Tiba-tiba Ting Ling berpaling, sekilas dia memandang ke arah patung pahatan yang dipuja itu, seketika sorot matanya terkesima dan menjublek tak bergerak lagi. Di antara kepulan asap dupa yang bergulung-gulung itu, tampak wajah patung Koan-im Posat yang satu ini sudah berubah. Raut muka yang semula mengulum senyum bahagia, kini serius dan berwibawa, alisnya tegak, sorot matanya beringas memantulkan perasaan marah. Patung pemujaan yang semula tidak bernyawa mendadak berubah menjadi manusia.

"Aku adalah orang yang ingin kau temui, maka kau harus mengawasiku, setiap patah kata yang kuucapkan, harus kau ingat betul-betul."

Terasa oleh Ting Ling sekujur badannya sudah basah berkeringat, tanpa sadar dia manggut, walau dalam hati tidak ingin melihatnya, namun sorot matanya sukar beralih ke arah lain, tatapan tajam mata patung misterius ini seperti mengandung hawa gaib.

"Kau adalah Ting Hun-pin, Yap Kay adalah kekasihmu, suamimu, tapi Siangkwan Siau-sian merebutnya dari tanganmu. Setiap detik setiap saat mereka berpelukan main cinta, kau ditinggal seorang diri hidup merana."

Ting Ling menatapnya kaku, tiba-tiba wajahnya menampilkan derita dan sedih serta pilu yang tak tertahankan.

"Aku tahu akan dirimu dan jelas akan dirinya, sakit hati ini takkan bisa terlupakan karena itu kau harus menuntut balas."

Wajah Ting Ling beringas, gusar dan buas, mulutnya mengguman: "Aku harus menuntut balas.......aku akan menuntut balas......"

"Tidak lama lagi Yap Kay hendak membawa perempuan genit dan jahat itu kemari. Kebetulan ada kesempatan bagimu menuntut balas kepadanya."

Ting Ling mendengarkan, sorot matanya yang semula bercahaya, lambat laun berubah menjadi kosong hambar, sebaliknya rasa kebencian di mukanya bertambah tebal dan liar.

"Yap Kay pasti tak menduga kau bakal berada di sini, oleh karena itu munculmu yang mendadak ini pasti akan membuatnya kaget bukan main."

"Dia pasti takkan menaruh prasangka terhadapmu, maka kau harus cari kesempatan untuk merebutnya dari tangan perempuan jahat yang bernama Siangkwan Siau-sian itu, bawa dia kemari, biar kami bantu kau merusak mukanya, supaya dia tidak memelet laki-laki dan menjebloskan kaum Adam ke dalam neraka."

"Bagaimana, kau sudah mengerti maksudku?"

Ting Ling manggut, sahutnya: "Aku sudah mengerti."

"Apa kau mau bertindak menurut petunjukku?"

"Baik! Aku akan bertindak sesuai petunjukmu."

"Setiap patah kata perintahku, kau percaya sepenuhnya?"

"Baik! Aku percaya sepenuhnya."

"Bagus! Sekarang kau boleh berdiri. Hiat-to mu sudah terbuka, berdirilah pelan-pelan."

Benar juga, Ting Ling ternyata bisa berdiri. Kedua kakinya yang semula kaku lemas, kini punya tenaga.

"Baik, di dalam bajumu ada sebatang golok, sekarang aku perintahkan kau membunuh seseorang dengan golokmu itu."

"Membunuh siapa?"

"Bunuhlah Nyo Kan."

Ting Ling pelan-pelan membalik badan, kakinya beranjak pergi dari depan Sim Koh dan Thi Koh. Sorot matanya kaku tertuju ke depan nan jauh, tangannya merogoh ke dalam pakaiannya mengeluarkan sebatang golok. Hanya ada satu pikiran yang bergolak dalam benaknya: "Gunakan golok ini, bunuhlah Nyo Kan."

ooo)O(ooo

Api unggun sudah berkobar dalam ruangan itu, namun hawa masih terasa dingin. Nyo Kan duduk menyanding tungku yang menyala, agaknya hatinya mulai gelisah duduk tidak tenang. Dia sedang menunggu kabar dari Ting Ling. Ternyata Ting Ling tidak kunjung datang, meski waktu yang dijanjikan sudah berselang beberapa lamanya.

Di saat dia gelisah itulah, dilihatnya seseorang mendorong pintu dan melangkah masuk. Itulah perempuan yang cantik molek, rambutnya yang hitam gelap tersanggul rapi dengan model mutakhir, tusuk kundai hijau pupus yang terbuat dari batu giok menghias sanggulnya.

Nyo Kan segera berdiri dan menyambutnya dengan tersenyum: "Nona ada pesan apa?" agaknya dia kira perempuan ini adalah murid atau pesuruh Lam-hay-nio-cu, maka melirikpun dia tidak memandangnya lagi.

