Dalam kuburan itu meskipun ada pelita, tetapi tidak ada orangnya, kacung yang adatnya aneh luar biasa, yang oleh sitabib terbang ditugaskan menjaga pintu, kini juga entah kemana perginya. Yang paling mengherankan ialah, peti mati tempat tidur sitabib terbang itu juga tidak tertampak lagi.
Apakah ditempat semacam itu juga ada pencuri yang datang menganggu?
Hong Sie Nio yang menyaksikan itu semua tertawa sendiri:
“Pencuri ini juga lucu sekali, ia apapun tidak mengambil, hanya mencuri peti mati, sekalipun dia sedang kematian, juga tidak perlu datang kemari......”

Ia tidak menghabiskan ucapannya itu, sebab dengan tiba-tiba ia menampak tubuh sitabib terbang sedang gemetaran, dan ketika ia memperhatikan mukanya, juga sedang mengucurkan keringat dingin.
Hong Sie Nio segera merasakan bahwa urusan ini agak tidak beres, maka lalu bertanya sambil mengerutkan alisnya:
“..., Peti matimu apakah ada rahasianya apa-apa?”.
Sitabib terbang menganggukkan kepala.
“Kukira kau tidak mungkin seorang pengumpul harta, sudah tentu tidak mungkin kau menyimpan harta bendamu yang berupa uang atau barang permata yang disimpan dalam peti matimu, kalau begitu......”
Matanya mendadak membelalak dan berkata lagi:
“Aku tahu kau tentunya mengira bahwa dalam dunia ini tidak akan ada orang yang berani peti matimu, maka kau menyimpan kitab ilmu tabib dan pelajaran ilmu silatmu didalam peti mati, supaya kalau kau mati bisa ikut dikubur bersama-samamu”.

Sitabib terbang kembali menganggukkan kepala, ia agaknya tidak mau mengatakan lagi.
Hong Sie Nio menghela napas dan berkata:
“Aku benar-benar tidak mengerti, kalian orang-orang ini mengapa selalu egoistis, mengapa tidak mau menurunkan pelajaran sendiri....”

Belum habis ucapannya, tiba-tiba terdengar suara orang menghela napas kacung penjaga pintu yang aneh itu sudah kembali berdiri di ambang pintu.
Akan tetapi sekujur tubuhnya sudah penuh darah, lengan tangan kanannya juga terkutung, sepasang matanya memandang sitabib terbang seperti sudah tidak bercahaya, dengan suara serak dan terputus-putus ia mengucapkan nama seseorang:
“Siauw Cap it-long!”.
Setelah mengucapkan perkataan itu, orangnya rubuh kekiri, sedang tangannya masih memegang sebuah sepatu, ia menggenggam demikian eratnya, sehingga matipun belum mau melepaskan.

Siauw Cap it-long, kembali nama Siauw Cap it-long disebut oleh kacung tadi.
Hong Sie Nio menjejakkan kakinya, katanya dengan suara gemas:
“Tak disangka dia..... dia telah berubah menjadi orang demikian. Aku selamanya juga tidak menduga ia bisa melakukan perbuatan demikian”.
“Ini tidak mungkin perbuatannya!”, berkata sitabib terbang.
Pandangan mata Hong Sie Nio kini ditujukan kepada sepatu itu.
Sepatu itu terbuat dari kulit sapi buatannya sangat indah dan halus, tetapi juga tidak sembarang orang yang dapat memakai sepatu semacam itu, biasanya hanya orang-orang sopan saja yang mengenakannya. Sedangkan pendekar-pendekar rimba persilatan yang mengenakan sepatu semacam itu jumlahnya juga tidak banyak.
Hong Sie Nio menghela napas panjang katanya:
“Dia sebetulnya tidak pernah memakai sepatu semacam ini, tetapi setan yang tahu dia sekarang sudah berubah bagaimana macamnya!”.
“Siauw Cap it-long selamanya tidak bisa berubah”, kata sitabib terbang.
Waktu itu meskipun Hong Sie Nio sedang cemberut mukanya, tetapi dibibirnya masih tersungging senyuman, katanya: “Ini benar-2 suatu kejadian yang sangat aneh, ia telah mengutungi kedua kakimu, mengapa kau sebaliknya malah masih membela padanya dengan mengucapkan perkataan baik begitu?”
