Akhirnya Sebun Cap-sha bisa duduk, namun hatinya amat sedih dan mendelu. Waktu dia menjengking kesakitan memeluk perut tadi ternyata gurunya tidak berusaha menolongnya. Jagat seluas ini seperti hanya dia seorang diri saja yang masih ketinggalan hidup. Wi-pat-ya tinggal pergi bersama Han Tin yang pandai menjilat itu, seolah-olah melupakan dirinya yang masih kesakitan. Tiada seorangpun di dunia ini yang sudi memandang dirinya, bila seseorang sampai merendahkan dirinya, bagaimana dia bisa mengharap orang lain memandang tinggi dirinya.

Dengan seluruh kekuatannya dia mengepal tinju, hatinya diliputi dendam dan penasaran, dia sadar harus melakukan sesuatu yang menggemparkan dan mengejutkan orang banyak supaya Sebun Cap-sha tidak dipandang sebagai manusia yang tidak berguna, biar orang banyak berlutut mencium kakinya. Namun dengan cara apa dia harus melakukan kerja yang mengejutkan dan menggemparkan?. Bahwasanya dia sendiri tidak bisa menyimpulkan apa-apa. Hal ini kembali membuat hatinya merana dan kesepian, lebih baik mencari suatu tempat minum sepuas-puasnya sampai mabuk, setelah mabuk akan terasa olehnya bahwa dirinya adalah Enghiong besar yang tiada tandingan di seluruh jagat raya ini. Sayang sekali jadi Enghiong hanyalah angan-angan kosong belaka, yang terang sekarang dia harus pasang pelana jadi kusir kendalikan kereta.

Dengan menghela napas pelan-pelan dia berdiri tanpa semangat. Sekonyong-konyong di luar kereta seseorang berkata: "Seorang diri kau duduk di sini, apa tidak merasa kesepian?". Suara merdu nyaring misterius tadi, cuma nada bicaranya lebih lembut dan hangat.

Tiba-tiba berdiri bulu roma Sebun Cap-sha, mengkirik dia dibuatnya, teriaknya: "Siapakah kau? Dimana kau?"

"Aku kan di sini, masa kau tidak melihatku?"

Lapat-lapat seperti tampak bayangan seseorang di luar kereta, mengenakan jubah halus ringan semampai, rambutnya yang hitam panjang menjuntai mayang. Sekujur badan Sebun Cap-sha basah kuyup oleh keringat dingin, seperti mendadak dia kecemplung ke dalam perigi es tak terlihat dasarnya. Kini dia sudah melihat jelas orang itu, mukanya pucat seperti kapur, jubahnya melambai, darah berlepotan di depan dada, perut sampai ke bawah darah masih mancur dari tenggorokannya yang bolong, dia bukan lain adalah sang taci yang mampus tertusuk bor Han Tin. Biji mata yang jeli dan bening tadi melotot keluar, darah segar meleleh di ujung mulutnya, di dalam kegelapan tampak seram menakutkan.

Lemas kedua kaki Sebun Cap-sha. Sungguh tak tega dia melihat keadaan orang, namun entah kenapa dia terkesima tak ingin berpaling ke arah lain.

"Lihatlah aku......aku tahu kau pasti melihat aku." suaranya berubah dibanding waktu dia masih hidup, tapi suaranya keluar dari tenggorokan yang bolong.

"Sebetulnya aku mencintaimu sepenuh hati, sebetulnya aku sudah berkeputusan menjadi istri dan selamanya mengikuti jejakmu, tapi dengan kejam mereka membunuhku, kini kau sebatangkara, tiada orang menemanimu." suaranya menjadi sedih pilu dan rawan, dari biji matanya yang melotot berlinang dua butir air mata.

Serasa remuk hati Sebun Cap-sha, rasa takut entah sirna kemana. Mendadak dia ikut merasa sedih dan rawan, betapapun masih ada orang yang sudi memandang dirinya, sayang orang ini sudah ajal. Tadi dia hanya berpeluk tangan menonton dengan mendelong tanpa berbuat apa-apa.

