Jikalau hati Wi-pat-tay-ya sedang riang, selalu mengulum senyum, menepuk pundakmu, mengucapkan kata-kata lucu yang dia anggap jenaka dan menyenangkan. Tapi bila dia sedang marah, diapun berubah seperti orang-orang marah lainnya. Raut mukanya yang bersemu merah bercahaya, mendadak berubah bengis laksana singa yang kelaparan. Sorot matanya mencorong buas, berubah sekasar dan seliar singa yang mengamuk setiap waktu, dia bisa mencakar orang yang membuatnya murka, dikoyak dan disayat-sayat hancur lebur, lalu ditelannya bulat-bulat.
Sekarang dia sedang marah.
Tong Thong-san berdiri di depannya dengan mengerut alis. Orang gagah dari Bu-lim yang menjagoi belahan dunia ini sekarang berdiri tak ubahnya seperti anak kambing berhadapan dengan harimau, bernapaspun ketakutan.
Biji mata Wi-pat-tay-ya yang beringas merah berdarah tengah mendelik kepadanya, katanya dengan kertak gigi: "Katamu bedebah yang dipelihara lonte itu bernama Ban Pek?"
Tong Thong-san mengiakan dengan menunduk.
"Katamu dia datang dari Ceng-seng?"
Kembali Tong Thong-san mengiakan, suaranya lirih.
"Kecuali itu, kau tidak tahu apa-apa?"
Semakin rendah kepala Tong Thong-san, kembali dia mengiakan.
Wi-pat-tay-ya menggerung seperti singa murka, dampratnya: "Bedebah yang dipelihara lonte itu membunuh dua muridku, namun asal-usulnya saja kau tidak mengetahuinya, masih ada muka kau kemari menemui aku, kenapa tidak kau mampus saja!"
Mendadak dia melompat berdiri dari kursi menerjang maju, sekali raih dia renggut baju di depan Tong Thong-san, sekali tarik pula pakaiannya dia robek menjadi dua. Di susul telapak tangannya melayang pulang pergi, dia tampar muka Tong Thong-san bolak-balik tujuh delapan belas kali. Darah sudah meleleh dari ujung mulut Tong Thong-san, tapi kelihatannya dia tidak merasa sakit, juga tidak merasa marah atau penasaran, sebaliknya mengunjuk mimik senang dan tentram lega. Karena dia tahu bila Wi-pat-tay-ya menghajarnya dengan kejam, memakinya semakin garang, itu pertanda bahwa orang menganggapnya sebagai orang sendiri, dan itu berarti pula bahwa jiwanya dipungut kembali. Sebaliknya bila sikap Wi-pat-tay-ya sopan santun dan lemah lembut kepadamu, jangan harap jiwamu dapat bertahan hari ini.
Setelah tamparan pulang-pergi, Wi-pat-tay-ya masih menambahkan sekali tendang lagi pada perutnya, sehingga dia menungging kesakitan, namun Tong Thong-san sedikitpun tidak mengeluh atau berani banyak tingkah, padahal darah bercucuran dari mulut dan hidungnya, keringat dingin gemerobyos membuatnya tele-tele.
Akhirnya Wi-pat-tay-ya menghela napas, serunya murka sambil mendelik: "Tahukah kau, Siau-su-cu (maksudnya Sin Su) dan lain-lain kuperintahkan untuk bantu kau membunuh orang?"
"Aku tahu", tersipu-sipu Tong Thong-san menjawab.
"Kini mereka justru terbunuh orang, dan kau masih segar bugar berlompatan kehadapanku. Kau ini terhitung barang apa?"
"Aku ke sini bukan barang, tapi aku harus kembali ke sini."
"Kau bedebah, kau berani kembali? Memangnya kau tidak bisa mencawat ekor lari ke tempat jauh, supaya aku orang tua tidak marah melihat congormu?"
"Aku juga tahu kau orang tua pasti marah, oleh karena itu terserah kau orang tua, mau hajar atau mau bunuh, aku tidak akan banyak komentar, tapi jikalau aku harus mengkhianati kau orang tua atau melarikan diri, matipun aku tidak sudi."
