Yang tahu rahasia ini hanya Ki Bu-bing, tapi orang yang satu ini tak kemaruk harta, maka selama puluhan tahun, belum pernah timbul ambisi atau ketamakannya untuk mengeduk harta kekayaan yang berlimpah-limpah itu."

"Memang, Ki Bu-bing adalah bayangan Siangkwan Kim-hong."

"Ilmu silatnya amat ganas, serangannya tak kenal kasihan, maka tiada orang berani mengusik padanya, apalagi jejaknya tidak menentu, umpama ada orang ingin mencarinya, selamanya takkan bisa menemukan dia."

"Umpama berhasil menemukan dia, tentu jiwanya melayang di pedangnya." timbrung Lam-hay-nio-cu.

"Tapi belakangan dia memberitahu rahasia ini pada seseorang."

"O, kepada siapa?" tanya Lam-hay-nio-cu ketarik.

"Dia memberitahu rahasia ini kepada keturunan atau darah daging Siangkwan Kim-hong satu-satunya."

"Siangkwan Siau-sian maksudmu?"

"Benar, memang Siangkwan Siau-sian. Oleh karena itu bukan saja dia gadis tercantik di seluruh jagat ini, dia pula gadis yang terkaya di seluruh dunia, ditambah ilmu silat peninggalan Siangkwan Kim-hong, siapapun yang menemukan dia, bukan saja dapat menjulang tinggi menjadi manusia yang terkaya di seluruh kolong langit, kelak akan menjadi tokoh silat kosen yang tiada bandingannya, sudah tentu daya tariknya teramat besar bagi manusia yang tamak."

"Sayang dia tidak mengetahui, karena dia tidak lebih hanya seorang gadis cilik yang baru berusia tujuh delapan tahun."

"Oleh karena itu untuk melindungi dan menjaga gadis seperti ini, boleh dikata tak mungkin terlaksana."

"Mungkin saja."

"Kalau orang lain tidak mungkin melindungi dia, tapi Yap Kay pasti mungkin."

Wi Thian-bing tertawa dingin, katanya: "Umpama kata Yap Kay benar-benar tunas muda yang luar biasa bakatnya, ilmu silatnya sudah memuncak tingkat yang tiada bandingannya di seluruh jagat, hanya tenaga dia seorang, memangnya mampu menghadapi puluhan tokoh-tokoh kosen kelas wahid dari seluruh pelosok dunia ini?"

"Yang terang dia tidak hanya seorang diri." sahut Lam-hay-nio-cu tegas.

"Tidak seorang diri? Lalu dengan siapa?"

"Memang tidak sedikit yang ingin membunuh dia dan merebut Siangkwan Siau-sian, tapi demi kesetiaan dan budi pekerti, tidak sedikit pula orang-orang yang bertekad melindunginya."

"Kesetiaan dan budi pekerti masa lalu?"

"Jangan lupa dia adalah pewaris Siau-li Tham-hoa satu-satunya, dan yang pernah mendapat budi pertolongan Li Sin-hoan tidak sedikit jumlahnya."

"Peristiwa sudah berselang sekian tahun, umpama orang-orang itu belum mati, tentu sudah melupakan hutang budinya, budi lebih cepat dilupakan orang daripada dendam kesumat."

"Sedikitnya masih ada seorang yang tidak pernah melupakannya."

"Siapa?"

"Aku!", sahut Lam-hay-nio-cu.

Seluruh hadirin tersentak kaget oleh jawaban pendek dan tegas ini.

"Jikalau kalian kira aku kemari juga ingin merebut Siangkwan Siau-sian, maka meleset jauh dugaan kalian."

"Lalu apa maksudmu mengundang kami kemari?"

"Tidak lebih hanya satu permintaanku, sukalah pandang mukaku, batalkan niat kalian semula."

"Kau minta kami melepaskan Yap Kay?"

"Begitulah."

"Jikalau kami tidak setuju?"

"Kalau begitu bukan saja kalian lawan Yap Kay, kalianpun akan jadi musuhku, maka untuk keluar dari rumah ini, kukira bukan pekerjaan mudah."

Mendadak Wi Thian-bing terloroh-loroh, serunya: "Aku mengerti, akhirnya aku mengerti."

"Kau mengerti apa?"