Tapi sejak melangkah masuk, perempuan ini menatapnya nanar, sorot matanya menampilkan mimik yang aneh sekali. Tak tahan Nyo Kan angkat kepala melihatnya sekali lagi, tiba-tiba terasa olehnya wajah orang seperti mirip seseorang.

Gadis itu tetap menatapnya, tanyanya dengan suara tandas: "Kau inikah Nyo Kan?"

Nyo Kan manggut-manggut, tiba-tiba dia berteriak kaget: "Kau adalah Ting Ling!"

"Aku bukan Ting Ling, aku Ting Hung-pin" sahut Ting Ling.

Melotot biji mata Nyo Kan, serunya: "Kau...... bagaimana kau berubah begini rupa?"

"Memang demikianlah keadaanku semula, memangnya aku seorang perempuan?"

Berubah air muka Nyo Kan, katanya: "Apa kau sudah gila?"

"Aku tidak gila, kaulah yang gila, maka kau harus kubunuh!" tiba-tiba dia keluarkan goloknya terus menusuk ke dada Nyo Kan.

Mimpipun Nyo Kan tidak pernah menduga orang akan membunuh dirinya, bahwasanya dia tidak bersiaga, maka untuk berkelitpun tak sempat lagi. Darah menyembur dari lubang dadanya, menyemprot membasahi pakaian Ting Ling. Tidak terunjuk perubahan mimik muka Ting Ling, dengan kaku dia awasi Nyo Kan roboh pelan-pelan, lalu pelan-pelan dia putar badan. Kabut tebal di luar pintu terasa dingin membeku, malam semakin gelap. Pelan-pelan dia beranjak di tengah kabut.

Dari tempat gelap berkumandang suara misterius yang merdu: "Bagus! Kau menunaikan tugasmu dengan baik, tapi kau sudah terlalu letih, saking lelah matapun tak kuasa melek lagi."

"Ya, aku memang terlalu penat." sahut Ting Ling. Betul juga kelopak matanya pelan-pelan terpejam.

"Di sini ada ranjang paling baik dan nyaman, sekarang kau boleh tidur sepuasmu, setelah Yap Kay dan perempuan jahat itu datang, kami akan membangunkan kau."

Tanah itu bukan saja kotor juga dingin bertumpuk salju, tapi pelan-pelan Ting Ling sudah merebahkan dirinya, seolah-olah dia di atas ranjang yang benar-benar empuk dan nyaman. Tiba-tiba dia sudah pulas dan kelelap di alam mimpi.

Kabut semakin tebal.

ooo)O(ooo

Sang adik tetap tidur pulas, sang taci sedang mendengus napas sambil di tahan-tahan kelopak matanya, akhirnya terpejam. Air mukanya menampilkan kelelahan dan senyum manis puas. Ganti berganti Sebun Cap-sha mengawasi kedua kakak beradik kembar ini, tiba-tiba hatinya dirangsang rasa riang dan puas serta bangga, seolah-olah dia berhasil mengalahkan Ting Ling.

"Belum tentu setiap orang selalu menang di bidang tertentu, ternyata aku punya kekuatan yang melebihi keampuhannya." demikian dengan tersenyum dia angkat cangkir arak. Baru saja dia hendak minum, tiba-tiba didengarnya suara ketukan pintu dari luar.

Apakah Ting Ling sudah kembali? Kerai jendela sudah tersingkap, namun matanya tidak melihat jelas siapa yang berada di luar.

"Siapa?" tanyanya tanpa mendapat jawaban.

Sejenak Sebun Cap-sha ragu-ragu akhirnya dia memberanikan diri membuka pintu. Tiada seorangpun di luar. Tabir malam menelan segala makhluk di atas bumi ini.

"Barusan siapa mengetuk pintu?" tanyanya sembari mengencangkan pakaiannya. Tetap tidak mendapat jawaban. Kemanakah kusir kereta yang berjaga di luar? Hawa malam ini sungguh terlalu dingin. Sebetulnya dia tidak ingin meninggalkan bilik kereta yang hangat dan nikmat itu, tapi seseorang setelah melakukan sesuatu yang tidak berkenan dalam sanubarinya selalu merasa kurang tentram hatinya. Akhirnya dia kenakan sepatu tinggi, melompat turun ke tanah. Kabut tebal nan gelap pekat, dingin dan sunyi senyap.

Kusir kereta mengenakan pakaian tebal berkulit kapok sedang jongkok di tumpukan jerami di luar gubuk sana, dengan dengkul sebagai bantal, tangan memeluk kaki, agaknya sudah lelap dalam tidurnya.

Lalu siapa yang barusan mengetuk pintu? Apakah dia salah dengar? Jelas tidak. Usianya masih muda, kuping dan matanya masih tajam. Entah darimana Ting Ling mengundang kusir kereta ini, kalau barusan ada orang kemari, tentu dia tahu atau mendengar suara.