Lama Wi-pat-tay-ya mendelik, mendadak tertawa terbahak-bahak, serunya: "Bagus, punya pambek!.", lalu diulur kedua tangannya memeluk pundak Tong Thong-san, katanya lantang: "Coba kalian lihat, inilah putraku yang sejati, kalian harus belajar dan meniru padanya, memangnya kenapa harus takut berbuat salah? Memangnya nenek-moyang siapa yang tidak pernah berbuat salah selama hidupnya, sampai aku Wi Thian-bing juga pernah berbuat salah, apalagi orang lain."
Begitu dia tertawa, perasaan tertekan puluhan orang yang hadir dalam ruang pendopo itu menjadi lega dan longgar.
Berkata Wi Thian-bing: "Diantara kalin siapa yang tahu barang apa sebenarnya bedebah yang bernama Ban Pek itu?". Jelas ucapannya ditujukan kepada seluruh hadirin, namun sorot matanya hanya menatap ke muka seorang saja.
Orang ini bermuka putih, dua jalur jenggot kambing menghias dagunya, kelihatannya sopan santun, lemah lembut dan ramah tamah pula. Orang yang tidak mengenalnya, takkan tahu bahwa pemuda pelajar ini ternyata adalah tokoh penting yang paling lihay di antara sekian banyak murid-murid Wi-pat-tay-ya, golongan hitam atau aliran putih ketakutan bila mendengar nama julukannya Thi-cui-cu Han Tin.

Pemuda pelajar ini memang mirip Thi-cui-cu (bor besi), betapapun keras kerangka milikmu, dia tetap bisa mengebormu sampai bolong. Tapi selintas pandang orang akan mengira dia seorang supel, suka bersahabat dan bersikap lembut, wajahnya selalu dihiasi senyum manis yang tentram damai, namun bicarapun kalem dan tenang serta mantap.
Setelah pasti tiada orang lain yang menjawab pertanyaan ini, baru dia bersuara pelan-pelan: "Beberapa tahun yang lalu, terdapat satu keluarga she Bak. Karena menghindari bencana, maka mereka lari dan menyembunyikan diri ke Ceng-seng-san. Bak Pek adalah salah satu anggota keluarga she Bak itu."
Wi Thian-bing tertawa pula, matanya mengerling ke empat penjuru, katanya tertawa gelak-gelak: "Memangnya sering kukatakan, kejadian dalam dunia ini tiada yang tidak diketahui bocah ini."
Han Tin tersenyum, ujarnya: "Tapi aku tidak tahu di tempat mana mereka menyembunyikan diri di Ceng-seng-san itu, selama beberapa tahun ini, belum pernah ada orang yang menemukan tempat persembunyian mereka, namun setiap tiga atau lima tahun, mereka pasti keluar sekali berombongan."
"Untuk apa mereka keluar?", tanya Wi Thian-bing.
"Mencampuri urusan orang lain.", sahut Han Tin.
Seketika Wi Thian-bing menarik muka, selamanya dia paling benci pada orang yang suka usil mencampuri urusan orang lain.
"Mereka dipaksa mencampuri urusan orang lain," demikian Han Tin melanjutkan uraiannya. "Karena mereka mengagulkan sebagai keturunan Bak Ti. Anak murid keluarga Bak turun temurun tidak diperbolehkan menjadi pertapa yang mengasingkan diri hanya mengurus diri sendiri belaka."
Berkerut alis Wi Thian-bing, katanya: "Barang apa pula Bak Ti itu?"
"Bak Ti bukan barang, diapun seorang manusia," sahut Han Tin tawar.
Wi Thian-bing malah tertawa mendengar penjelasan itu, seperti kebanyakan orang yang dipanggil tay-ya (tuan besar), ada kalanya diapun senang bila ada orang mendebat dan membantah omongannya.
Han Tin berkata lebih lanjut: "Bak Ti adalah Bak Cu, keluarga Bak memangnya sering mempersulit generasi mendatang, sampaipun jiwa seseorang takkan gentar menghadapi kobaran api atau lautan golok, oleh karena itu keturunan keluarga Bak dilarang menjadi orang pengasingan, tapi mereka diharuskan menjadi Gi-su (manusia berani mati)."
Han Tin tertawa, sahutnya: "Gi-su ada terbagi beberapa macam. Ada semacam Gi-su, apa yang dilakukan kelihatan gagah perwira, tapi Bak Pek bergerak secara sembunyi-sembunyi, agaknya dia mempunyai maksud tertentu."
