Pang Lak tengah melintasi gang kecil sempit yang dipenuhi tumpukan salju, dari kejauhan sudah kelihatan kembang-kembang Bwe yang sedang mekar semarak di dalam Leng-hiang-wan.
"Pergi kau ke Tiang-an, borong seluruh Leng-hiang-wan, tamu-tamu yang semula sudah menetap di sana usir semua, peduli mati atau hidup, semua harus keluar dari sana."

Itulah perintah Wi pat-ya, perintah yang paling khas dari Wi pat-ya.
Bila kau di utus melaksanakan tugas, maka kau harus menunaikan tugas itu dengan baik dan sukses, tak boleh gagal. Cara apa dan bagaimana kau bekerja boleh kau halalkan, dia tidak peduli kesulitan apa yang kau hadapi dalam menyelesaikan tugasmu, dia lebih tak mau ambil tahu. Seluruh kesulitan harus kau atasi sendiri, jikalau kau tak kuat mengatasinya, maka kau tidak setimpal menjadi murid Wi pat-ya.
Sekarang Pang Lak sedang menunaikan tugas yang dibebankan pada dirinya. Biasanya dia seorang yang paling teliti dan cermat di dalam menjalankan tugas apapun.
Setelah keluar dari gang sempit ini, tibalah dia di muka pintu kamar salah satu dari Leng-hiang-wan. Pengurus yang piket biasanya berada di dalam kamar ini, diam-diam dia berdoa semoga pengurus yang piket sekarang adalah seorang pandai yang tahu diri dan bisa melihat gelagat. Semua cerdik pandai tahu bahwa perintah atau permintaan Wi pat-ya tidak boleh di tolak.
ooo)O(ooo
Orang yang piket dalam Leng-hiang-wan hari ini adalah seorang laki-laki berusia tiga puluhan lebih, agaknya memang tidak begitu pintar, namun jelas tidak bodoh.
"Cayhe Nyo Kan, terserah Kongcu hendak menikmati kembang atau mau minum arak, atau ingin dolan beberapa hari di sini, silahkan memberi perintah saja." demikian pengurus yang piket memperkenalkan diri serta menyambut kedatangan Pang Lak.
Jawaban Pang Lak pendek, tegas dan langsung: "Kita akan borong seluruh taman ini"
Nyo Kan melengak, merasa amat di luar dugaan, namun dia tetap tersenyum, katanya: "Di sini seluruhnya ada dua puluh satu pekarangan, empat belas bangunan gedung berloteng, tujuh aula, dua puluh delapan kamar kembang, dua ratusan kamar tamu, apa Kongcu ingin memborongnya semua?"
"Begitulah maksudku." ujar Pang Lak.
Sekilas Nyo Kan termenung dan bimbang, katanya: "Berapa banyak orang yang hendak di undang Kongcu?"
"Umpama seorang yang ku undang, tetap akan kuborong seluruhnya."
Seketika Nyo Kan unjuk rasa tidak senang, katanya dengan sikap menjadi dingin: "Itu tergantung orang macam apa yang hendak berkunjung kemari."
"Yang akan datang adalah Wi pat-ya."
Tersirap jantung Nyo Kan, serunya: "Wi pat-ya, Wi-pat-tay-ya dari Po-ting-hu?"
Pang Lak manggut-manggut, hatinya amat puas dan bangga, betapapun ketenarannya dan kebesaran nama Wi pat-ya cukup menggetarkan nyali orang, tak sedikit orang yang mengenalnya.
Mengawasinya, tiba-tiba sorot mata Nyo Kan mengunjuk senyuman yang licik dan licin, katanya: "Perintah Wi pat-ya sebetulnya Cayhe tidak berani membangkang, hanya.......barusan datang juga seorang tamu yang berkata hendak memborong seluruh taman ini, malah dia berani membayar tarip tinggi seribu tahil perak seharinya. Cayhe belum berani menerimanya, sekarang jikalau aku menerima permintaan Kongcu, cara bagaimana aku harus memberi pertanggungan jawab kepada orang itu?"
