Ting Ling siap-siap mengencangkan pakaiannya yang serba hitam dan ketat, namun dia tidak sempat menghabiskan araknya yang terakhir, sorot matanya berkilau, lenyap senyum tawa yang biasa menghias wajahnya. Dalam waktu singkat, seolah-olah dia berubah menjadi orang lain. Kini dia bukan lagi pemuda bajul yang suka keluyuran, sikapnya tampak prihatin dan tabah, kelihatannya amat menakutkan.

Dengan nanar Sebun Cap-sha mengawasi temannya yang satu ini, matanya menampilkan mimik yang aneh, seperti kagum juga kepingin, namun seperti merasa jelus dan cemburu pula.

Ting Ling berkata: "Lebih baik kalau kau menungguku di sini, dalam waktu satu jam aku pasti kembali."

Tiba-tiba Sebun Cap-sha tertawa, katanya: "Bagaimana kalau kau tidak kembali?"

Ting Ling tertawa, ujarnya tawar: "Kalau begitu kedua cewek itu milikmu, bukankah kau sudah punya angan-angan demikian?." belum habis bicara, badannya sudah melesat keluar, seperti walet hitam yang terbang di malam gelap, belum lenyap suaranya, bayangannya sudah ditelan kegelapan entah kemana.

Sebun Cap-sha duduk melamun seorang diri, lama dia tidak bergerak. Sebetulnya dia beranggapan bahwa ilmu silatnya tidak asor di banding jago silat kenamaan di kang-ouw, baru sekarang dia menyadari bahwa pikirannya meleset. Kenyataan pemuda tingkatannya sekarang jauh lebih menakutkan dari apa yang pernah dia bayangkan. Tanpa sadar tangannya terangkat mengelus muka sendiri yang masih bengap, sorot matanya seketika mengunjukkan derita yang mengetuk sanubarinya.

Sang kakak sebetulnya sudah mendengkur, tiba-tiba membalik badan terus memeluk pahanya. Sebun Cap-sha tidak bergerak. Sang kakak bukan miliknya, hanya adiknyalah yang menjadi kawan mesumnya. Tak nyana sang kakak menggigit pahanya dengan gregetan, sudah tentu sakitnya bukan main. Tapi derita yang terunjuk pada sorot mata Sebun Cap-sha tiba-tiba sirna. Disadari olehnya, untuk mengalahkan seseorang bukan hanya mengandalkan kepandaian silat. Tiba-tiba senyuman manis menghias wajahnya, dengan senyum lebar, dia tenggak habis arak yang ditinggalkan Ting Ling tadi, dan.........

ooo)O(ooo

Yang terdengar di Thing-siu-lau bukan deru ombak di lautan, tapi deru bambu. Di dalam Leng-hiang-wan kecuali ditanam laksaan pucuk kembang Bwe, juga terdapat ratusan pucuk cemara dan ribuan pucuk bambu yang lebat. Di luar Thing-siu-lau itulah hutan bambu laksana lautan lebatnya.

Ting Ling mendekam di tempat gelap di luar hutan bambu. Pelan-pelan dia membuka sebuah kantong kulit yang semula diikat di pinggangnya, dari dalam kantong dia mengeluarkan sebuah bumbung semprotan.

Di dalam bumbung semprotan di isi minyak kental warna hitam, hasil barter dengan para gembala di tapal batas Tibet dengan garam. Pelan-pelan dia putar dulu tutup bagian ujung bambu itu, kebetulan ada angin menghembus, pelan-pelan ia mulai semprotkan minyak hitam dalam bumbung secara teliti dan rata. Maka semburan minyak yang merata halus itu laksana kabut hitam terhembus angin menyiram ke arah Thing-siu-lau. Gerakannya pelan dan hati-hati, dia simpan bumbung semprotan itu, lalu mengeluarkan puluhan butir pelor sebesar buah kelengkeng, dengan kekuatan dua jarinya dia jentik satu persatu pelor-pelor ini ke atap rumah di seberang sana.