Sebun Cap-sha segera menghampiri, baru saja dia hendak dorong dan membangunkan orang, sekonyong-konyong kusir kereta yang jongkok memeluk kaki itu melejit ke atas tumpukan jerami, di tengah udara jumpalitan terus melesat keluar laksana anak panah. Kecepatan gerak badannya memang tidak selincah dan segesit Ting Ling, namun jelas tidak lebih asor dari Sebun Cap-sha sendiri.

Sebun Cap-sha tidak sempat melihat muka orang. Ingin dia mengejar, namun sekilas dia ragu-ragu, bayangan kusir itu sudah menghilang di tempat gelap. Kabut tebal pasti bisa menyesatkan arah, hawa begini dingin setajam golok mengiris kulit. Tiba-tiba dia bergidik kedinginan, akhirnya dia berkeputusan untuk kembali ke bilik kereta sambil menunggu kedatangan Ting Ling saja.

Ternyata pintu kereta sudah tertutup pula. Sebun Cap-sha tidak ingat, dirinyakah yang menutup atau tertutup sendiri ditiup angin lalu. Lentera yang terbuat dari tembaga itu masih menyala, cahaya lentera yang redup menembus jendela menyorot keluar.

Sebun Cap-sha menjadi gegetun dan menyesal, kenapa dia keluar meninggalkan bilik kereta yang hangat itu, maka bergegas dia melangkah balik terus menarik daun pintu. Tapi hatinya yang hangat menyala seketika mendelu dingin seperti batu yang tenggelam ke dasar air. Badannya tegak gemetar di luar kereta, bergerakpun tidak berani.

Ternyata di bilik kereta sudah ketambahan satu orang. Seorang berkepala gundul berhidung elang, laki-laki tua yang berwajah merah segar, bertengger di mana tadi dia duduk. Dia bukan lain adalah Wi-pat-ya.

Kedua kakak beradik kembar itu masih meringkuk di pojok, tidurnya nyenyak sekali.

Bagai tajam golok, sorot mata Wi-pat-ya yang berwibawa menatap muka Sebun Cap-sha, katanya dingin: "Masuklah!"

Dengan tunduk kepala Sebun Cap-sha masuk ke dalam kereta, sekilas ujung matanya sempat melirik ke sana, dilihatnya kusir kereta tadi sudah jongkok kembali di tempatnya semula memeluk kedua kaki berjongkok seperti tertidur, seolah-olah dia tidak pernah bergerak dari tempatnya.

Bilik kereta ini terlalu rendah, siapapun tak bisa berdiri tegak di dalam bilik. Tapi Sebun Cap-sha tidak berani duduk, terpaksa dia membungkuk dan menunduk kepala lagi.

Wi-pat-ya tetap menatapnya dingin, tanyanya: "Dimana teman baikmu itu?"

"Sudah masuk sejak tadi."

"Kapan dia masuk."

Semakin rendah kepala Sebun Cap-sha, dia tidak mampu menjawab, karena dia lupa diri untuk memperhitungkan waktu. Memangnya tadi dia sudah melupakan segala-galanya. Umpama dunia kiamatpun takkan terasakan olehnya.

"Apa yang kau lakukan setelah dia pergi?" hardik Wi-pat-ya gusar.

Sebun Cap-sha tidak berani menjawab. Apa yang dia lakukan barusan malu untuk diberitahukan meski terhadap gurunya sendiri. Seorang laki-laki main perempuan adalah jamak, namun serong dengan perempuan milik temannya sudah tentu merupakan persoalan lain pula.

Wi-pat-ya tertawa dingin, katanya: "Agaknya nyalimu memang setinggi langit. Memangnya kau tidak takut diketahui oleh Ting Ling?"

Merah muka Sebun Cap-sha, katanya gemetar: "Kami....... kami kan teman baik."

Wi-pat-ya gusar: "Justru kalian teman baik, kenapa kau justru melakukan perbuatan ini, jikalau di luar tahumu dia merebut dan main dengan perempuanmu, bagaimana perasaanmu?"

Sebun Cap-sha tidak berani menjawab.

"Kau kira Ting Ling takkan ambil perduli, setiap laki-laki akan berpeluk tangan jika melihat hal-hal buruk seperti ini?"

Sebun Cap-sha hanya manggut perlahan tak bersuara.

"Apa kepintaranmu sekarang, seorang diri dia mampu menghadapi delapan kau. Setelah tahu akan perbuatan curangmu, jikalau dia ingin menghajarmu, apa pula yang kau bisa lakukan?"

Akhirnya Sebun Cap-sha memberanikan diri, sahutnya: "Kukira dia takkan tahu."

"Kau kira dia tidak tahu? Dengan alasan apa kau berpikir demikian?"

Sebun Cap-sha menyeringai getir: "Aku sendiri tentu tidak bilang kepadanya."

"Kau tidak bilang, tapi perempuan ini?"