Berkerut alis Pang lak, tanyanya: "Dimana sekarang orang itu?"
Nyo Kan tidak menjawab dengan mulut, namun sorot matanya lewat pundaknya tertuju ke arah jauh di belakangnya. Waktu Pang Lak putar badan, maka dilihatnya seraut wajah yang hijau bersemu putih, seraut wajah yang tidak menunjukkan sedikit perasaanpun.
Seseorang tengah berdiri di belakangnya memojok di kamar sana, badannya mengenakan pakaian serba putih yang terbuat dari kaci tipis, di punggungnya menggendong segulung tikar, tangannya memegang tongkat pendek. Waktu Pang Lak masuk tadi tidak melihat orang ini, kini orang inipun seperti tidak melihat kehadirannya, sepasang biji matanya yang dingin bening sedikitpun tidak menampilkan perasaan apa-apa, seolah-olah menatap ke tempat nan jauh.
Seolah-olah semua manusia, segala urusan dalam dunia ini, tiada satupun yang terpandang dalam matanya, yang diperhatikan agaknya hanya udara kosong di tempat nan jauh dan tidak menentu itu, hanya di sana baru dia benar-benar berhasil mendapatkan suatu tempat yang tenang dan tentram.
Hanya sekilas Pang Lak melihatnya, terus putar badan lagi. Dia sudah tahu siapa laki-laki jubah putih ini, maka dia tidak perlu mengawasinya secermat mungkin, diapun tidak ingin bicara sama dia.
Sorot mata Nyo Kan masih memancarkan tawa hina dan mencemooh. Tiba-tiba Pang Lak berkata: "Kau sedang berdagang, bukan?"
"Memangnya Cayhe berdagang." sahut Nyo Kan.
"Lalu apa tujuan orang berdagang?."
"Tentunya mencari untung."
"Baik, aku berani membayar seribu lima ratus tahil perak sehari, disamping kuberi seribu tahil untuk persenmu sendiri.", demikian Pang Lak main diplomasi. Dia tahu bicara dengan seorang pedagang jauh lebih gampang daripada seorang yang tidak perdulikan mati hidup jiwanya sendiri. Selama bertahun-tahun bekerja bagi Wi-pat-ya, dia sudah berpengalaman untuk cara bagaimana memberi keputusan dan memilih jalan yang terbaik dalam menempuh keberanian kerjanya.
Nyo Kan ternyata ketarik dan mulai bimbang. Tiba-tiba terdengar laki-laki jubah putih bersuara: "Akupun menawar seribu lima ratus tahil ditambah ini."
Terasa oleh Pang Lak dari belakang ada sejalur angin menyambar seperti tabasan golok dingin, tak tahan dia berpaling ke belakang. Ternyata laki-laki jubah putih sudah melolos sebilah golok pendek dari tongkatnya, sekali gerakan membalik tahu-tahu golok pendek itu mengiris sekerat daging di pahanya sendiri. Pelan-pelan dia taruh kulit daging hasil irisannya itu di atas meja. Darah bercucuran, namun air mukanya tetap dingin beku, agaknya sedikitpun tidak merasa sakit.

Pang Lak mengawasinya, terasa ujung matanya bergidik. Lama sekali baru dia berkata dengan kalem: "Tarip setinggi ini akupun mampu membayarnya."
Sekilas sinar mata dingin laki-laki jubah putih mengerling kepadanya, lalu memandang canang ke depan nan jauh. Pelan-pelan Pang Lak keluarkan sebilah pisau, diapun mengiris sekerat daging di pahanya sendiri. Dia mengiris pelan-pelan, amat hati-hati dan teliti. Perduli apapun yang dia kerjakan, biasanya memang teliti dan seksama.