Sekonyong-konyong terdengar "Blup...!" seluruh atap Thing-siu-lau tiba-tiba menjadi lautan api, kobaran api yang menyala setinggi tiga tombak.

Kebetulan dari kejauhan terdengar suara kentongan, ternyata tepat pada jam 24.00 tengah malam. Tapi suara kentongan di telan suara jerit kaget orang-orang di sekitarnya.

"Api! Kebakaran!" puluhan orang berlari ke luar dari Thing-siu-lau, kobaran api amat ganas dan mengamuk makin besar, seorang yang tenang dan tabahpun takkan berpeluk tangan.

Di saat gawat dan ribut itulah Ting Ling sudah menyelundup masuk seenteng asap ke sebuah kamar dari jendela di belakang loteng. Langsung menembus ke sebuah ruang kecil yang dipajang amat serasi, suasana tenang sunyi tak kelihatan bayangan orang.

Mendadak Ting Ling berteriak keras: "Api! Ada kebakaran!". Tiada orang keluar dan tiada reaksi. Sigap sekali Ting Ling dorong pintu menerjang masuk ke kamar sebelah, soalnya dia belum tahu di kamar mana Lam-hay-nio-cu meyakinkan ilmunya, maka gerak-geriknya harus cepat dan tangkas. Maklum, dia harus mengadu untung dan nasib.

ooo)O(ooo

Ternyata nasibnya tidak jelek, daun pintu ketiga ternyata diganjel dari dalam, segera dia keluarkan golok terus menyungkil dari luar. Kiranya kamar ini adalah ruang pemujaan. Asap mengepul wangi dari tempat pembakaran dupa, sehingga suasana ruang pemujaan ini bertambah hikmat, mengandung kekuatan magis.

Sekilas pandang Ting Ling tidak mendapatkan bayangan orang di sini. Tapi Ting Ling yang cerdik tidak habis pikir, sebuah ruang pemujaan yang berpalang dari dalam masa tanpa penghuni, maka tanpa banyak pikir segera dia segera menerjang masuk, sekali raih langsung dia tarik kain gordyn bagian belakang tempat pemujaan. Seketika dia berdiri menjublek.

Di belakang gordyn ada empat orang. Empat orang yang mengenakan jubah hijau panjang dari sutra, rambut kepalanya tersanggul di atas kepala, mengenakan topeng yang terbuat dari ukiran kayu cendana. Dandanan ke empat orang ini sama, duduk bersimpuh tidak bergerak, sinar api yang berkobar-kobar di luar loteng menyinari muka mereka yang menyeringai sadis, menambah suasana jauh lebih seram dan menggiriskan.

Ke empat orang ini mungkin Lam-hay-nio-cu, padahal Lam-hay-nio-cu hanya ada satu. Ting Ling insyaf kesempatan baik tak terulangi lagi, maka dia berkeputusan untuk menyerempet bahaya. Sigap dia menubruk maju, merenggut topeng orang terdekat.

Di belakang topeng adalah seraut wajah halus putih ayu molek, bulu matanya yang panjang dengan alis melengkung laksana bulan sabit menaungi matanya yang meram. Siapapun akan tahu gadis ayu ini belum genap dua puluh tahun, Lam-hay-nio-cu tidak mungkin semuda ini.

Ting Ling menarik topeng kedua, ternyata orang ini laki-laki, mukanya kasar pula. Lam-hay-nio-cu terang bukan laki-laki. Orang ke tiga kelihatan masih muda, namun ujung matanya dihiasi keriput seperti ekor ikan. Sedang orang ke empat adalah nenek tua yang peyot dan penuh keriput.