"Dia sendiri yang minta, mana berani beritahu kepadanya."

"Kau kira dia jatuh hati kepadamu, maka dia memelet kau?"

Sebun Cap-sha tidak berani menyangkal, namun diapun tak berani mengakui.

"Apakah kedua perempuan ini hasil rebutanmu dari Giok-keh-ceng?"

Sebun Cap-sha manggut-manggut.

"Kau kira mereka rela kalian rebut dan di bawa pergi?."

Memang tiada manusia di dunia ini yang rela di tengah malam buta, diculik secara kekerasan lalu dibuat main-main.

Wi-pat-ya tertawa dingin: "Memangnya matamu tidak bisa melihat, lonte ini memang memelet kau, maksudnya untuk menimbulkan rasa sirik dan jelus antara kau dan Ting Ling, baru mereka punya kesempatan untuk membalas."

Agaknya Sebun Cap-sha tidak sependapat, katanya: "Mungkin dia......"

"Kau masih berpendapat dia jatuh hati kepadamu? Dalam hal apa kau lebih kuat dari Ting Ling? Apalagi nona cilik berusia empat belas tahun, umpama dia perempuan jalang yang tebal muka, memangnya tidak malu di hadapan adiknya main sex dengan kau?"

Sebun Cap-sha terdiam.

"Apalagi kalian bermain begitu asyik, dari kejauhan sudah kudengar, adiknya kan bukan babi, kalian bergulat disampingnya, memangnya dia bisa tidur nyenyak?"

Seketika berubah air muka Sebun Cap-sha, tiba-tiba terbayang olehnya, mungkin hal ini memang sudah terencana oleh kedua kakak beradik kembar ini, maka begitu Ting Ling pergi, sang taci lantas bangun, sementara sang adik tetap pura-pura tidur, maksudnya untuk memberi kesempatan bagi mereka. Tiba-tiba otaknya sadar, betapapun jahe yang tua lebih pedas.

Tiba-tiba Wi-pat-ya bertanya lagi: "Apakah kedua lonte ini memang lahir di Giok-keh-ceng?"

"Agaknya bukan, dulu aku pernah ke Giok-keh-ceng, namun belum pernah melihat mereka."

Wi-pat-ya tertawa dingin, katanya: "Agaknya tidak lepas dari dugaanku." Setajam golok sorot matanya menatap ke arah kedua gadis kembar, katanya pelan-pelan: "Nona-nona cantik seperti kedua orang ini, sebetulnya tak tega aku melihat mereka mampus dihadapanku."

Kedua gadis kembar itu masih meringkel di pojok dengan memeluk kepala, pernapasannya masih enteng teratur, sedikitpun tidak menjadi takut atau gelisah, tidurnya seperti nyenyak.

Tiba-tiba Wi-pat-ya berpaling menatap Sebun Cap-sha: "Oleh karena itu di kala kau membunuh mereka, aku pasti akan memejamkan mata."

"Aku?" Sebun Cap-sha tertegun.

"Benar! Kau!", sahut Wi-pat-ya menarik muka.

Terkejut dan kesima Sebun Cap-sha dibuatnya: "Aku...... aku harus membunuh mereka?"

"Jikalau kau tidak tega bunuh mereka, akupun akan beri kesempatan mereka membunuhmu."

Pucat muka Sebun Cap-sha, katanya: "Tapi kalau Ting Ling kembali, jikalau tahu mereka sudah mati, bukankah........"

"Dia tidak akan tahu." tukas Wi-pat-ya.

"Kenapa?"

"Orang mati bisa tahu apa?"

Kembali Sebun Cap-sha berjingkrak kaget, serunya: "Ting Ling sudah mati?"

"Kalau dia tidak mampus, kaulah yang harus mampus....."

Lama Sebun Cap-sha mengawasi gurunya, akhirnya dia tahu apa maksudnya. Di waktu dia suruh Ting Ling kemari, tujuannya supaya dia menempuh bahaya dan mungkin jiwanya sudah melayang dalam menjalankan tugas. Bila Ting Ling berhasil menyelidiki keadaan Lam-hay-nio-cu yang sebenarnya, begitu dia kembali, maka dia harus mampus, karena itu maka Wi-pat-ya menyusul kemari, kusir kereta itupun sudah diganti salah seorang muridnya.

Sebun Cap-sha mengawasi muka orang yang kaku dingin dan kejam, hampir dia percaya bahwa orang tua yang disanjung sebagai guru dan bertabiat kasar ini tak berambisi dan pemarah. Namun dalam detik terakhir ini kelihatannya berubah menjadi bentuk orang lain, lebih tabah tenang dan cerdik, lebih lihay dari Ting Ling.

Tiba-tiba disadari oleh Sebun Cap-sha, bila seseorang ingin dirinya menonjol dan angkat nama di kalangan Kang-ouw, maka dia harus mempunyai dua wajah yang berlainan dengan watak dan jiwanya yang asli, hingga orang terdekatpun takkan gampang tahu macam apa sebetulnya muka aslinya.