Bahwa kulit daging sendiri diiris tentunya sakit bukan buatan, namun perintah Wi-pat-ya jikalau tidak terlaksana, maka siksaan yang dia alami jauh lebih menderita. Agaknya putusan dan jalan yang dia tempuh memang tepat atau mungkin memang dia tiada kesempatan atau tiada peluang main pilih segala.
Dua kerat daging paha yang berlepotan darah ditaruh di atas meja. Jantung Nyo Kan sudah berdegup, seluruh badan merasa lemas.
Sekilas laki-laki jubah putih melirik kepada Pang Lak, tiba-tiba golok pendeknya berkelebat, tahu-tahu dia tabas sebuah kupingnya sendiri.
Terasa oleh Pang Lak lengannya sendiri sudah kaku dan gemetar. Dia pernah memotong kuping orang, waktu itu dia merasa senang dan terhibur meski dia tahu caranya itu agak keji, tapi memotong kuping sendiri merupakan suatu hal yang lain.
Sebetulnya dia bisa main pisaunya untuk bunuh laki-laki jubah putih ini, namun peringatan Han Tin selalu terngiang di dalam benaknya. 'Walau kau turun tangan cepat, namun di kalau kau berhasil membunuhnya, diapun masih sempat membalas membunuhmu.' Setiap orang yang cermat dan hati-hati selalu sayang pada jiwa raganya sendiri dan Pang Lak adalah orang yang paling teliti. Pelan-pelan dia angkat kepalanya, lalu dipotongnya sebelah kupingnya, gerak-geriknya pelan-pelan dan hati-hati.
Pundak laki-laki jubah putih sudah berlepotan darah, sorot matanya yang semula kosong tak berperasaan, kini tiba-tiba menampilkan rasa senang nan buas, seolah-olah dia sendiri yang memotong kuping Pang Lak ini.
Dua kuping yang terpotong terletak di atas tanah. Nyo Kan sudah tak kuasa berdiri lagi.
Mengawasi darah segar yang bertetesan dari kuping Pang Lak, laki-laki jubah putih berkata dingin: "Apakah kau masih berani menawar setinggi ini?", mendadak dia ayunkan golok pendeknya pula, membacok pergelangan tangan kirinya. Hati Pang Lak serasa ikut terayun mengikuti samberan golok orang.
Pada saat itu mendadak terasa angin menghembus lalu, hembusan angin yang membawa serangkum bau wangi aneh. Disusul ujung matanya lantas melihat bayangan seorang. Seorang perempuan. Terkesima mata Pang Lak, belum pernah dia melihat perempuan secantik ini selama hidupnya. Bayangan orang melayang tiba, seolah-olah dibawa hembusan angin lalu.
Waktu laki-laki jubah putih melihat gadis ini, tahu-tahu dia merasa sikut tangan kanannya yang memegang golok tersanggah oleh lengan orang. Orang tengah tersenyum manis kepadanya, tawa nan hangat dan genit, demikian pula suaranya merdu dan manis mesra.
"Golok membacok daging orang rasanya sakit sekali."
"Ini bukan kulit dagingmu," jengek laki-laki jubah putih.
Gadis cantik itu berkata lembut: "Walau bukan badanku sendiri, hatikupun ikut sakit!". Jari-jarinya nan runcing halus tiba-tiba mengebas seperti seorang kekasih yang memetik sekuntum kembang dari vas kembang. Sekonyong-konyong laki-laki jubah putih merasa golok di tangannya sudah berpindah ke tangan orang. Golok cepat yang terbikin dari baja murni, tipis dan tajam luar biasa.
Jari-jarinya begitu runcing dan lembut, hanya sekali potes dan telikung seperti gadis ayu memetik kembang, terdengar "Pletak...!", golok cepat tipis terbuat dari baja murni itu tahu-tahu sudah dia tekan putus dengan enteng.
"Apalagi tempat ini sudah kuborong seluruhnya, buat apa kalian masih bersitegang di sini?" demikian katanya lebih lanjut.