"Begitu kejam dan tega mereka membunuhku di hadapanmu, bahwasanya mereka tidak memandangmu sebagai manusia," suaranya semakin memilukan. "tapi aku tahu, kau tidak akan membiarkan aku mati penasaran, kau pasti menuntut balas, supaya mereka tahu bahwa kau bukan pemuda yang tidak berguna."

Terkepal kedua tinju Sebun Cap-sha, kepalanya manggut-manggut, katanya mendesis benci: "Aku akan bikin perhitungan, aku akan memberitahu kepada mereka."

"Nah, aku membawa sebatang golok, kenapa tidak sekarang kau pergi bunuh mereka?."

Dari tengah udara tiba-tiba melayang jatuh sebuah benda, 'Ting...' ternyata sebilah golok kemilau yang menancap di atas tanah.

"Asal kau membunuh Han Tin dan Wi Thian-bing, kau adalah Enghiong yang paling hebat dan kenamaan di Kang-ouw, selanjutnya takkan ada orang berani memandang rendah dirimu. Di alam baka akupun bisa mati dengan meram dan tentram." suaranya melayang terombang-ambing di tengah udara, semakin jauh dan jauh. "Inilah permintaanku terakhir kepadamu, kau harus melaksanakan permintaanku......" makin jauh dan akhirnya tak terdengar lagi.

Maka robohlah jazat yang sudah dingin kaku itu.

Malam gelap tak berujung pangkal. Tiba-tiba Sebun Cap-sha memburu maju menggenggam erat tangannya, tapi tangan orang sudah kaku dingin, jelas orang sudah mati cukup lama. Tapi kenyataan barusan dia berdiri dan bicara, sebatang golok benar-benar menancap di atas salju.

Dengan tangan yang basah oleh keringat, Sebun Cap-sha jemput golok itu. Mengawasi golok di tangannya, dia hanyut oleh emosi, mukanya tampak haru dan berkerut-kerut menahan pilu, namun sepasang matanya menatap lurus kosong, mirip pandangan orang mati. Dengan kencang dia genggam golok itu, lalu disimpan di dalam lengan baju, pelan-pelan dia beranjak pergi.

ooo)O(ooo

Nyala api yang kelap-kelip terhembus angin terus melayang ke depan, terpaksa Wi Thian-bing dan Han Tin berjalan cepat mengikuti arah kemana api itu pergi. Jalan yang mereka lewati licin, salju sudah membeku. Di dalam hutan yang luas ini, hanya kelihatan beberapa titik api yang tersebar seperti sinar bintang di cakrawala. Menyusuri jalan kecil licin ini mereka terus menerobos hutan Bwe, tiba-tiba muncul sinar api yang menyala terang di sebelah depan, puluhan orang serba putih berbaris mengejar sinar api itu dan tiba-tiba lenyap seluruhnya di balik pepohonan.

Begitu keluar dari hutan lebat itu, baru Wi Thian-bing melihat deretan rumah-rumah petak yang rendah, gaya dan bentuk bangunannya amat aneh, orang-orang baju putih tentu masuk ke dalam rumah ini. Pada saat itu pula api yang menuntun mereka tiba-tiba lenyap, di tengah hembusan angin kembali kumandang suara merdu misterius itu, kali ini hanya dua patah kata saja yang diucapkan: "Silahkan masuk."

Setelah berada di dalam baru Wi Thian-bing berdua merasakan bahwa rumah-rumah ini bukan saja tidak rendah, malah kelihatan luas dan megah, lantainya tertutup permadani yang masih baru, begitu dihadang deretan pintu angin, dimana terdapat lukisan pemandangan alam, puncak gunung yang memutih salju, warna kembang merah yang menyolok, kelihatan bukan pemandangan dari daratan Tiong-goan.