Sorot mata Wi-pat-ya yang tajam laksana ujung golok masih menatap mukanya, katanya tawar: "Menunggu ajal jauh lebih menderita daripada mampus, jikalau kau kasihan terhadap gadis-gadis ayu ini, lebih baik kau buat mereka mati lebih cepat."

Sebun Cap-sha kertak gigi, mendadak dia turun tangan, jari tengahnya tertekuk menjojoh seperti paruh elang, menotok Hiat-to mematikan di bawah tulang iga sang adik. Sang taci sudah mempersembahkan permainan hebat yang cukup mengesankan hatinya, betapapun dia tidak tega, memangnya dia bukan laki-laki kejam bertangan gapah.

Tak nyana sebelum totokan jarinya mengenai sasaran, kedua kakak beradik yang meringkel nyenyak itu tahu-tahu membalik badan bersama. Entah darimana tahu-tahu kedua tangan mereka mencekal sebatang golok melengkung yang berbentuk aneh dan mengeluarkan sinar hijau.

Biasanya mereka lembut dan jinak seperti burung dara yang kasmaran, tapi sekarang kelihatan mereka jauh lebih jahat dari ular berbisa, buas dan liar daripada serigala. Begitu membalik badan, sang taci menendang perutnya, berbareng golok melengkung di tangannya sudah menusuk ke tenggorokan Wi-pat-ya.

Saking kesakitan air mata dan air liur Sebun Cap-sha bercucuran, begitu kedua tangan memeluk perut dengan badan terbungkuk, golok melengkung sang adik sudah membacok ke lehernya dari sebelah kiri.

Wi-pat-ya tidak menunjukkan perubahan perasaannya, agaknya dia sudah menduga akan kejadian ini. Baru saja golok kedua gadis kembar itu terayun, terdengarlah suara 'ting, ting, ting, ting" empat kali, empat golok melengkung itu tahu-tahu sudah putus ujungnya. Entah kapan tangan Wi-pat-ya sudah mencekal sebatang tongkat pendek panjang satu kaki tiga dim. Tongkat pendek warna hitam legam, gelap tak bersinar, tidak menunjukkan keistimewaan apa-apa pada tongkat pendek ini, tahu-tahu golok melengkung yang tajam berkilau terbuat dari baja asli itu sudah protol ujungnya, hanya dengan sekali ketukan saja.

Saking kaget ke dua gadis kembar itu terkesima mengawasi golok kutung di tangannya, hampir mereka tidak percaya akan kenyataan ini. Kilas lain mereka merasa kedua lengan mereka linu kemeng, sehingga tak kuat lagi menyekal golok melengkungnya yang sudah kutung.

Dengan menyeringai dingin Wi-pat-ya menatap mereka: "Kalian selalu bawa sepasang mestika, kini masih ada satu yang belum dikeluarkan."

Sang taci tiba-tiba menarik napas panjang, katanya tertawa: "Agaknya kau sudah tahu asal usul kami."

"Hm...." Wi-pat-ya hanya mendengus.

"Wanpwe berdua adalah murid Ouyang Shia-cu dari Kwi-cu-to di laut timur, dari dalam Tin-cu-shia (kota mutiara). Kami di utus untuk menghadap kepada Wi-pat-ya." kelihatannya sedikitpun tidak menunjukkan rasa takut, hanya sikapnya kelihatan hormat terhadap Wi-pat-ya.

"Kalian sengaja hendak menyambangi aku?" tanya Wi Thian-bing.

"Sejak lama Ouyang Shia-cu sudah mendengar dan kagum akan nama besar Wi-pat-ya."

"Diakah yang suruh kalian kemari?"

"Benar!" sahut sang taci.

"Kalian sembunyi di Giok-keh-ceng, maksudnya hendak menghadap aku?"

"Gedung rumahmu di jaga keras dan ketat, orang-orang seperti kami untuk menemui kau orang tua bukannya soal gampang."

"Oleh karena itu kalian sengaja main mata dengan laki-laki hidung belang ini. Kalian sudah membuat rencana bagus untuk melaksanakan tugas."

Merah muka sang taci, katanya tertawa: "Di hadapan kau orang tua, mana berani kami berdusta, sebetulnya kami tidak menduga di tengah malam mereka bakal mencari kami, walau cara yang digunakan tidak baik, tapi amat manjur."

Wi Thian-bing tiba-tiba tertawa gelak-gelak, serunya: "Sejak lama kudengar murid-murid Ouyang Siau-cu adalah kuntum-kuntum kembang yang mekar, baru hari ini aku saksikan sendiri ternyata benar!" dia tertawa dengan menengadah, seolah-olah sudah lupa bahwa salah satu mestika kedua gadis kembar ini belum digunakan.

