Ketika Hong Sie Nio melihat sinar lampu dari jendela rumah, dalam hatinya timbul perasaan hangat yang tidak diketahui apa sebabnya, ia merasa seolah2 sudah pulang kerumahnya sendiri.
Seseorang pulang kerumah, lalu menutup pintu, itu seolah2 seperti sudah meninggalkan segala penderitaan harinya diluar pintu..... mungkin inilah arti utam dari apa yang dinamakan rumah tangga.
“Tetapi benarkah ini rumah tanggaku? ini hanya sebuah kamar dari satu rumah penginapan saja.” demikian Hong Sie Nio berkata kepada dirinya sendiri.
Ia menghela napas panjang, ia belum pernah tahu kapan baru mempunyai rumah tangga, huga belum pernah tahu kapan rumah tangganya nanti bakal dibangun.
Baru saja ia berjalan kebawah jendela, sudah terdengar suara orang didalam kamarnya.
“Keluar dari Yang-koan tiga ribu li jauhnya, selanjutnya pandang Siauw-long sebagai orang jalanan ..... Hong Sie Nio Hong Sie Nio, kupikir kau sudah melupakan diriku!” demikian suara dari dalam kamarnya itu.
Sekujur tubuh Hong Sie Nio mendadak dirasakan panas, tanpa banyak berpikir lagi lantas lompat melesat masuk kedalam kamar, dan berkata dengan suara nyaring:
“Kau setan ini ....akhirnya kau toh unjuk muka juga!”
Secawan arak diatas meja ternyata sudah kosong. Diatas pembaringan nampak rebah terlentang seseorang, dengan menggunakan bantal menutupi mukanya sendiri.
Orang itu menggunakan pakaian berwarna biru, tetapi sudah mulai agak keputih-putihan. Dipinggangnya terdapat ikat pinggang kain warna biru tua, diikat pingganggnya itu tergantung sebilah golok.
Golok itu bentuknya lebih pendek dari golok biasa, sarung golok terbuat dari kulit berwarna hitam, sudah terlalu lama hingga warnanya tidak begitu terang lagi, tetapi masih agak baru tampakanya kalau dibandingkan dengan sepasang sepatunya.
Kakinya diangkat tinggi2, dibawah sepatunya terdapat dua lubang.
Dengan kakinya Hong Sie Nio menendang sepatu orang itu, katanya dengan raut muka cemberut:
“Setan malas dan mesum, siapa suruh kau tidur ditempat tidurku?”
Orang diatas pembaringan itu menghela napas, katanya menggumam:
“Bulan yang lalu aku baru mandi, orang ini ternyata masih mengatakan aku mesum.......”
Hong SIe Nio tidak tahan rasa gelinya, hingga ia jadi tertawa lebar, tetapi secepatnya ia kembali cemberutkan muakanya, bantal yang tadi digunakan untuk menutup muka orang tadi ditariknya dan dilemparkan jauh2, katanya:
“Lekas bangun, supaya aku bisa liahat selama beberapa tahun ini kau sebetulnya sudah berubah jadi bagaimana rupamu?”
Bantal sudah dilemparkan, tapi orang diatas pembaringan itu menggunakan tangannya menutup lagi mukanya.
“Benarkah kau sudah tidak berani melihat orang?” bertanya Hong Sie Nio.
Orang diatas pembaringan itu cuma merenggangkan sela2 jari tangannya itu tampak sepasang mata yang penuh mengandung ejekan, katanya sambil tertawa:
Seorang perempuan yang sangat galak, pantas kau tidak laku kawin, tampaknya selain aku sudah tidak ada orang lain yang berani mengawini kau......”
Belum habis ucapannya, Hong Sie Nio sudah menampar dengan tangannya.
Orang di atas pembaringan itu mengerutkan tubuhnya, seluruh tubuhnya dengan mendadak pindah dan menempel di dinding tembok, seperti orang-2-an yang dibuat dari kertas berada di dinding, namun ia tidak bisa jatuh ke bawah.
Sepasang matanya yang bersinar tajam masih tetap mengandung maksud mengejek, orang itu beralis tebal, hidungnya mancung, di bawah hidungnya ada tumbuh kumis yang indah.
Orang laki itu sebenarnya tidak terhitung golongan orang tampan, namum sepasang matanya, bibirnya tersungging senyum mengejek, benar-2 penuh daya penariknya sebagai seorang laki-2.