Waktu tulisan pada lukisan itu ditegasi, kiranya pemandangan ini diambil dari kepulauan Hu-siang-to (Jepang) di luar lautan, warna kembang yang merah menyolok itu adalah kembang yang paling kenamaan di Hu-siang-to yaitu kembang sakura.

Jadi bentuk rumah juga diciptakan menurut seni bangunan dari Hu-siang-to. Di dalam rumah tiada kursi, kecuali beberapa buah meja pendek, di atasnya hanya terdapat tempat lilin warna hijau, sinarnya guram, hiolo di ujung rumah masih mengepulkan asap tebal berbau harum semerbak. Di tengah rumah di mana sebuah meja pendek terdapat sebuah patung Koan-im Posat setinggi tiga kaki, tangannya memegangi dahan pohon Yang-liu, mukanya tersenyum halus lembut.

Dua orang gadis jelita berpakaian serba putih bagai salju berdiri disamping meja, memejamkan mata menurunkan alis, seorang usianya lebih tua, berperawakan tinggi semampai, potongannya elok, satunya lebih muda dan lebih cantik, bagai bidadari yang turun dari khayangan.

Mereka adalah Thi Koh dan Sim Koh. Sementara orang-orang baju putih bersimpuh di atas lantai, semua duduk mematung, sorot matanya tertuju ke tempat jauh. Suasana hening lelap dengan kepulan asap dupa yang semerbak, hingga keadaan rumah terasa seram dan tentram.

Kini belum tiba saatnya buka suara. Wi Thian-bing langsung bersimpuh di atas permadani, baru sekarang dia melihat di belakang pintu angin ada dua pemuda bersutra yang beralis tegak bermata terang, berwajah cakap kereng, keduanya berdiri tegak memegangi pedang. Sarung pedang masing-masing dihiasi mutiara berkilauan, setiap butir tak ternilai harganya, barang mestika yang jarang terdapat di dunia ini.

Bukan saja raut muka mereka mirip satu sama lain, di antara kedua alisnya juga memancarkan watak sombong, seakan-akan seluruh hadirin tiada yang terpandang dalam mata mereka.

Sekilas Wi Thian-bing dan Han Tin beradu pandang, dalam hati mereka tahu, bahwa kedua pemuda ini datang dari kota mutiara.

Setelah berdiam lama satu di antara saudara kembar yang berperawakan agak tinggi bertanya: "Dimanakah sebetulnya Lam-hay-nio-cu? Kami sudah berada di sini. Kenapa ia belum muncul?"

Suara misterius yang berkumandang itu menjawab: "Sejak tadi aku berada di sini, memangnya kalian tidak melihatku?" ternyata patung Koan-im itu bersuara, jelas bibir Thi Koh dan Sim Koh tidak pernah bergerak.

Berubah air muka kedua saudara kembar, katanya dingin: "Dari tempat jauh kami kemari bukan ingin berhadapan dengan patung ukiran."

"Tapi orang yang kalian ingin lihat dan hadapi adalah aku."

"Jadi kau inikah Jian-bin-koan-im Lam-hay-nio-cu?"

"Memang inilah aku."

Saudara kembar itu tiba-tiba menyeringai dingin, berbareng mencabut pedang, sinar pedang laksana bianglala menyambar ke depan menusuk patung Koan-im, gerak-gerik mereka begitu mirip satu sama lain, seolah-olah kerja dari satu bayangan orang.

Ilmu pedang mereka begitu lincah, enteng dan cepat, begitu pedangnya menusuk, sasarannya berubah di tengah jalan, sinar pedang menyambar menyilang, berbintik-bintik bagai kuntum salju berterbangan. Mendadak 'trap" dua jalur pedang bergabung menjadi satu, laksana kilat menyambar muka patung Koan-im Posat.