Tiba-tiba terhenti loroh tawa Wi Thian-bing, katanya: "Kau minta kami membatalkan niat, hanya karena kau ingin mencaploknya sendiri, sengaja kau agulkan Yap Kay setinggi langit segagah naga, yang terang kau sudah mencari akal jahat untuk menghadapinya."

Suara Lam-hay-nio-cu berubah, katanya: "Wi-pat-ya, kau pandanglah aku."

Wi Thian-bing malah berpaling muka ke lukisan di pintu angin, katanya dingin: "Kau hendak gunakan Kou-hun-sip-tay-hoat dari Mo Kau untuk menundukkan aku, kau salah alamat."

"Aku hanya ingin memperingatkan kepadamu tiga puluh tahun yang lalu, aku pernah melepasmu tanpa kurang suatu apa."

"Benar, tiga puluh tahun yang lalu, aku hampir mampus di tanganmu."

"Waktu itu kau bersumpah berat, asal aku melihatmu lagi, perduli apapun yang kuperintahkan, kau tidak akan menolak, kalau sebaliknya kau rela terbunuh mampus dengan badan tercacah hancur lebur." sampai di sini suaranya semakin seram menggiriskan. "Apa kau masih ingat akan sumpahmu dulu itu?"

"Sudah tentu aku masih ingat, hanya..........."

"Hanya apa lagi?"

"Waktu itu aku bersumpah terhadap Lam-hay-nio-cu."

"Aku inilah Lam-hay-nio-cu!"

"Kau bukan!" seru Wi Thian-bing geram seraya mendelik beringas, "Lam-hay-nio-cu sudah lama meninggal, kau kira aku tidak tahu?"

Bak Pek yang biasanya tenang seketika terkesima dan tersentak kaget mendengar kabar ini.

Kata Wi Thian-bing lebih lanjut: "Waktu berada di belakang gubuk rumput itu, kau tanya aku kenapa aku tidak mengenal suaramu, waktu itu juga aku sudah tahu, kau pasti bukan Lam-hay-nio-cu, maka dia tentu sudah meninggal, kalau tidak masakah aku berani kemari?"

Lama berdiam diri, akhirnya suara misterius itu berkata kalem: "Cara bagaimana kau bisa tahu?"

"Karena selamanya tak pernah kau mengajukan pertanyaan ini."

"Kenapa?"

"Karena aku tak bisa membedakan suaranya, memang hanya aku laki-laki yang pernah melihat wajah aslinya, namun selamanya tak pernah aku mendengar sepatah katapun suaranya." tawa Wi Thian-bing amat aneh, katanya lebih lanjut: "walau kau tahu. aku adalah laki-laki yang pernah melihat wajahnya dan masih hidup sampai sekarang, namun kau tak mungkin tahu apa yang pernah terjadi antara kami berdua, karena dia takkan memberi tahu hal itu kepadamu."

Lama suara misterius itu diam, akhirnya tak tahan dia bertanya: "Kenapa?"

"Karena itu rahasia, tak ada orang di kolong langit ini yang tahu akan rahasia itu." terunjuk cahaya cemerlang di wajahnya yang berseri lebar pada muka si orang tua ini, seolah-olah kembali pada masa dulu, diliputi impian muluk-muluk di masa remajanya. Maka tercetuslah sebuah cerita yang tak ubahnya seperti dongeng jaman kuno.

"Tiga puluh tahun yang lalu, aku adalah pemuda yang suka menimbulkan gara-gara dimana aku berada. Suatu hari aku membuat onar di daerah Biau-kiang, terpaksa aku melarikan diri ke atas gunung sembunyi di dalam hutan belantara, tak kusadari aku tersesat di atas gunung belukar."

"Di Biau-san, dimana-mana kau dapat bertemu dengan ular atau binatang liar, malah di sana-sini kau bisa menghirup hawa beracun, untuk menghindari dan menyelamatkan diri dari Tho-hoa-ciang yang selalu muncul pada magrib, maka aku sembunyi dalam gua yang amat dalam."

"Gua ini adalah sarang rase, karena lapar aku berburu rase untuk mengisi perut, dan karena aku mengejar rase itulah akhirnya aku mengalami peristiwa yang selama hidup tak pernah kulupakan."