Hong Sie Nio menghela napas perlahan, katanya sambil menggelengkan kepala:
“Siauw Cap-it-long, kau masih belum berubah, benar-benar sedikitpun juga tidak berubah.... kau masih tetap seperti seorang bajingan besar....”
“Aku selalu masih mengira kau hendak menikah dengan aku si bajingan besar ini, tampaknya dugaanku itu telah keliru” kata Siauw Cap-it-long sambil tertawa.
Wajah Hong Sie Nio menjadi merah, katanya dengan suara keras:
“Menikah denganmu? Aku bisa menikah denganmu? .... Orang-2 dalam duniah sudah mati semua, aku juga bisa menikah denganmu!”
Siauw Cap-it-long menghela napas panjang, katanya:
“Kalau begitu, aku sudah tidak perlu khawatir lagi!”
Tubuhnya merosot dari dinding tembok dan duduk kembali di atas pembaringan, katanya sambil tertawa:
“Dengan sejujurnya, ketika aku mendengar kabar kau mencari aku, aku sebetulnya benar-benar ada sedikit takut; aku kini baru berusia dua puluh tujuh tahun, andaikata aku hendak kawin, aku juga akan mencari seorang gadis kecil yang beru berusia enam belas tahunan, orang seperti kau yang sudah nenek-nenek.....”
Hong Sie Nio lompat bangun dan berkata dengan marah:
“Aku seorang nenek-nenek? Berapa tuaku coba kau katakan....”
Secepat kilat, ia sudah menghunus sebilah pedang pendek dari pinggangnya.
Sesaat kemudian, ia sudah menyerang Siauw Cap-it-long tujuh delapan kali.
Siauw Cap-it-long kembali harus melesat ke dinding tembok, kemudian melesat ke atas genteng, lalu seperti cecak raksasa menempel di atas genteng, katanya sambil menggoyang-goyangkan tangan:
“Jangan, jangan kau turun tangan, aku hanya main-main saja denganmu! Sebetulnya kau sedikitpun belum tampak tuanya, paling banyak baru empat puluh tahun usiamu!”
Hong Sie Nio berusaha hendak cemberutkan mukanya, namun ia tidak tahan rasa gelinya hingga jadi tertawa lagi, katanya sambil menggeleng-gelengkan kepala:
“Masih untung aku tidak sering-sering melihatmu, jikalau tidak, aku benar-benar bisa mati kaku.”
“Orang yang menyanjung-nyanjung kau sudah banyak jumlahnya, kalau ada seorang yang bisa membikin kau mendongkol hatimu, bukankah itu merupakan suatu hal yang cukup menyenangkan?” berkata Siauw Cap-it-long sambil tertawa.
Sementara itu orangnya sudah melayang turun kembali, namun sepasang matanya terus ditujukan kepada pedang di tangan Hong Sie Nio.
Itu adalah sebilah pedang pendek yang hanya satu kaki saja panjangnya, ujung pedangnya sangat tipis, dan memancarkan sinar berkilauan, pedang semacam ini paling cocok digunakan kaum wanita. Jago pedang wanita Kong-sun Toa Nio yang terkenal namanya pada jaman kerajaan Tong, pedang yang digunakan olehnya juga adalah pedang semacam ini.
Siauw Cap-it-long mengawasi pedang pendek yang tajam itu, sedangkan Hong Sie Nio sebaliknya mengawasi terus sepasang mata Siauw Cap-it-long. Tapi sekonyong-konyong ia membalikkan tangannya, dan membabat cangkir arak di atas meja.
Terdengar suara nyaring cawan arak keramik berwarna biru muda telah terbelah menjadi dua.
Siauw Cap-it-long berseru dengan pujiannya:
“Pedang bagus sekali.”
Hong Sie Nio seperti tertawa namun bukan tertawa, katanya hambar:
“Pedang ini meskipun tidak bisa digunakan benar-benar untuk memotong besi sebagai tanah, tetapi masih terhitung boleh juga. Pedang pusakaku ini terlalu disayang oleh Siao-yao-hauw bagaikan benda pusaka yang sangat berharga, sekalipun untuk diperlihatkan saja kepada orang lain juga ia bisa merasa keberatan.”
Siauw Cap-it-long mengedip-ngedipkan matanya, tanyanya sambil tertawa:
“Tapi, dia akhirnya toh memberikan juga pedang ini padamu. Betul tidak?”
“Sedikitpun tidak salah” menjawab Hong Sie Nio sambil angkat muka.