Pada detik yang menentukan serangan mereka itulah, tiba-tiba terasa oleh saudara kembar ini rona muka Koan-im itu rada berubah, senyum lembut menjadi dingin, serius dan kereng. Di dalam waktu sekejap saja, perempuan cantik yang berusia lebih tua tiba-tiba turun tangan. Terdengar 'pletak' dan ujung pedang yang bergabung satu itu tahu-tahu tergencet di antara kedua telapak tangannya, disusul suara keras yang bergetar, ujung ke dua pedang saudara kembar itu ternyata putus menjadi dua potong.

Agaknya saudara kembar dari kota mutiara ini dipaksa merubah serangan karena kaget, akhirnya kalah karena melihat perubahan air muka Koan-im tadi, meski menghadapi perubahan di luar dugaan, namun mereka tidak gugup karenanya, sebat sekali mereka menggeser kedudukan mundur delapan kaki, kembali ke belakang pintu angin, pedang mereka sudah kembali ke dalam sarungnya. Reaksi mereka menghadapi perubahan cukup cepat dan cekatan, namun tak urung rona muka mereka mengunjuk rasa heran, karena dengan mata mendelong mereka saksikan kutungan pedang dimasukkan ke dalam mulut dan dimakan secara lahap oleh perempuan cantik setengah umur itu. Mereka hampir tidak percaya, betapa tajamnya ujung pedang mereka, memangnya perut perempuan cantik setengah umur ini dibuat dari besi baja?

Lam-hay-nio-cu yang misterius itu menghela napas, katanya: "Ouyang Shia-cu tidak pantas mengutus kalian datang kemari."

Kedua saudara kembar dari kota mutiara tengah mendengarkan.

"Hanya dengan bekal kepandaian kalian bersaudara, memangnya setimpal menghadapi Yap Kay?"

Tak tahan kedua saudara kembar membantah: "Yap Kay toh juga seorang manusia." hanya satu suara, tapi bibir keduanya seperti bergerak.

"Benar, Yap Kay memang hanya seorang manusia, tapi dia bukan manusia sembarangan."

Terunjuk senyum sinis pada ujung mulut ke dua saudara kembar, mimik wajahnya mencemoohkan.

"Dinilai ilmu silatnya, diantara kita yang ada di sini, tiada satupun yang unggul melawannya."

"Jakalau dia datang, kami bersaudara yang pertama ingin menghadapinya."

Lam-hay-nio-cu menghela napas, katanya: "Mungkin sekarang dia sudah datang."

Kata-kata ini bukan saja membuat Wi Thian-bing mengkirik, orang-orang seragam putih yang dipimpin Bak Pek itupun menunjukkan mimik aneh. Terutama kedua saudara kembar lebih hebat perubahan mukanya, tanyanya bengis: "Apa benar dia sudah datang?"

"Di saat kalian kemari, keretanyapun sudah masuk Leng-hiang-wan."

"Bagaimana dengan Siangkwan Siau-sian?"

"Kalau Siangkwan Siau-sian tidak datang, buat apa dia kemari?"

Jadi kedatangan Yap Kay juga lantaran Siangkwan Siau-sian.

"Apa benar Siangkwan Siau-sian adalah putri dari perkawinan Siangkwan Kim-hong dengan Lim Sian-ji?"

"Kenapa diragukan?"

"Di kala hidupnya Siangkwan Kim-hong dan Siau-li Tham-hoa adalah musuh yang tak mau sejajar, mana mungkin putrinya sudi ikut Yap Kay?"

"Karena Ah Hwi menyerahkan dia kepada Yap Kay dan Yap Kay melindunginya kemari."

"Lalu apa pula sangkut paut persoalan ini dengan Hwi-kiam-kek?"

"Sebagai perempuan centil yang suka mempermainkan cinta, sampai usia lanjut baru Lim Sian-ji menginsyafi kesalahan hidupnya, selama hidupnya hanya Ah Hwi saja yang paling dipercayanya, maka sebelum ajal dia suruh putrinya mencari Ah Hwi."

