting Ling ikut maju selangkah, lekas sekali kedua orang ini sudah keluar dari hutan kembang Bwe.

ooo)O(ooo

Sinar api masih menyorot keluar dari jendela, Nyo Thian sedang mengetuk pintu.

"Siapa?" pertanyaan dari dalam.

"Cayhe Nyo Thian, pengurus tempat ini."

"Apakah pengurus Nyo tidak tahu waktu apa sekarang?" orang di dalam menegur tanpa sungkan-sungkan.

"Sudah tentu Cayhe tahu sekarang waktu apa, soalnya ada seorang tamu, begitu besar keinginannya dan tergesa-gesa ingin bertemu dengan Yap Kongcu."

"Siapa ingin mencari aku?"

"Seorang nona she Ting, Ting Hun-pin."

Baru habis keterangannya, pintu lantas terbuka.

"Yang membuka pintu pasti Yap Kay," demikian sebelumnya Nyo Thian sudah membisiki Ting Ling. Cahaya lampu dari dalam kebetulan menyorot mukanya.

Seorang pemuda berparas tampan dengan dandanan sederhana membuka pintu, seketika dia berdiri menjublek di ambang pintu, mimiknya heran, kaget dan senang: "Benarkah kau?"

(Bersambung ke Jilid-5)