“Jikalau demikian halnya dia ternyata sudah menaksir dirimu”
“Apakah dia tidak boleh menaksir aku? Apakah aku benar-benar sudah sedemikian tua?”
Siauw Cap-it-long menghela napas dan berkata:
“Orang perempuan bisa menarik perhatian orang seperti Siauw-yao-hauw itu, sesungguhnya tidaklah mudah. Entah ia hendak mengambil kau akan dijadikan gundik yang keberapa?”
“Kentutmu......” berkata Hong Sie Nio marah.
Pedangnya kembali diangkat, namun Siauw Cap-it-long cepat cepat sudah mengkeretkan kepalanya.
Hong Sie Nio perlahan lahan menurunkan kembali pedangnya, matanya melirik kepada Siauw Cap it long seraya berkata:
“Kalau kau benar benar pintar seharusnya tahu asal usul pedang ini”
“Tampaknya pedang ini seperti pedang Na giok (batu giok biru) yang digunakan oleh murid kepala Kongsun Toa Nio Sin Beng Lan” jawab Siauw Cap it long.
Hong Sie Nio mengangguk anggukkan kepala dan berkata:
“Kau bermata tajam”
“Tetapi pedang Na giok ini adalah sebilah pedang betina, kau sudah memiliki Na giok, seharusnya ada pedang timpalannya yang bernama Cek hee (batu giok warna merah) baru betul, kecuali...”
“Kecuali apa?”
Siauw Cap it long tertawa dahulu, kemudian baru berkata:
“Kecuali Siao yao hauw berat memberikan dua bilah pedang kepadamu”
“Jangankan dua bilah pedang ini, sekalipun aku menghendaki batok kepalanya ia juga akan menyerahkan dengan kedua tangannya” berkata Hong Sie Nio sambil pendelikkan mata.
“Kalau demikian halnya, pedang Cek hee itu dimana sekarang berada?”
“Biar kau membuka mata juga tidak halangan”
“Sebetulnya aku juga bukan benar benar ingin melihat, tetapi kalau aku tidak melihatnya kutakut kau kembali akan menjadi marah” Siauw Cap it long tertawa lagi, lalu meneruskan:
“Ingatkah kau pada bulan sepuluh tahun itu? Hawa udara masih panas sekali, tapi kau mengenakan pakaian dingin datang menengok aku. Meskipun hawa panas sekali dan kau masih bersikap keras mengatakan bahwa kau masuk angin, hingga mau memakai pakaian yang tebal sediki...” berkata Siauw Cap it long pula sambil tertawa cekikikan.
Hong SIe Nio marah, katanya:
“Kentutmu! apa kau kira aku hendak menyerahkan barang pusaka kehadapanmu?”
“Ada barang pusaka untuk dipersembahkan, bagaimanapun juga itu baik sekali, orang seperti aku ini yang tidak mempunyai barang pusaka untuk dipersembahkan, terpakasa mempersembahkan barang pusaka apa saja”
“Kau benar benar seperti pusaka hidup” berkata Hong Sie Nio sambil tertawa.
Sambil berkata demikian dia memutar diri, dari pinggangnya mengeluarkan sebilah pedang lagi, disarung pedangnya dihiasi dengan batu giok warna merah jambu.
SIauw Cap it long menyambut pedang itu, katanya sambil tertawa dan menggelengkan kepala:
“Barang barang yang dipakai oleh orang perempuan benar saja tidak lepas dari warna merah jambu”
Mulutnya berkata demikian, tangannya sudah menghunus pedang pusaka itu.
Sebilah pedang keluar dari sarungnya, sesaat itu dia berdiri tercengang.
Ternyata pedang Cek hee adalah sebilah pedang kutung.
Hong Sie Nio sebaliknya tidak menunjukkan perubahan sikap, dengan tenang dia mengawasi padanya, kemudia bertanya:
“Kau merasa heran?”
“Barang tajam demikian rupa bagaimana bisa terkutung?”
“Terkutung malah oleh golok!”
“Golok apakah itu? Mengapa demikian tajamnya?”
“Aku tahu kau begitu dengan ada golok baik, lalu hatimu lantas tertarik. Tetapi kali ini, aku justru tidak memberitahukan kepadamu, juga supaya jangan kau anggap aku menghadiahkan barang pusaka”
Biji mata SIauw Cap it long berputaran terus, lalu mendadak ia bangkit dan berkata:
“Melihat kau, aku lantas menjadi lapar, Jalan, aku undang kau makan malam.”