Kembali Ting Ling menjublek. Belum berhasil menemukan wajah yang ingin dia lihat, padahal dia tak boleh terlalu lama di tempat ini. Begitu putar tubuh, cepat sekali badannya mencelat, sekilas ujung matanya sempat melihat tangan laki-laki penuh brewok itu bergerak. Tahu gelagat jelek, sigap sekali reaksinya, tapi luar biasa cepat orang ini turun tangan. Baru saja tangan orang bergerak, tahu-tahu pinggangnya dirangsang rasa sakit seperti ditusuk jarum besar. Kontan badannya tersungkur jatuh.

ooo)O(ooo

Ruang pemujaan itu tetap hening, asap dupa masih mengepul menjadikan ruang itu harum semerbak membangkitkan semangat orang. Kobaran api di luar sudah padam sewaktu Ting Ling membuka mata, didapati dirinya berpakaian perempuan, saking terkejut, tangan segera terulur meraba kepala, ternyata rambutnya sekarang sudah berubah, tersanggul dengan mode yang paling digemari kaum remaja jaman itu, pakai tusuk kundai dan perhiasan segala.

Hong-long-kun Ting Ling sejak berusia tujuh belas sudah berkelana di Kang-ouw, dalam tiga tahun, namanya sudah menjulang tinggi dan disegani oleh kaum muda persilatan. Kaum persilatan tahu, Ginkang-nya amat tinggi, dia cerdik pandai, tapi juga luar biasa tabah dan beraninya. Tapi kali ini dia sendiri berjingkrak kaget. Sayang dia tak mampu bergerak karena bagian bawah pinggangnya lemah lunglai tak mampu bergerak. Seketika hatinya lemas, badanpun berkeringat dingin.

Di tempat pemujaan bercokol tinggi Koan-im Posat, tangannya memegangi sebatang dahan pohon Liu yang piranti menolong umat manusia. Patung Koan-im Posat sedang mengawasi dirinya dengan tersenyum penuh arti. Di tengah kepulan asap dupa yang semakin tebal, senyumnya itu terasa aneh dan menyembunyikan maksud-maksud tertentu. Tiba-tiba terasa oleh Ting Ling raut muka Koan-im Posat itu mirip pinang di belah dua dengan wajah gadis ayu di belakang topeng tadi. Apakah gadis ayu tadi Lam-hay-nio-cu?

Tapi orang yang meringkus dirinya adalah laki-laki brewok kasar itu, semula dia menduga Lam-hay-nio-cu menyamar laki-laki muka kasar, tapi sekarang dia bingung dan tak habis mengerti, sampai berpikirpun tak berani membayangkan lagi. Dia takut bila hal itu terlalu dipikirkan, bukan mustahil dirinya jadi gila.

Untunglah pada saat itu ruang pemujaan itu pelan-pelan membuka, seseorang beranjak masuk sambil mengulum senyum aneh yang misterius, mirip Koan-im Posat di atas pemujaan itu.

Ting Ling celingukan, dari wajah Koan-im Posat di atas pemujaan lalu berpaling mengawasi orang yang baru masuk ini, tiba-tiba dia menghela napas, matanya terpejam. Wajah gadis jelita ini ternyata mirip wajah Koan-im Posat. Dia tidak ingin melihatnya lebih lama, kuatir jadi gila. Sayang sekali meski dia sudah pejamkan mata, tak urung dia sudah hampir gila dibuatnya.

Sementara itu gadis jelita sudah beranjak ke depannya, katanya tiba-tiba: "Hari ini elok benar sisiran sanggulmu, siapakah yang menyisirnya?"

Tak tahan Ting Ling melotot padanya, katanya: "Memangnya aku ingin tanya kau siapa yang mendandan dan menyanggul rambutku?"

Kelihatan gadis itu melengak heran, tanyanya: "Masa kau sendiri tidak tahu?"

"Darimana aku bisa tahu?"

"Masakah sedikitpun tidak teringat olehmu?"