Sorot mata setajam golok tadi berubah lembut dan hangat, lalu dia lanjutkan ceritanya: "Aku kejar rase itu ke dalam sehingga mencapai ujung gua, akhirnya kutemukan di belakang dinding gunung bagian bawahnya ada sebuah jalan keluar pula yang tersembunyi."

"Setelah aku bersihkan semak-semak rotan, aku lantas keluar, tak lama kemudian kudengar suara gemerciknya air, aku menyusuri aliran sungai ke depan, aku tiba di alam terbuka dan di luar gua merupakan alam permai laksana di tempat dewata."

"Waktu itu kebetulan musim semi, ratusan kembang mekar bersama, pepohonan menghijau permai laksana permadani, air terjun mencurah ke bawah, air terasa hangat dan hawapun sejuk. Maka di bawah pancuran air yang bening laksana sebuah jambangan itu, kudapati seorang gadis sedang mandi."

Sampai di sini ceritanya berhenti, namun orang banyak tahu siapa gerangan gadis yang ditemuinya sedang mandi itu.

Pandangan mata Wi Thian-bing terpantul di tempat jauh, seolah-olah dia melihat pula lembah pegunungan nan indah permai itu, seperti menghadapi gadis rupawan yang sedang keluar dari air.

"Waktu itu diapun masih amat muda, rambutnya yang panjang terurai berwarna hitam legam, halus mengkilap, laksana benang sutra layaknya, terutama sepasang matanya yang jeli bening, selama hidupku belum pernah aku saksikan sepasang mata perempuan seindah dan seelok kedua matanya itu. Seperti orang linglung aku mengawasinya dengan kesima, seolah-olah aku sudah kehilangan kesadaran."

"Semula kelihatannya dia amat gugup dan malu serta marah, namun lambat laun gejolak hatinya mulai reda, kami lantas beradu pandang tanpa bersuara. Begitulah entah berapa lamanya kami beradu pandang tanpa berkesip, tiba-tiba terkulum senyuman mekar pada mukanya, bak kuntum kembang yang paling elok di seluruh jagat ini, mekar bersama pada raut mukanya."

"Tanpa sadar aku maju menghampirinya, tak kusadari bahwa di depanku adalah jambangan, lupa bahwa aku mengenakan sepatu. Boleh dikata apapun sudah kulupakan, hanya satu keinginanku, memeluknya........"

Hadirin yang mendengarkan mengunjuk rasa iri dan kepingin, mereka lantas membayangkan adegan mesra dan hangat serta hot.

Lama sekali baru Wi Thian-bing menghela napas, melanjutkan ceritanya: "Sejak permulaan kita tidak pernah mengucapkan sepatah kata, jadi siapa nama masing-masing kami tidak pernah saling tanya. Semua kejadian berjalan secara wajar, tanpa paksaan sedikitpun, tidak kikuk-kikuk, seolah-olah Yang Maha Esa memang sudah mengatur pertemuan kami berdua di tempat yang sepi itu."

"Setelah cuaca menjadi gelap seluruhnya, waktu dia hendak pergi, baru aku tahu siapa dia sebetulnya, karena pada waktu itu aku menemukan di atas jidatnya yang tertutup rambut, terukir sekuntum kembang teratai yang hitam, itulah pertanda khas Lam-hay-nio-cu. Di saat aku kaget keheranan, tanpa sadar aku melakukan kesalahan yang akan menjadi penyesalan besar seumur hidupku. Tanpa terasa tercetus namanya dari mulutku. Seketika sikapnya berubah, wajahnya nan ayu lembut seketika dilambari nafsu membunuh yang berkobar, dia menyerangku dengan Toa-thian-mo-jiu, ilmu kepandaian yang paling menakutkan dari Mo Kau, seakan-akan dia hendak mengorek keluar jantungku."

"Aku tidak berkelit, kenyataan memang aku tidak mampu berkelit. Waktu itu aku merasa dapat mati ditangannya sungguh merupakan suatu hal yang membahagiakan hidupku. Mungkin karena sikapku ini, dia tidak tega turun tangan, sebetulnya sudah terasa olehku jari-jari tangannya yang runcing halus itu menusuk dadaku, aku sudah pejam mata menunggu ajal."