"Cara bagaimana dia bisa membuktikan diri bahwa dirinya adalah putri Lim Sian-ji?"

"Sudah tentu dia punya cara yang tidak diketahui orang lain, kalau tidak masakah Ah Hwi mau percaya?" tiba-tiba dia bertanya: "Agaknya kalian bersaudara tidak banyak tahu seluk beluk persoalan ini."

"Kami hanya tahu satu hal."

"O, apa itu?"

"Kami hanya tahu Shia-cu suruh kami kemari untuk membawa Siangkwan Siau-sian kembali."

"Maka kalian bertekad hendak membawanya pulang?"

"Sudah tentu."

"Sekarang dia sudah datang, kenapa tidak lekas kalian kesana?"

Kedua saudara kembar dari kota mutiara tidak banyak bicara lagi, mendadak keduanya melambung terus jumpalitan melampaui pintu angin, dalam sekejap sudah menghilang di luar.

"Kepandaian bagus!" tak tertahan Wi Thian-bing berseru memuji.

Suara Lam-hay-nio-cu menjadi dingin ketus, katanya: "Antar dua buah peti mati ke Biau-hiang-wan, siapkan urusan belakang ke dua saudara kembar itu."

Walaupun ujung pedang kedua saudara kembar itu kutung, namun ilmu pedang mereka dilandasi kekuatan dasar yang mengeluarkan deru angin santer di saat membelah udara, terutama gerak badan mereka yang lincah dan kerja sama yang begitu serasi, jelas tingkat kepandaian mereka sudah boleh dikategorikan kelas satu di dalam Bu-lim, terutama perpaduan pedang mereka yang melesat laksana bianglala menembus sinar matahari, betapa hebat kekuatannya, sampaipun Wi Thian-bing sendiri tidak punya keyakinan untuk melawannya.

Tapi di dalam pandangan Lam-hay-nio-cu, asal mereka kebentur Yap Kay, berarti mereka antarkan jiwa secara cuma-cuma. Tentunya pandangan Lam-hay-nio-cu takkan keliru.

Suasana rumah itu menjadi hening laksana di dalam sebuah kuburan raksasa, seakan-akan mereka tengah menunggu dengan sabar orang-orang Lam-hay-nio-cu menggotong mayat kedua saudara kembar dari kota mutiara itu kemari.

Entah berapa lama kemudian Wi Thian-bing mendahului buka suara: "Diwaktu Siangkwan Kim-hong menjagoi dunia, Sin-to-tong belum berdiri, sekarang keturunan Sin-to-tong tumbuh dewasa, maka usia Siangkwan Siau-sian tentunya tidak kecil lagi."

Lam-hay-nio-cu berkata: "Ya, sekarang sedikitnya dia sudah berusia dua puluh tahun."

"Gadis likuran tahun, apakah selama ini dia belum menikah?"

"Jikalau dia sudah punya suami, buat apa minta Yap Kay melindunginya?"

"Kecantikan Lim Sian-ji diagulkan nomor satu di seluruh dunia, tentunya Siangkwan Siau-sain bukan gadis jelek."

"Bukan saja tidak jelek, malah boleh juga terhitung gadis cantik yang jarang ada di dunia."

"Kalau dia gadis cantik, kenapa tidak atau belum mendapat suami?"

Lam-hay-nio-cu menghela napas, katanya: "Soalnya meskipun kecantikannya melebihi bidadari, tapi ingatannya, daya pikirnya lebih rendah dari bocah umur tujuh delapan tahun, gadis yang minus jiwanya."

Wi Thian-bing mengerut kening, katanya: "Perempuan secantik itu, memangnya dia seorang linglung?"

"Dia bukan anak terbelakang sejak lahirnya, khabarnya waktu berumur tujuh tahun pernah terluka parah, hingga gegar otak, karena itu otaknya tak pernah tumbuh dan tetap pada usia tujuh tahun saja."