Betul juga, kesempatan yang baik ini tidak disia-siakan oleh kedua gadis kembar ini, terdengar 'cret' dua kali, puluhan bintik-bintik sinar bintang dingin tahu-tahu melesat keluar dari lengan baju mereka, laksana hujan deras menyerang ke dada Wi Thian-bing.

Gelak tawa Wi Thian-bing tidak berhenti, Cuma tongkat pendek di lengannya tiba-tiba bergerak melingkar di depan dada, puluhan sinar bintang yang dingin itu ternyata seperti mendadak disedot kekuatan gaib, tahu-tahu meluncur masuk di tengah lingkaran di susul bunyi 'tring, tring' yang ramai, ternyata puluhan titik sinar dingin itu tersedot dan lengket pada tongkat pendeknya, seperti puluhan lalat hijau hinggap di atas sepotong gula-gula panjang. Keruan kedua gadis kembar seketika tertegun melongo.

Berkata Wi-pat-ya dingin: "Aku tahu sebelum kalian keluarkan kedua mestikamu, kalian takkan putus asa."

Sang adik tiba-tiba menghela napas, katanya: "Agaknya kami yang salah menilai dirimu."

"Lho, kenapa salah nilai?" tanya Wi Thian-bing.

"Kami kira kau sudah tua, kami duga kalangan kang-ouw sekarang sudah menjadi dunianya kaum muda. Dari situasi sekarang aku menilai seorang diri, kau bisa menandingi mereka sepuluh orang," kepala tertunduk sorot matanya melirik ke arah Wi Thian-bing, sorot mata kagum dan hormat.

Kelihatan Wi-pat-ya jauh lebih muda dari usianya, katanya tersenyum: "Jahe yang tua lebih pedas, kalian anak-anak muda harus selalu ingat akan kenyataan ini."

"Kita terpaksa turun tangan, kami berdua adalah orang yang harus dikasihani, apa yang orang lain ingin kami lakukan, kami harus melakukan, bukan saja tidak boleh membangkang, kamipun tidak berani melawan." agaknya sang adik pandai mengoceh dengan mengucurkan air mata segala.

Terunjuk mimik simpati pada muka Wi-pat-ya, katanya menghela napas: "Aku tak salahkan kalian, bagaimana Ouyang Shia-cu menghukum anak didiknya, setiap insan persilatan di Kang-ouw tahu semua."

Sang taci menambahkan dengan mimik yang harus dikasihani: "Tapi kecuali kau orang tua, siapa pula yang sudi menyelami penderitaan kami?"

Suara Wi-pat-ya menjadi lembut dan iba: "Asal kalian terus terang akan tugas kedatanganmu, aku tidak akan mempersulit kalian."

"Dihadapan kau orang tua, kami tak berani berbohong lagi." sahut sang taci.

"Tentunya kau orang tua juga tahu." demikian sang adik menambahkan, "untuk Yap Kay dan Siangkwan Siau-sian lah kami datang kemari."

"Untuk urusan ini, berapa orang yang datang dari kota mutiara kalian?" tanya Wi Thian-bing.

"Hanya kami berdua saja," jawab sang adik.

Sang taci menambahkan: "Ouyang Shia-cu bukan menginginkan barang-barang itu, kami hanya disuruh melihat saja orang apa sebenarnya Yap Kay itu dan seberapa lihaynya."

"Lekas sekali kalian bisa melihatnya secepatnya dia akan datang." kata Wi Thian-bing.

"Tapi kami........."

"Kalian boleh pergi sekarang, kelak, kalau ada kesempatan, boleh sembarang waktu datang menengokku, tidak perlu main sembunyi di Giok-keh-ceng lagi."

Sang taci tertawa: "Kelak kami pasti datang untuk menyambangi kau orang tua."

"Ya, kita pasti datang," sang adik menyambung.

Kakak beradik tertawa manis, putar badan, terus buka pintu kereta. Melompat keluar, laksana sepasang burung walet yang lepas dari kurungan.

Sebun Cap-sha sejak tadi tertunduk lesu, merasa amat di luar dugaan. Dia tidak mengira Wi-pat-ya membiarkan mereka pergi. Namun pada saat itu pula, mendadak di dengarnya dua kali suara aneh, seperti batang bor menghujam daging manusia, disusul dua kali jeritan yang mengerikan.

Tak tertahan lagi dia melongok keluar, maka dilihatnya seorang berpakaian tebal kapas anti dingin berdiri di luar kereta. Dengan saputangan putih laksana salju, sedang membersihkan noda-noda darah. Darah di atas sebatang bor senjata yang dipegang ditangannya ternyata sebatang bor gede yang berkilauan.

Han Tin.

Baru sekarang Sebun Cap-sha tahu, kusir yang antar mereka ke tempat ini ternyata adalah Han Tin. Semula hidung Han Tin mancung tinggi, namun hidung mancungnya itu ringsek oleh pukulan Ting Ling, Tulang hidungnya patah dan sekarang peyot, sehingga raut wajahnya tidak enak dipandang, orang pasti menyangka mimiknya selalu menampilkan senyum sinis.