“Dia datang mencari aku dengan cara yang sopan dan seperti laki-2 jantan, ia melukai aku secara jantan, aku tahu dia juga seorang jantan, tidak mungkin melakukan perbuatan serendah ini.” berkata si tabib terbang.
Hong Sie Nio menghela napas, baru berkata:
“Kalau demikian halnya, kau seolah-olah lebih mengerti padanya dari padaku. Akan tetapi, bocah ini sewaktu hendak menghembuskan napasnya yang penghabisan, mengapa menyebutkan namanya?”
“Bocah ini tidak mengenal siapa Siauw Cap It Long, tetapi sebaliknya kau mengenal dia, jikalau kau dapat mengejar pembunuh itu kau nanti akan tahu siapa adanya dia.”
“Bolak balik toh kau masih ingin minta aku pergi mengejar bangsat itu.”
Si tabib terbang menundukkan kepala dengan sikap duka mengawasi ke arah pahanya yang tidak mempunyai sambungan lagi ke bawah.
Di wajah Hong Sie Nio menunjukkan sikap simpatik, katanya:
“Baik aku nanti akan pergi mengejar hanya semata-mata untukmu, tetapi dapat menyandak atau tidak, aku sekarang tidak berani memastikan, kau tentunya tahu bahwa ilmu meringankan tubuhku tidak seberapa hebat, bukan?”
“Orang itu mengusung peti mati, pasti tidak bisa berjalan cepat, kalau tidak bocah ini juga tidak sampai mati. Bocah itu tentunya sudah dapat mengejar dan menyandak orang itu bahkan sudah berhasil memeluk kakinya.”
Hong Sie Nio berkata sambil menggigit bibir:
“Apa sebab dia mau mengaku bernama Siauw Cap-it-long? Apa sebab ia telah membunuh bocah ini? Jikalau tidak demikian sekalipun dia telah mencuri delapan ratus perti mati aku juga tidak akan pergi mengejar.”
Malam gelap keadaan dan suasana di tanah pegunungan sepi sunyi angin meniup kencang.
Hong Sie Nio selamanya tidak suka menggunakan ilmu lari pesatnya sambil melawan angin kencang, sebab ia takut angin meniup di mukanya bisa-bisa membuat kulitnya jadi keriputan.
Tetapi sekarang dia malah berlari sedemikian pesat sambil melawan angin kecang ini bukanlah disebabkan ia hendak atau ingin cepat-2 dapat menyandak pembunuh dari kacung si tabib terbang melainkan hendak menggunakan angin dingin dan kencang itu untuk menghapuskan bayangan orang di dalam hatinya.
Waktu pertama kali ia bertemu dengan Siauw Cap-it-long, Siauw Cap-it-long masih merupakan seorang pemuda yang baru meningkat dewasa, sewaktu itu Siauw Cap-it-long dalam keadaan setengah telanjang, melawan derasnya air yang mengalir, ia coba menerjang air yang turun dari air terjun.
Ia mencoba berkali-kali, tapi entah sudah berberapa kali mengalami kegagalan, sampai satu kali ia sudah hampir berhasil, tetapi kemudian terpukul oleh air yang terjun dengan derasnya sehingga tubuhnya menumbuk sebuah batu, dan darah mengalir dari kepala dan tubuhnya.
Namun demikian, luka-luka itu tidak dihiraukannya, bahkan dibalutpun tidak, sambil menggertak gigi ia kembali menerjang air deras itu dah kali ini ternyata berhasil, ia dapat mendaki sampai di puncaknya gunung, berdiri diatas bukit sambil tertawa dan tepuk-tepuk tangan.
Sejak saat itu, dalam hati Hong Sie Nio selalu ditempati oleh bayangan Siauw Cap-it-long
Betapapun kencangnya angin meniup, juga tidak dapat membuyarkan bayangan Siauw Cap-it-long.
Hong Sie Nio mengigigt bibir, hingga bibirnya dirasakan sakit, ia tidak ingin memikirkan orang itu, tetapi semakin ia tidak ingin memikirkan, bayangan itu semakin keras mengganggunya.
Dalam keadaan demikian, dengan tiba-tiba ia tampak bayangan orang sedang bergoyang-goyang tertiup angin.
Hong Sie Nio yang sedang terganggu pikirannya, apapun juga tidak melihat, ia lari sambil menundukkan kepala, dengan tiba-tiba seperti berpapasan dengan sebuah muka orang, dan yang aneh muka itu ternyata muka seorang yang melihat kebawah, dan dagunya menunjuk keatas, sepasang matanya yang penuh darah hampir melotot keluar, waktu itu sedang mengawasi padanya tidak berkesip, keadaan demikian benar-benar sangat menakutkan.