Sembari bicara tahu-tahu potongan ujung golok yang terbuat dari baja murni itu dia jepit dengan dua jari terus diangsurkan ke mulutnya, pelan-pelan dikunyah terus ditelannya mentah-mentah. Maka tampak wajahnya nan cantik seketika menampilkan rasa senang dan puas, seolah-olah baru saja dia mengulum dan menikmati sebutir gula-gula yang enak sekali.
Pang Lak melenggong. Hampir dia tidak berani akan penglihatan matanya sendiri, sampaipun sorot mata laki-laki jubah putihpun menyorotkan rasa kaget dan ketakutan. Mana mungkin dalam dunia ini terjadi peristiwa seaneh ini, ilmu silat atau Lweekang yang menakutkan? Memangnya dia tidak takut, besi baja yang tajam itu mengkoyak isi perutnya?.
Kembali gadis ayu itu memotes sekeping golok baja itu serta dimasukkan ke mulut pula terus ditelan, katanya perlahan sambil menghela napas: "Golokmu ini memang bagus, bukan saja terbuat dari baja murni yang berkwalitet tinggi, gemblengannya cukup matang, jauh lebih enak dan lezat dari golok yang kumakan kemarin."
"Setiap hari kau makan golok?", tak tahan Pang lak bertanya.
"Makanku tidak banyak, setiap hari hanya tiga batang, ketahuilah pedang dan golok mirip pula ikan dan daging, kalau terlalu banyak kau makan, perutmu bisa mules dan mangsur-mangsur."
Pang Lak mengawasinya dengan mendelong, jarang dia bersikap linglung di hadapan gadis secantik ini, namun sekarang agaknya tidak kuasa menguasai perasaannya sendiri.
Gadis cantik itu belum mengawasi dirinya, katanya pula: "Sebaliknya pisau di tanganmu itu rasanya tentu tidak enak lagi."

"Kenapa?", tanya Pang Lak.
Gadis itu tertawa cekikikan, katanya tawar: "Dengan pisau itu sudah terlalu banyak orang yang kau bunuh, bau anyirnya darah sudah terlalu tebal."
Sekilas laki-laki baju putih melirik kepada si gadis, tiba-tiba dia putar badan lalu melangkah pergi dengan cepat. Dia tidak takut mati, namun jikalau suruh dia memotong golok baja dan menelannya bulat-bulat, jelas dia takkan mampu melakukannya. Takkan ada dalam dunia ini yang bisa melakukannya, bahwasanya kejadian ini memang luar biasa.
Kembali gadis itu tertawa, katanya: "Agaknya dia tidak ingin rebutan dengan aku, lalu kau....?"
Pang Lak tak bersuara, hakekatnya dia tidak bisa berbicara lagi.
"Seorang laki-laki sejati, perduli apapun yang dia perebutkan dengan perempuan, umpama akhirnya menang, juga tidak boleh dibanggakan, coba katakan benar tidak?"
Akhirnya Pang Lak menghela napas, katanya: "Harap tanya siapakah nama besar nona yang harum, supaya Cayhe kembali bisa membuat laporan."
Gadis itu menghela napas, katanya: "Akupun hanya seorang suruhan, tiada gunanya kau tanya namaku."
Gadis secantik bak bidadari ini, berkepandaian silat tinggi lagi, kiranya hanyalah budak atau pelayan orang. Memangnya orang macam apa pula majikannya?.
"Boleh kau kembali dan beritahu kepada Wi-pat-ya, katakan bahwa tempat ini sudah diborong seluruhnya oleh Lam-hay-nio-cu. Jikalau dia orang tua ada waktu, boleh silahkan kemari untuk bermain beberapa hari."
"Lam-hay-nio-cu.", mulut Pang Lak mendesis.
Gadis ayu itu manggut-manggut, katanya: "Lam-hay-nio-cu adalah majikanku, pulanglah dan laporkan kepada Wi-pat-ya, dia pasti tahu."
ooo)O(ooo