Ting Ling tertawa getir, sahutnya: "Bagaimana aku bisa ingat, perasaan aku tidak punya, umpama kau pukul pecah kepalaku, tetap tak bisa menebak siapakah orang yang menyulap diriku menjadi perempuan."

Semakin kaget dan heran gadis jelita ini, katanya: "Apa? Kau tuduh kami yang mendandani kau jadi begini? Masa kau lupa bahwa sebetulnya kau memang perempuan?"

Tak tahan Ting Ling berteriak: "Siapa bilang aku perempuan?"

Gadis itu melongo dan mengawasi dengan terbelalak, mimiknya mirip gadis yang berhadapan dengan orang gila.

Tak tahan Ting Ling berkata pula: "Kalau kau mengatakan aku mirip perempuan, tentu kau gila."

Gadis itu menghela napas, ujarnya: "Bukan aku yang gila, tapi kau!" tiba-tiba dia berpaling dan berseru: "He...., lekas kemari dan lihatlah, kenapa Ting-siau-moay berubah menjadi begini?"

Ting-siau-moay? Hong-long-kun Ting Ling tiba-tiba berubah menjadi Ting-siau-moay? Ingin Ting Ling tertawa, namun kulit mukanya kaku, ingin menangis diperaspun air mata tidak keluar.

Tampak dari luar beranjak masuk lima perempuan, satu di antaranya nyonya pertengahan umur yang tadi bertopeng. Ternyata dia inilah Thi Koh, karena gadis di depannya sedang memanggilnya.

"Thi Koh, lekas kemari dan lihatlah, tadi Ting-siau-moay masih baik-baik saja, kenapa sekarang berubah.....berubah begini?"

Thi Koh mengamati Ting Ling katanya tersenyum: "Bukankah selintas pandang dia masih baik? Malah rambutnya disisir lebih elok dari biasanya."

"Tapi.......", gadis itu ragu-ragu, "Dia tidak mengakui bahwa dirinya seorang perempuan."

Sedapat mungkin Ting Ling berusaha mengekang diri, dia insyaf keadaan seperti sekarang, dirinya harus berkepala dingin dan tabah hati. Tapi tak tahan dia tetap membantah: "Memangnya aku bukan perempuan?"

Tiba-tiba Thi-koh menghela napas, katanya: "Aku dapat memahami perasaanmu, adakalanya aku sendiripun mengharap aku ini bukan perempuan, di dalam dunia, perempuan memang sering dirugikan."

Ting Ling menghela napas, katanya: "Sebetulnya aku tidak menentang perempuan, tapi sejak dilahirkan kodrat menentukan aku adalah laki-laki, barusan aku masih seorang laki-laki." Sesungguhnya dia sudah menekan perasaan dan bersabar untuk mengendalikan diri.

Maka Thi Koh menampilkan rasa heran dan tak mengerti, tiba-tiba dia berpaling tanya kepada yang lain: "Sejak kapan kalian kenal Ting-siau-moay?"

"Sudah dua tiga bulan." sahut perempuan-perempuan itu bersama.

"Apa dia laki-laki, atau perempuan?"

"Sudah tentu perempuan," sahut orang-orang sambil cekikikan, "kalau Ting-siau-moay laki-laki, kita bisa celaka tidur sekamar dengan dia."

Terasa oleh Ting Ling kulit mukanya menghijau kaku, namun dia tetap bersabar, katanya: "Sayang sekali aku bukan Ting-siau-moay yang kalian kenal."

Dengan mengulum senyum Thi Koh bertanya: "Lalu siapa kau ini?"

"Aku she Ting, bernama Ling."

"Aku tahu kau bernama Ting Hung-pin."

"Bukan Ting Hun-pin, tapi Ting Ling."

"Bukan Ting Ling, tapi Ting Hun-pin. Kenapa namamu sendiri sudah kau lupakan?"

Gadis yang mirip Koan-im Posat tiba-tiba tertawa, katanya: "Untung suara bicaranya belum berubah, siapapun bisa mendengar bila dia memang perempuan tulen."