Betapapun besar nyalinya seseorang, kalau sudah menyaksikan muka yang demikian menakutkan, pasti akan terperanjat juga. Hong Sie Nio dalam keadaan terkejut mundur sampai tiga langkah, dan buru-buru angkat kepala.
Waktu itu ia baru liat bahwa orang tadi ternyata digantung sepasang kakinya diatas pohon, sekarang entah dalam keadaan masih hidup ataukah mati.
Baru saja Hong Sie Nio hendak menggunakan tangannya untuk meraba lubang hidungnya, sepasang biji mata orang itu sudah bergerak berputaran; sedang dari tenggorokannya mengeluarkan suara gelopakan seperti ingin bicara.
Hong Sie Nio lalu menegornya.
“Apakah kau dibokong orang?” Orang itu hendak menganggukan kepala juga tidak bisa, hanya kedip-kedipkan matanya dan berkata dengan suara terputus-putus:
“Berandal....berandal....”
“Kau ketemu dengan berandal?” bertanya pula Hong Sie Nio
Orang itu kembali mengedip-ngedipkan matanya:
Orang itu usianya belum tua, kumis dan jenggot diwajahnya habis dicukur, dibadannya mengenakan pakaian sangat perlente tapi wajahnya menunjukkan ia seorang buas dan jahat.
“Aku lihat kau sendiri mirip dengan berandal, jikalau aku menolongmu barangkali aku nanti malah kau rampok.” berkata Hong Sie Nio sambil tertawa.
Sepasang mata orang itu memancarkan sinar buas, namun ia masih berkata sambil tersenyum:
“Asal nona mau menolong aku nanti akan beri hadiah besar padamu.”
“Kau sendiri sudah dirampok habis-habisan, barang apa yang akan kau hadiahkan padaku?”
Orang itu tidak bisa membuka mulut lagi, sedang keringat dingin dikepalanya sudah mengucur keluar.
Hong Sie Nio tertawa dan berkata:
“Mengapa dalam pandanganku kau ini tidak mirip dengan orang baik? Tetapi aku juga tidak dapat melihat orang yang mau mati, tidak memberi pertolongan.”
Orang itu tampaknya sangat girang, katanya:
“Terima kasih......terima kasih.....”
“Aku juga tidak minta kau mengucapkan terima kasih padaku. Asal setelah aku menolong kau, kau jangan pikir bermaksud jahat terhadap diriku, itu saja sudah cukup.”
Orang itu masih tidak hentinya mengucapkan terima kasih, tetapi sepasang biji matanya terus berputaran ditujukan ke dada Hong Sie Nio yang menonjol tinggi.
Hong Sie Nio juga tidak marah, sebab ia tahu bahwa kaum laki-laki kebanyakan memang bermata keranjang.
Ia segera lompat melesat keatas pohon, selagi hendak membuka tali yang mengikat sepasang kaki orang itu, dengan tiba-tiba ia melihat bahwa sepasang kaki orang yang diikat diatas pohon itu, yang satu hanya mengenakan kaos kaki, tidak ada sepatunya, bahkan diatas kakinya itu masih terdapat tanda darah.
Ketika ia melihat lagi, satu kakinya yang lain hanya mengenakan sebuah sepatu.
Sepatu yang terbuat dari kulit sapi itu, sama benar dengan sepatu yang dibawa oleh kacung si tabib terbang.
Hong Sie Nio tercengang.
Ia mendengar orang itu berkata: “Nona, sudah berjanji hendak menolongku, mengapa tidak lekas bertindak?”
Mata Hong Sie Nio berputaran, tampaknya sedang berpikir, kemudian berkata:
“Kupikir bolak-balik, masih merasa kurang tepat tindakanku ini.”
“Mengapa kurang tepat?”
“Aku hanya seorang perempuan, melakukan apa-apa tak boleh tidak harus berhati-hati, sekarang ini malam sudah larut, sudah tidak mungkin ada orang berjalan lagi, Jikalau aku sehabis menolong kau, lalu kau......., nanti timbul hati jahat, bagaimana aku harus berbuat?”