"Akan tetapi, dia menarik tangannya, waktu aku membuka mata pula, bayangannya sudah hilang. Tabir malam sudah menyelimuti lembah gunung itu, namun pemandangan lembah gunung itu tetap kelihatan indah permai, namun dia menghilang begitu saja seperti di tiup angin lalu. Seperti baru sadar dari mimpi, jikalau dadaku tidak mencucurkan darah, sungguh aku tidak percaya bahwa yang kualami itu memang kenyataan."

"Aku berlutut di atas tanah, mohon dia kembali, supaya aku dapat melihatnya sekali lagi, namun aku tahu dia tak mungkin kembali. Oleh karena itu aku lantas bersumpah, asal aku bisa bertemu sama dia pula, apapun yang dia perintahkan pasti takkan kutolak. Akan tetapi sejak hari itu, untuk selamanya aku tak pernah melihatnya lagi, selamanya tak........" suaranya semakin lirih, lalu diakhiri dengan hembusan napas panjang.

Itulah cerita yang elok, memilukan dan penuh diliputi suasana khayal dan misterius. Begitu indahnya sehingga kedengarannya mirip dongeng. Tapi hadirin tahu cerita ini bukan impian, juga bukan dongeng. Asal kau mengawasi mimik perubahan muka Thi Koh dan Wi Thian-bing, maka kau akan tahu bahwa cerita ini adalah kenyataan. Raut muka Thi Koh yang semula dingin kaku dan bengis, kini berubah seperti diliputi kepedihan, kaget dan heran.

Demikian pula rona muka Sim Koh ikut berubah. Hanya patung Koan-im Posat yang membawa setangkai dahan pohon Yang-liu masih tetap tersenyum di antara kepulan asap dupa.

Entah berapa lama kemudian, Wi Thian-bing sudah tenang kembali, katanya dingin: "Oleh karena itu aku tahu Lam-hay-nio-cu sudah meninggal, akupun tahu dari Mo Kau ada semacam kepandaian bicara dari perut, dengan menggunakan patung ini, kalian ingin menggertak aku, sungguh terlalu jenaka kalian."

Sim Koh tiba-tiba berkata: "Benar, memang kami bicara meminjam patung Koan-im ini, tapi apa yang kuucapkan sama saja hasilnya."

"Hasil apa?" tanya Wi Thian-bing.

"Jikalau kau masih ingin mengincar Siangkwan Siau-sian, aku tanggung kau akan menyesal."

Wi Thian-bing tertawa gelak-gelak, katanya: "Sejak umur tiga puluh Wi-pat mengembara, selama lima enam puluh tahun berkecimpung di kalangan Kang-ouw, sampai sekarang belum pernah aku menyesal lantaran sesuatu yang pernah kulakukan."

"Jadi kau bertekad merebutnya?"

"Harapanku supaya kalian membagi semangkok nasi kepada orang banyak, jangan kau monopoli sendiri."

"Baik! Mengingat hubunganmu dengan Cosuya kita dahulu, sekarang masih kuberi kesempatan kepadamu untuk keluar dengan masih hidup."

"Selanjutnya?" tanya Wi Thian-bing.

"Setelah kau keluar dari rumah ini, selanjutnya kau adalah musuh besar Lam-hay-bun kita, maka kuanjurkan lekas kau persiapkan urusan belakangmu, mungkin sembarang waktu jiwamu bisa melayang."

Tawar suara Wi Thian-bing: "Mengingat hubunganku dengan Lam-hay-nio-cu dulu, aku tidak akan menindas orang muda, apalagi terhadap kalian, hanya............."

"Hanya apa?"

"Jikalau kalian benar-benar menentang kehendakku, belum tentu kalian bisa berumur panjang." dengan tertawa dingin tiba-tiba dia mencelat bangun, katanya kepada Bak Pek: "Pertikaian kita sementara ini biarlah dianggap lunas, sejak sekarang kau lawan atau temanku, terserah kepadamu sendiri." habis bicara tanpa berpaling lagi dia beranjak keluar.

ooo)O(ooo

Kabut tebal hawa dingin, jagat raya diliputi kepekatan malam.

Menyongsong angin malam dingin, Wi Thian-bing menghirup napas panjang, mendadak dia berseru: "Han Tin!"

Han Tin selalu membuntutinya, sahutnya: "Ada!"

"Tahukah kau di mana letak Biau-hiang-wan?"

"Sekarang juga kita sedang ke sana."