Ting Ling tertawa dingin, jengeknya: "Siapapun bisa membedakan bahwa aku adalah lela....." suaranya tiba-tiba berhenti, keringat dingin gemerobyos. Tiba-tiba disadarinya bahwa suaranya memang berubah, berubah nyaring melengking, mirip suara perempuan. Apa benar aku tiba-tiba-tiba berubah jadi perempuan? Rasa takut merangsang hatinya.

Dia coba menggerakkan setiap jengkal kulit daging badannya, sayang selewat pinggang ke bawah, ternyata kaku dan pati rasa. Ingin ulur tangan meraba ke bagian itunyapun sungkan, maklum di hadapan sekian banyak perempuan, tak berani dia bertindak kasar dan melakukan rabaan yang memalukan.

Thi Koh tetap mengawasinya, sorot matanya menampilkan rasa iba dan simpatik, katanya lembut: "Belakangan ini hatimu kurang enak, terlalu banyak minum lagi, tak heran kalau kau melupakan diri sendiri, apalagi kejadian masa lalu memangnya sudah tidak ingin kau pikirkan lagi."

Terpaksa Ting Ling bungkam dan mendengarkan saja.

"Tapi kita bisa memberi peringatan kepadamu, kejadian masa lalu amat menyedihkan, tapi kalau semua itu sudah terlupakan, terhadap dirimu takkan membawa manfaat."

Akhirnya Ting Ling menghela napas, ujarnya: "Baik, silahkan kau bicara, aku sedang mendengarkan."

"Kau bernama Ting Hun-pin," ujar Thi Koh lebih lanjut, "seorang gadis cantik dan jelita, semula kau punya seorang kekasih atau pujaan hati yang baik sekali, tapi kalian bertengkar karena seseorang, maka kau berusaha bunuh diri terjun ke laut, untung Sim Koh menolong jiwamu."

Gadis yang senyumannya seperti Koan-im Posat ternyata bernama Sim Koh, dia segera menyambung: "Untung aku cepat menarikmu, kalau tidak, hari itu kau sudah kecemplung ke laut."

Ting Ling kertak gigi, tanpa bersuara. Mendadak dia amat takut dan ngeri mendengar suaranya sendiri.

"Kekasihmu itu she Yap, bernama Kay, dia......." Thi Koh mengoceh.

Yap Kay. Mendengar nama ini, serasa meledak jantung Ting Ling. Sekonyong-konyong segala sesuatu menjadi terang baginya. Dia insyaf bahwa dirinya jatuh oleh tipu daya keji, misterius dan lihay. Jelasnya tipu daya atau muslihat ini sebetulnya dipersiapkan untuk menghadapi Yap kay, namun dirinyalah yang menjadi kambing hitamnya tanpa dia sadari sebelumnya.

Apa yang diocehkan Thi Koh, bahwasanya tidak didengarnya lagi, dia memusatkan sekuat daya pikirnya. Dia harus berusaha lolos dari belenggu tipu daya yang mengekang dan melibatkan dirinya, tapi dia tahu hal ini bukan mustahil, namun sulit sekali.

Sang waktu rasanya sudah berselang lama, namun ocehan Thi Koh masih juga belum berhenti. Karena ceritanya diulang beberapa kali, seperti hendak paksakan Ting Ling menerima dan mengingat peristiwa yang menimpa dirinya.

"Kekasihmu itu bernama Yap Kay, dia putra Tong-cu Sin-to-tong yang masih muda belia, tapi belakangan dia diberikan kepada keluarga Yap."

"Sementara ayahmu bernama Ting Jun-hong, bibimu bernama Ting Pek-hun, semula adalah musuh besar keluarga Yap, tapi belakangan Yap Kay berhasil menghapus permusuhan kedua keluarga ini, hubungan cinta kalian justru makin erat dan mendalam."