"Jadi, kau golongkan Bak Pek pada Gi-su macam ini?"
"Kelihatannya begitu."
"Gi-su semacam ini gampang dihadapi."
"Dihadapi bagaimana?"
"Bunuh satu kurang satu."
"Mereka tak boleh dibunuh"
"Kenapa tidak boleh dibunuh?"
"Seperti Kuncu (sosiawan), peduli Gi-su itu tulen atau palsu, dia tak boleh dibunuh."
Wi Thian-bing tertawa tergelak-gelak, katanya: "Benar, jikalau kau membunuh mereka, pasti ada orang mengatakan kau ini seorang yang tak berbudi, tidak kenal cinta kasih dan tidak tahu diri."
"Oleh karena itu mereka tidak boleh dibunuh."
"Memang tidak boleh, siapa bilang hendak membunuh mereka, biar kubunuh dia lebih dulu."
"Apa lagi bukan kerja gampang untuk memberantas mereka"
"Memang bedebah itu boleh juga"
"Sosok dari orang-orang itu mungkin tidak menakutkan, yang harus ditakuti adalah jago-jago berani mati yang dipimpinnya itu."
"Jago-jago berani mati? Apa maksudnya?", tanya Wi Thian-bing tidak mengerti.
"Maksudnya bahwa orang-orang itu setiap waktu siap berkorban demi kepentingannya."
"Memangnya mereka tidak ingin hidup?"
"Orang yang tidak pikirkan mati hidup sendiri justru merupakan musuh yang paling menakutkan. Ilmu silat yang berani mati adalah ilmu silat yang paling menakutkan pula."
Wi Thian-bing diam saja, dia menunggu penjelasan lebih lanjut.
"Karena sekali tabas kau membunuhnya, diapun akan membunuhmu dengan sekali tabasan pula."
Agaknya Wi Thian-bing kurang puas akan penjelasan ini, alisnya berkerut.
Lekas Han Tin menambahkan: "Walau kau lebih cepat turun tangan dari dia, tapi dikala kau membunuhnya, dia masih sempat membalas membunuhmu, karena begitu golokmu membacok, hakikatnya dia tidak berkelit, juga tidak berusaha menghindar, oleh karena itu pada saat golokmu membacok badannya, dia masih punya waktu untuk membunuhmu."
Tiba-tiba Wi Thian-bing maju mendekat, dengan keras dia tepuk pundak orang, katanya: "Uraian bagus! Uraian masuk di akal."
Han Tin mengawasinya saja tanpa bersuara, sekilas pandang, dia sudah mengerti maksudnya.
Kalau bukan musuh yang harus diberantas, maka dia termasuk kawan sendiri, harus dirangkul. Ini bukan saja merupakan prinsip bagi Wi Thian-bing, sejak jaman dahulu kala, seluruh keluarga besar atau pentolan Bu-lim berkuasa mempunyai prinsip yang seperti ini. Bagi orang-orang seperti mereka, prinsip ini jelas jitu dan tak terkalahkan.

"Tong Lotoa pernah bilang," Han Tin berkata lebih lanjut, "mereka hendak pergi ke kota Tiang-an."
Wi Thian-bing manggut-manggut, katanya: "Kabarnya Leng-hiang-wan adalah sebuah tempat bagus, sejak lama aku sudah ingin berkunjung ke sana."
"Leng-hiang-wan merupakan sebidang tanah luas beberapa hektar, di dalam taman tertanam laksaan pucuk kembang Bwe, sekarang sedang musimnya kembang Bwe mekar, karena itu...... '
"Oleh karena itu bagaimana?", Wi Thian-bing menegas.
"Kalau Bak Pek bisa berada di sana, kenapa kita tidak bisa ke sana pula?"
"Sudah tentu kita harus ke sana."
"Kalau mau ke sana, lebih baik seluruh tempat itu kita sewa dan monopoli sendiri."
"Akal bagus."
"Begitu Bak Pek ke sana, kita mengundangnya secara sopan, biar dia saksikan orang macam apa sebenarnya Wi-pat-tay-ya, jikalau dia bukan orang pikun, selanjutnya tentu takkan berani bertingkah di hadapan kita."
"Apakah dia orang pikun?"
"Tentunya bukan....."
Wi Thian-bing tepuk tangan sambil tertawa gelak-gelak, serunya: "Bagus, akal bagus."