Wi-pat-ya tidak menunjukkan perasaan apa-apa, tiba-tiba dia bertanya: "Keduanya sudah mampus?"

Han Tin manggut-manggut.

"Agaknya kau laki-laki culas yang tidak tahu bagaimana harus menaruh belas kasihan terhadap cewek-cewek ayu."

"Memangnya aku bukan."

Terunjuk senyum pada sorot mata Wi-pat-ya, katanya: "Jikalau Ting Ling tahu kau membunuh mereka, hidungmu akan lebih berbahaya lagi."

"Dia tidak akan tahu." sahut Han Tin.

"Lho, kenapa?"

"Orang mati masa bisa bicara?"

Wi Thian-bing tertawa lebar mendengar ucapan ini. Dia suka mendengar orang meniru nadanya.

Han Tin berkata pula: "Waktu berangkat dia hanya mengatakan supaya kita menunggunya satu jam saja."

"Tentu dia sudah memperhitungkan waktu dengan persis."

"Segala persoalan sudah selalu diperhitungkan dengan tepat olehnya."

"Memang dia seorang lihay, ciri satunya hanya karena dia terlalu muda."

"Selamanya dia tidak akan pergi."

"Kenapa?"

"Orang mati masa bisa pergi?" kata Han Tin. "sekarang satu jam sudah berselang, dia belum kembali."

Bercahaya sorot mata Wi Thian-bing, katanya: "Oleh karena itu mungkin dia tidak akan kembali untuk selamanya, dan hal ini menandakan bahwa Lam-hay-nio-cu memang kenyataan."

Han Tin manggut-manggut, katanya: "Orang yang bisa menahan atau membunuh Ting Ling memang tidak banyak."

Tiba-tiba rona muka Wi Thian-bing berubah kereng dan dingin, katanya pelan-pelan: "Bak Pek dari Ceng-seng-san, Ouyang Shia-cu dari kota mutiara, ditambah Lam-hay-nio-cu....... dalam dunia ini, sebetulnya tiada sesuatu persoalan yang mengusik keinginan mereka, tapi mereka meluruk datang bersama."

"Kalau Yap Kay tahu, tentu dia amat gembira."

"Gembira?", Wi Thian-bing menegas.

"Untuk memancing orang-orang itu bukan tugas yang sepele, kecuali dia, memangnya siapa dalam dunia ini yang mampu memancing orang-orang itu keluar?"

Wi Thian-bing diam saja, agaknya dia mengakui kebenaran ucapan Han Tin. Sudah tentu Sebun Cap-sha lebih tidak berani sembarang buka mulut, tapi dalam hati dia semakin keheranan. Tiba-tiba terasakan olehnya setiap orang menyebut nama Yap Kay selalu mengunjuk mimik muka yang aneh, perduli itu merasa hormat, benci atau dendam serta ketakutan, semua mimik perasaan yang berlainan ini kelihatannya amat menyolok.

Seorang anak muda yang masih terlalu asing bagi setiap orang yang mendengar dan mengenal namanya, memangnya dia mempunyai tenaga gaib yang begitu besar daya tariknya? Bukankah hal ini terlalu luar biasa untuk diterima? Diam-diam Sebun Cap-sha bersyukur dalam hati, karena dirinya bukan Yap Kay. Tiba-tiba disadari olehnya menjadi seorang awam malah bisa hidup tentram dan bahagia.

Lama sekali Wi Thian-bing menepekur, akhirnya bersuara pelan-pelan: "Setahun yang lalu, aku belum pernah dengar nama Yap Kay disinggung teman-teman Kang-ouw."

"Setahun yang lalu hakekatnya belum ada orang yang pernah dengar namanya." sahut Han Tin.

"Tapi sekarang mendadak dia menjadi tokoh paling kenamaan di kalangan Kang-ouw."

"Bahwa orang ini muncul dan terus menjagoi dunia persilatan, memangnya tunas muda menimbulkan gelombang badai yang menakjubkan sekali."

"Untuk menimbulkan gelombang menakjubkan seperti itu bukannya suatu pekerjaan gampang."

"Sudah tentu tidak gampang."

"Apa benar dia begitu menakutkan seperti yang tersiar di luar?"

"Dia belum pernah membunuh jiwa seorangpun, malah jarang sekali turun tangan. Tiada tokoh Kang-ouw yang jelas sampai dimana tingkat kepandaian silatnya."

"Mungkin disitulah letak yang paling menakutkan daripadanya."

"Tapi yang paling menakutkan tetap adalah pisaunya."

"Pisau apa?"

"Pisau terbang!." sahut Han Tin. Kembali raut mukanya menampilkan mimik yang aneh, katanya lebih tandas: "Khabarnya begitu pisau terbang keluar, selamanya belum pernah luput."