"Turun tangan dulu lebih menguntungkan, tentunya kau pernah dengar perkataan ini."

"Tapi Yap Kay......"

"Yap Kay kenapa?"

"Sekarang Yap Kay tentu sudah bersiaga, jikalau sekarang kita menggunakan kekerasan, peduli siapa kalah atau menang, jelas kedua pihak akan mengalami rugi, bukankah pihak lain akan memungut hasilnya?"

"Siapa bilang kita hendak bentrok sama dia?"

"Jadi bukan?"

"Sudah tentu tidak." terunjuk senyuman licik selicin rase di ujung mulutnya, katanya: "Secara baik-baik kita ke sana memberikan kabar, langsung bersahabat dengan dia."

Bersinar mata Han Tin, katanya tersenyum: "Karena dulu Siau-li Tham-hoa pernah menanam budi kepada kita, kedatangan kita bukan mencari setori, tapi untuk membalas budi."

"Sedikitpun tidak salah."

"Bahwa Lam-hay-nio-cu sudah meninggal, orang lain tidak perlu dibuat kuatir, kita harus menghasutnya supaya menggunakan kesempatan baik ini, turun tangan lebih dulu menyingkirkan orang-orang yang punya maksud jahat terhadapnya."

"Dia orang cerdik pandai, pasti gampang diberi pengertian."

"Apalagi kita masih bisa menjadi tulang punggungnya, peduli siapa yang ingin dia bunuh, kami siap bantu dia angkat golok."

Wi Thian-bing tertawa gelak-gelak, serunya: "Bagus, kau semakin pintar dan tahu urusan, tidak sia-sia kau ku didik selama ini."

Mereka sudah memasuki hutan, hembusan angin membawa serangkum bau harum semerbak. Di tengah kabut tebal di depan sana, tiba-tiba muncul sesosok bayangan orang.

"Siapa di sana?" bentak Wi Thian-bing.

"Inilah aku!" sahut orang itu beranjak maju sambil menunduk, kiranya Sebun Cap-sha.

Seketika Wi Thian-bing menarik muka, bentaknya: "Siapa suruh kau kemari?"

"Tecu ada urusan penting yang perlu kulaporkan kepada kau orang tua," sahut Sebun Cap-sha.

"Urusan apa?"

Sebentar Sebun Cap-sha ragu-ragu, lalu maju mendekat: "Aku tahu Yap Kay......." suaranya mendadak menjadi lirih.

Terpaksa Wi Thian-bing maju mendekat.

Selama hidupnya entah berapa banyak orang yang pernah dibunuhnya, setiap waktu selalu bersiaga kuatir dibunuh orang, namun sekarang mimpipun tak terpikir olehnya, murid terkecil yang paling di sayang ini sudah mempersiapkan sebatang golok untuk menusuk ke dadanya.

Badan kedua orang sudah berhadapan dekat sekali, Wi Thian-bing menyentaknya pula: "Ada urusan apa lekas katakan!"

Terpaksa Sebun Cap-sha menjawab: "Aku ingin kau mampus!"

Mendengar kata 'mampus' baru Wi Thian-bing benar-benar tersentak kaget, namun berkelitpun sudah tidak keburu lagi. Tahu-tahu sebatang golok dingin sudah menusuk lewat jaket kulitnya amblas ke dalam dadanya. Sampai bagaimana rasanya kematian itu seperti sudah dinikmatinya. Untung pada saat-saat gawat itu mendadak Sebun Cap-sha juga menjerit ngeri dan roboh terkapar.

Golok di tangannya berkilauan berlepotan darah segar, darah Wi Thian-bing. Baru sekarang Wi Thian-bing bergetar menahan sakit, baru sekarang dia benar-benar ketakutan menghadapi ajal. Dilihatnya Sebun Cap-sha terlentang di atas salju, biji matanya melotot, kuping, hidung dan mata serta mulutnya mendadak mengucurkan darah segar berbareng, darah yang hitam kental.

Waktu Wi Thian-bing berpaling ke arah Han Tin, Han Tin berdiri terkesima saking kagetnya. Jelas kematian Sebun Cap-sha bukan hasil karyanya, lalu siapakah yang turun tangan secara gelap menolong jiwa Wi Thian-bing? Tak sempat dia memikirkan hal ini.