"O, aneh juga kejadian ini." ujar Wi Thian-bing.

"Tapi perawakan dan potongan serta kecantikannya dapat membuat gila laki-laki."

"Takdir memang sudah menentukan nasib seseorang, agaknya nasibnya jauh lebih mengenaskan dari pengalaman hidup ibunya yang rusak itu."

"Perempuan seperti itu, jikalau tiada orang yang melindunginya, entah berapa banyak laki-laki yang akan menipu dan mempermainkan dia."

"Oleh karena itu diwaktu Lim Sian-ji hampir meninggal dunia, hatinya tidak tega meninggalkan putri satu-satunya ini, maka dia cari Hwi-kiam-kek minta dia melindungi putrinya." ujar Wi Thian-bing menegas.

"Selama hidup Ah Hwi berkelana dan belum pernah punya tempat tinggal tetap, karena itu di saat dia ketemu Yap Kay di Kang-lam, maka dia serahkan tanggung jawab ini kepada Yap Kay."

"Apakah dia bisa percaya penuh terhadap Yap Kay seperti Lim Sian-ji percaya terhadapnya?" tanya Wi Thian-bing.

"Siapapun boleh percaya terhadap Yap Kay, walau orang ini berwatak bebas, liar dan tak mau terkekang, tidak mementingkan adat istiadat, namun setiap pesan yang diserahkan kepadanya oleh seorang teman, umpama harus menempuh gunung apipun tidak akan ditolaknya."

Selama ini Bak Pek hanya mendengarkan saja, tiba-tiba menyeletuk: "Bagus, laki-laki sejati, laki-laki gagah."

"Justru karena dia berjanji untuk melindungi Siangkwan Siau-sian, maka dia bertengkar dengan kekasihnya Ting Hun-pin, hingga tunangannya itu minggat tak karuan parannya, sampai sekarang belum terdengar kabar beritanya."

Wi Thian-bing tertawa, katanya: "Aku pernah dengar putri keluarga Ting memang nona cemburuan."

"Perempuan memang dilahirkan untuk cemburuan." ujar Lam-hay-nio-cu.

Setelah berpikir sebentar Wi Thian-bing berkata pula: "Tempo dulu Kim-cie-pang menguasai dunia tujuh selatan tiga puluh enam utara, hampir seluruh propinsi di tanah Tiong-goan ini berada dalam kursinya, betapa besar kekayaannya, hampir menandingi kekayaan negara, tapi umum tahu bahwa Siangkwan Kim-hong adalah manusia yang hidup sederhana dan kikir."

"Dia bukan kikir dan hidup sederhana, yang terang segala hidup foya-foya dan segala kemewahan di dunia ini tiada yang menarik perhatiannya, kecuali kekuasaan, jelas tiada sesuatu apapun dalam dunia ini yang bisa menggerakkan perhatian Siangkwan Kim-hong, sampai perempuan secantik Lim Sian-ji pun dalam pandangannya tidak lebih hanya alat pemuas napsu belaka."

Kata Wi Thian-bing: "Konon, disaat Siangkwan Kim-hong masih hidup, seluruh kekayaan Kim-cie-pang dan ilmu silatnya disimpan pada suatu tempat rahasia."

"Memang di kalangan Kang-ouw banyak orang memperbincangkan soal ini."

"Tapi sejak Siangkwan Kim-hong meninggal, sampai sekarang sudah dua puluhan tahun lebih, belum pernah ada orang menemukan tempat penyimpanan harta itu."

"Memang belum pernah ada." ujar Lam-hay-nio-cu.

Bercahaya mata Wi Thian-bing, katanya pelan-pelan: "Soalnya di mana letak penyimpanan harta ini memang tiada orang tahu."

Lam-hay-nio-cu bersuara heran dalam tenggorokan.

(Bersambung ke Jilid-4)