“Nona jangan khawatir, aku bukanlah seorang yang jahat. Apalagi, kulihat gerakan nona tadi naik keatas pohon tadi, juga bukanlah seorang yang mudah dipermainkan.” berkata orang itu sambil tertawa dibuat-buat.
“Tetapi sebaiknya aku berlaku hati-hati sedikit, sekarang kuperlu menanyakan padamu lebih dulu beberapa soal”
Orang itu jelas sudah merasa tidak sabaran, katanya:
“Kau hendak menanya apa?”
“Aku belum tahu siapakah namamu, dan darimana kau datang?”
“Aku seorang she Siauw, aku datang dari utara.”
“Dan berandal yang menggantung kau disini, orangnya bagaimana macamnya?”
“Dengan terus terang, bagaimana macam orangnya itu sendiri aku sendiri juga tidak melihat, dan tahu-tahu sudah digantung disini oleh mereka” berkata orang itu sambil menghela napas.
Hong Sie Nio mengerutkan alisnya, katanya lagi:
“Dan dimanakah kau taruh peti mati yang kau curi itu? Apakah juga sudah dirampok oleh kawanan berandalan itu?”
Wajah orang itu mendadak berubah, namun ia masih pura-pura tertawa dan berkata:
“Peti mati apa? ucapan nono ini aku sungguh tidak mengerti semua?”
Hong Sie Nio mendadak melompat turun, dan menampar kedua pipi orang itu demikian kerasnya, hingga mukannya kini menjadi bengap giginya juga rontok dan darah mengalir keluar dari mulutnya, sehingga orang itu menjadi marah dan bertanya:
“Kau sebetulnya siapa? Apa sebab kau memukul aku?”
“Hong Sie Nio tertawa hambar, katanya:
“Aku justru hendak menanya padamu, kau ini sebetulnya siapa? Mengapa kau mencuri peti mati si tabib terbang? Siapa yang menyuruh kau datang kemari? Apa maksudnya kau menggunakan nama Siauw Cap-it-long?”
Orang itu seperti dibacok, oleh Hong Sie Nio, kulit mukanya berkenyit, matanya memancarkan sinar buas, memandang Hong Sie Nio, giginya berkeretekan. Hong Sie Nio berkata lagi dengan suara lebih terang :
“Kau tidak mau percaya betul tidak? Kalau begitu kuberitahukan padamu aku adalah Hong Sie Nio, barang siapa yang sudah terjatuh di dalam tanganku tiada seorangpun yang tidak akan berbicara terus terang.”
Orang itu kini baru menunjukkan sikapnya terkejut dan ketakutan, dari mulutnya mengeluarkan seruan.
“Hong Sie Nio! Kiranya kau ini adalah Hong Sie Nio ?”
“Kalau kau sudah mendengar namaku, seharusnya kau tahu bahwa ucapanku ini tidaklah bohong.”
Orang itu menghela napas panjang, gumamnya:
“Tidak disangka hari ini aku telah bertemu dengan kau siluman perempuan. Baik, baik, baik ........ "
Setelah berkata demikian, dengan mendadak ia mengertek giginya sendiri.
Sepajang mata Hong Sie Nio terbuka lebar ia masih ingin memegang dagunya tetapi sudah tidak keburu lagi. Kini tampak mata orang itu mendelik, wajahnya sudah menjadi hitam tetapi ujung bibirnya menunjukkan senyum misteri biji matanya melotot keluar seolah-olah mengawasi Hong Sie Nio katanya dengan suara hampir tidak kedengaran :
“Apakah kau sekarang masih ada akal minta aku bicara?”
Orang itu ternyata lebih suka habiskan jiwanya sendiri dengan menelan obat racun, juga tidak mau menceritakan asal usul dirinya. Jelas kalau dia pulang dalam keadaan hidup, derita dan siksaan yang akan diterimanya dari orang yang menyuruhnya tentu akan lebih celaka dari pada mati.
Urusan semacam ini memang bukan tidak ada, Hong Sie Nio sendiri juga sudah pernah melihatnya, tetapi obat racun yang bekerja demikian keras, ia masih jarang melihatnya.
Hong Sie Nio menjejak-jejakkan kakinya, katanya sambil tertawa dingin :
“Kau mati juga baik, bagaimanapun juga kau menyebutkan atau tidak, dengan aku tidak ada hubungannya sama sekali ...”
Dalam hatinya waktu itu hanya tinggal satu persoalan: Siapakah yang menggantung penjahat ini? Dan kemana dibawanya peti mati si tabib terbang?