Di tengah kabut tebal dalam hutan, setiap jengkal mengandung hawa pembunuhan yang tebal pula.

Dengan mendekap luka-luka di dadanya Wi Thian-bing banting kaki serta memberi perintah dengan suara berat: "Lekas mundur!"

Mendadak seseorang berkata: "Berdirilah, jangan bergerak, kalau racun di atas golok itu bekerja, jiwamu takkan tertolong lagi."

Suaranya merdu dan genit, maka muncullah sesosok bayangan orang bagai setan gentayangan dari kabut tebal, ternyata adalah Thi Koh.

"Barusan kaukah yang menolong aku?" tanya Wi Thian-bing terbelalak heran.

Thi Koh manggut-manggut.

"Yang suruh dia membunuhku juga kau?" tanya Wi Thian-bing pula.

Thi Koh manggut-manggut pula.

Wi Thian-bing menyurut mundur dua langkah, gemetar: "Jadi kau...........kau.........apakah kau adalah........." agaknya dia tidak berani mengatakan adalah putriku.

Ternyata Thi Koh tidak menyangkal, sorot matanya menampilkan rasa kaku, katanya kemudian: "Selama hidupnya, hanya kau laki-laki yang pernah dimilikinya."

Wi Thian-bing menyurut dua langkah lagi, sekujur badannya gemetar, selama hidupnya Lam-hay-nio-cu hanya mempunyai seorang suami yaitu dirinya. Hatinya entah sedih, haru, heran ataukah senang?

Berkaca-kaca Thi Koh, katanya: "Oleh karena itu aku tidak akan berpeluk tangan melihat jiwamu terancam."

Memangnya manusia mana di dunia ini yang tega melihat ayahnya mati dibunuh orang.

Apa benar dia putri kandungnya? Hampir Wi Thian-bing tidak berani percaya, namun tidak bisa tidak dia harus percaya.

Dengan nanar dia pandang mukanya, suatu hal yang menjadi penyesalan seumur hidup adalah dia tidak punya keturunan, siapa tahu menjelang hari tuanya, mendadak muncul seorang perempuan yang mengaku sebagai anaknya, anak yang begini cantik, yang patut dibuat bangga. Tanpa terasa berlinang air matanya, terlupakan olehnya bahwa barusan dia membuat rencana untuk membunuhnya, meminjam tangan orang lain.

Darah lebih kental dari air, binatang buas seperti harimaupun tak pernah makan anaknya sendiri, apalagi manusia. Dengan gemetar, tangan Wi Thian-bing terulur, seakan-akan dia ingin mengelus kepala putrinya, meraba raut mukanya, tapi dia tidak berani. Pada saat itulah dari luar hutan menerjang masuk seseorang yang mengawasinya dengan pandangan kejut dan terkesima, ternyata Sim Koh pun menyusul datang.

Thi Koh menghela napas, katanya: "Sebetulnya kau tak usah kemari."

Dengan kencang Sim Koh gigit bibirnya, mendadak dia berkata dengan suara keras: "Kenapa tidak boleh kemari? Jikalau benar dia ayahmu, berarti kakekku pula, kenapa aku tidak boleh menemui kakekku?"

Wi Thian-bing tertegun, kiranya bukan saja dia sudah punya anak, malah sudah punya cucu. Darah sekujur badannya serasa mendidih, hampir tak tertahan ingin dia menggembor sekeras-kerasnya. Sigap sekali mendadak Sim Koh turun tangan membalikkan badan, sehingga tidak terduga sama sekali, dalam sekejap tujuh Hiat-to di dadanya sudah tertutuk.

Han Tin hanya melongo di tempatnya, sedikitpun dia tidak memberi reaksi. Melihat Sim Koh turun tangan, hendak menolongpun dia sudah tak sempat lagi. Siapa tahu Sim Koh malah membimbing Wi Thian-bing, katanya: "Golok itu sudah berlepotan darah, tentunya dia sudah keracunan, lekas gendong dia dan ikuti aku." Kiranya tutukan Hiat-to yang dia lakukan adalah untuk menolong jiwa Wi Thian-bing.

Han Tin menghela napas, apa yang dia saksikan dan dia dengar hari ini, untuk selama hidupnya takkan pernah dilupakan. Sebesar ini dia hidup, belum pernah dia alami peristiwa aneh seperti ini.

ooo)O(ooo