Seketika berubah rona muka Wi Thian-bing, tiba-tiba teringat olehnya sepatah kata pameo "Siau-li si pisau terbang, selamanya tidak disambitkan sia-sia" pameo inilah yang merupakan daya tekanan bagi batin setiap insan persilatan yang tersedot oleh tenaga gaib.

Selama puluhan tahu, tiada seorang tokoh silat manapun di kang-ouw yang meragukan pameo ini. Tiada orang berani coba-coba. Demikian pula empat pendeta besar Siau-lim-si yang paling diagungkan dunia persilatanpun tak berani menantangnya.

Dua puluh tahun yang lalu, Siau-li Tham-ha seorang diri meluruk ke Siau-lim-si yang biasanya tak berani sembarangan dijajah kaum persilatan dari cabang manapun, seperti berjalan di tempat datar yang tidak berpenghuni saja layaknya, ratusan Hwesio dalam Siau-lim-si tiada satupun yang berani merintangi kedatangannya.

Apakah Yap Kay mempunyai wibawa begitu besar? Watak gagah yang tinggi pula? Umpama benar dia membekal semua itu, sepak terjang orang-orang kota mutiara dan Lam-hay-nio-cu, jelas tidak sebanding bila dijajarkan dengan kaum Hwesio di Siong-san Siau-lim-si.

"Kota mutiara berada jauh di ujung dunia, betapa tinggi dan anehnya ilmu silat kakak beradik Ouyang yang menduduki kota mutiara itu, maka Pek Siau-seng yang dulu membuat daftar senjatapun sukar mengukurnya, oleh karena itu mereka tidak termasuk dalam daftar yang dibuatnya."

Han Tin berkata: "Itulah karena seluruh anak murid perguruan di Kwi-cu-to itu semua harus saudara kembar, seumpama Kwi-cu (sumpit) selamanya tak pernah berpisah, maka dalam daftar senjata, mereka tidak dicantumkan."

Wi Thian-bing manggut-manggut, katanya: "Di dalam daftar senjata tidak mencantumkan tokoh-tokoh kosen dari Mo Kau, tapi Pek Siau-seng sendiri mau tidak mau harus mengakui, kalau dinilai dari kepandaian untuk mengalahkan musuh serta membunuhnya, paling sedikit ada tujuh tokoh kosen dari Mo Kau yang patut dicantumkan di daam daftarnya, malah termasuk di antara jago-jago nomor dua puluhan."

"Sayang orang-orang Mo Kau satu sama lain saling curiga dan bunuh membunuh, jago-jago tinggi dari Mo-kiong (istana iblis) kabarnya sudah hampir mampus seluruhnya."

"Tapi Lam-hay-nio-cu dapat berubah ribuan bentuk, kepandaian iblisnya yang tunggal, jelas takkan lebih asor dibanding Jit-toa-thian-ong dari Mo Kau."

Han Tin tertawa, ujarnya: "Sebetulnya Cap-pui-ji-gi-pang senjata andalan kau orang tua berani dibanding dengan Thian-ki-pang yang tercantum nomer nomer satu dalam daftar senjata."

Mendadak Wi Thian-bing tertawa gelak-gelak, katanya: "Jikalau Yap Kay tahu banyak orang dari berbagai golongan sedang menunggu dirinya, mungkin dia tak berani datang."

Sekonyong-konyong seseorang menjawab tegas lantang: "Dia pasti datang, karena dia dipaksa untuk datang."

Suara ini merdu lembut seperti berkumandang dari langit, orang yang bicara kedengarannya berada di sampingnya, namun terasa seperti di ujung langit.

Gelak tawa Wi Thian-bing seketika sirap, rona mukanyapun berubah, lama sekali baru dia tanya dengan pancingan: "Lam-hay-nio-cu?"

"Ah, kenalan lama sejak puluhan tahun yang lalu, memangnya kau sudah melupakan suaraku?" suaranya kedengaran lebih dekat namun bayangannya belum kelihatan.

Jidat Wi Thian-bing dihiasi keringat dingin, katanya dengan tertawa dipaksakan: "Kalau sudah kemari kenapa tidak keluar saja?"

"Apa benar kau ingin melihat aku?"

"Bertahun-tahun sudah aku kangen kepadamu, mohon bisa bertemu dengan kau."

"Baik, marilah kau ikut aku." tiba-tiba suaranya seperti berada di tempat gelap nan jauh. Di tempat gelap sana tiba-tiba menyala sebuah lentera. Sinar lentera seperti kunang-kunang, kelap-kelip dihembus angin malam nan dingin, namun tidak kelihatan bayangan seorangpun.

Sesaat Wi Thian-bing ragu-ragu, tahu-tahu dia tepuk pundak Han Tin, katanya: "Hayolah kaupun ikut aku."

ooo)O(ooo