"Sebelum ketemu dia kau sudah bersumpah tak mau kawin, demikian pula dia takkan mempersunting gadis lain kecuali kau, tapi tahu-tahu muncullah seorang gadis jelita yang bernama Siangkwan Siau-sian."

"Gadis yang bernama Siangkwan Siau-sian ini khabarnya adalah putri dari Kim-cie Pangcu Siangkwan Kim-hong yang pernah menggetarkan Kang-ouw itu. Dia dilahirkan oleh Lim Sian-ji perempuan tercantik pada masa dulu yang tiada bandingannya. Memang kecantikan Lim Sian-ji melebihi bidadari, tapi kerjanya justru menjebloskan laki-laki ke dalam neraka. Maka anak yang dilahirkanpun mengikuti jejak ibunya, jahat, kotor dan sadis. Hubunganmu pecah dengan Yap Kay gara-gara dia, maka jangan kau lupakan peristiwa ini. Sekali-kali jangan melupakannya."

Ting Ling mendengar orang mengucapkan sekali dan diulang sekali hingga berulang kali, tiba-tiba disadari bukan saja pikiran sendiri tidak bisa tentram, malah seperti terkekang dan terkendali oleh ocehan orang. Sekonyong-konyong timbul dalam benaknya kebencian yang luar biasa di dalam sanubarinya terhadap gadis yang bernama Siangkwan Siau-sian. Hampir saja dia sudah mengakui bahwa dirinya memang benar Ting Hung-pin adanya, mengakui bahwa dirinya memang perempuan.

Asap dupa terus mengepul memenuhi udara hingga ruang pemujaan itu semakin gerah, asap dupa mengikuti keluar masuk pernapasannya, merangsang otaknya. Lama-kelamaan dia menjadi tak kuasa kendalikan diri dan tak punya daya pikir untuk membedakan salah benar dan baik atau buruk.

Thi Koh terus mengawasinya, raut mukanya menampilkan senyum sinis yang aneh, pelan-pelan dia berkata pula: "Kau bernama Ting Hun-pin, gadis remaja yang amat cantik sekali, kau......."

Mendadak dengan sisa tenaganya Ting Ling gigit bibirnya sekeras-kerasnya, rasa sakit seketika menyadarkan otaknya. Kontan dia menggerung keras: "Tak usah omong lagi, aku sudah tahu apa maksudmu."

"Apa benar kau sudah mengerti?" tanya Thi Koh tersenyum.

"Tentunya aku mirip dengan Ting Hun-pin, oleh karena itu kalian hendak memperalat aku untuk mencelakai Yap Kay."

"Lho, kau memang Ting Hun-pin."

Ting Ling tertawa dingin: "Sebetulnya kau tak perlu membuang tenaga, apa yang kalian ingin aku lakukan, akan kulakukan dengan baik."

"Oh, apa benar?"

"Benar! Tapi kalianpun harus berjanji untuk melakukan beberapa persoalanku."

"Silahkan berkata."

"Pertama aku menuntut penjelasanmu, secara kebetulan saja kalian menemukan wajahku seperti Ting Hun-pin, lalu mengatur tipu daya ini? Atau memang sejak semula kalian sudah mempersiapkan diri untuk menghadapi aku?"

Thi Koh tidak bersuara.

"Dan selanjutnya kalian harus membuka tutukan Hiatto-ku, beri kesempatan aku bertemu dengan Lam-hay-nio-cu. Setelah usaha ini berhasil, aku minta bagian satu prosen."

Tiba-tiba Thi Koh tertawa, katanya: "Sejak tadi Lam-hay-nio-cu sudah berada di sini, masakah kau tidak melihatnya?"

"Dimana dia?"

Sebuah suara yang merdu nyaring berkata kalem: "Aku ada di sini." ternyata patung Koan-im yang berada di tempat pemujaan terselubung gordyn itu yang bersuara.

(Bersambung ke Jilid-3