Tidak tahu, sahut Sebun Cap-sha ketakutan sambil menahan sakit. Memang dia tidak tahu sampai matanya terbelalak keheranan.

Bentak Wi Thian-bing bengis: "Laki-laki sejati main bunuh, main bakar, tidak menjadi soal, tapi jikalau siapa sebenarnya teman karibnya sendiri tidak diketahui asal-usulnya, sungguh kau kurcaci ditambah bedebah, dicacah hancur seratus bacokanpun masih kurang."

Baru saja berakhir kata-katanya, tiba-tiba sesosok bayangan berkelebat, tahu-tahu sudah berdiri disamping Sebun Cap-sha. Dua tiga puluh pasang mata yang hadir dalam pendopo besar ini seluruhnya tumplek mengawasi ke arah orang yang baru datang, tiada yang tahu dari jurusan mana orang meluncur turun.

Di bawah penerangan cahaya lilin, tampak orang ini berwajah putih bersih, perawakannya tinggi rada kurus, tampangnya lumayan, sikapnya sopan santun, tindak-tanduknya seperti membawa gerak-gerik malu-malu seperti nona-nona pingitan. Tapi tiba-tiba saja dia muncul, kaki menyentuh lantai tanpa bersuara, betapa tinggi Ginkangnya, jelas di antara Cap-sha-thay-po tiada yang kuasa menandinginya. Begitu berdiri tegak, langsung dia menjura, katanya memperkenalkan diri:" Wanpwe Ting Ling, sengaja kemari menghadap Wi-pat-ya."

Melotot bundar biji mata Wi Thian-bing, bentaknya bengis: "Berani kau kemari?"

"Tidak berani tidak Wanpwe harus kemari." sahut Ting Ling.

Mendadak Wi Thian-bing terloroh-loroh serunya: "Bagus, boleh dipelihara, aku orang tua justru suka anak-anak muda yang punya pambek dan pemberani." Sebun Cap-sha dia lepaskan, lalu katanya: "Kau keparat ini sekarang sudah mengerti belum, Lim Thing adalah Ting Ling, kau bisa bersahabat dengan teman seperti ini, terhitung besar keberuntunganmu."

Dengan kesima Sebun Cap-sha mengawasi temannya yang satu ini. Setiap hadirin memang sedang perhatikan temannya ini. Nama Ting Ling memang sering mereka dengar, namun tiada orang yang pernah menduga, bahwa pemuda lemah lembut dan bergaya malu-malu seperti nona pingitan ini, kiranya adalah tokoh silat kosen dari generasi muda di Bu-lim, terutama ilmu Ginkang-nya tertinggi, yaitu Hong-long-kun Ting Ling.

Kecuali Han Tin dan Wi-pat-ya, memang tiada seorangpun yang pernah menduga, namun selebar muka Ting Ling malah merah seperti kepiting direbus.

Kata Wi Thian-bing: "Kuhajar kurcaci ini memang hendak kupancing kau keluar!."

"Entah Cianpwe ada petunjuk apa?", tanya Ting Ling dengan muka merah.

"Ada sebuah tugas ingin aku minta kau wakili aku, memangnya tugas ini hanya kau saja yang bisa melaksanakan." sikapnya tiba-tiba menjadi amat serius, katanya lebih lanjut: "Tapi bukan maksudku kau pergi mengantar jiwa, oleh karena itu sebelumnya aku ingin saksikan dulu sampai di mana tingkat ilmu Ginkang-mu?."

Ting Ling tetap berdiri di tempatnya, pundaknya tidak bergeming, lengan tidak terangkat, seolah ujung jarinyapun tidak bergerak. Tapi pada saat itu juga, badannya tiba-tiba mencelat terbang laksana burung walet, bagai angin lesus pula, tahu-tahu melesat terbang seperti hembusan angin lalu di atas kepala hadirin.

Di kala kesiur angin lesus itu putar balik tahu-tahu Ting Ling sudah berdiri di tempatnya semula, di tangannya sudah menenteng sebuah lampion besar. Lampion merah ini semula tergantung di pucuk tiang bambu di luar ruangan, tingginya ada tiga tombak lebih, dari tempatnya berdiri jaraknya ada enam tombak, tapi orang melesat terbang pulang pergi dengan cepat, enteng dan napaspun tidak memburu.

Wi Thian-bing tepuk tangan seraya tertawa gelak-gelak: "Bagus, orang sering bilang bahwa tingkat kepandaian Ginkang Hong-long-kun katanya boleh sejajar di dalam urutan lima tokoh kosen jaman ini. Hari ini setelah kusaksikan sendiri, memang tidak bernama kosong." dengan keras tangannya menepuk pundak Ting Ling, katanya pula: "Dengan bekal Ginkang-mu ini, kau boleh pergi menunaikan tugas."

"Pergi kemana?", tanya Ting Ling.

"Pergilah ke Leng-hiang-wan, periksalah apakah Lam-hay-nio-cu sebetulnya tulen atau palsu!."

Mendadak pucat raut muka Ting Ling.

"Kau tahu akan Lam-hay-nio-cu?" tanya Wi Thian-bing.

Ting Ling manggut-manggut.

"Kaupun tahu kelihayannya?"

Kembali Ting Ling manggut-manggut.

Wi Thian-bing menatapnya pula sekian lamanya, tiba-tiba bertanya: "Siapa dan orang apa gurumu?"

Ting Ling ragu-ragu seperti serba sulit, mendadak dia melangkah maju, dia melangkah mendekat serta mengucapkan dua patah kata yang amat lirih di pinggir telinga Wi-pat-ya.

Seketika berubah muka Wi Thian-bing, katanya: "Tak heran kalau kaupun tahu dulu dalam pertempuran di Thian-san, gurumu juga pernah mendapat petunjuknya yang luar biasa."

"Guru sering bilang, Ginkang dan Am-gi (senjata rahasia) Lam-hay-nio-cu tiada tandingannya di seluruh jagat. Wanpwe kuatir malam ini......."

"Kau kuatir sekali pergi takkan bisa kembali?" sela Wi Thian-bing.

Merah muka Ting Ling, katanya: "Wanpwe tidak berani terlalu mengagulkan diri, namun sedikit banyak masih mempunyai sedikit pertimbangan akan hal ini."

"Tapi ada sebuah hal yang masih belum kau ketahui."

"Mohon petunjuk."

"Untuk merawat dan mempertahankan badaniahnya supaya tidak menjadi tua, Lam-hay-nio-cu ada meyakinkan semacam lwekang dari aliran sesat yang aneh, tapi entah mengapa, latihannya belum sempurna, oleh karena itu, setiap hari tepat pada jam 12 malam, hawa murninya mendadak sering nyeleweng, paling cepat setengah jam, seluruh badannya pasti kaku mengejang, tanpa bergerak."

Ting Ling mendengar dengan seksama.

"Tapi jejaknya selalu amat terahasia, saat-saat hawa murninya sesat itu hanya terjadi pada saat yang pendek saja, oleh karena itu mesti ada orang tahu akan ciri satu-satunya ini, tiada orang yang berani mencarinya." lalu dengan suara pelan dia menambahkan: "Sekarang kita sudah tahu dalam beberapa hari ini dia jelas berada di Leng-hiang-wan. Ginkang-mu begini tinggi, asal kau bisa menemukan tempat latihan Lwekang-nya, nah...... pada tengah malam itulah kau boleh mencari akal untuk masuk membongkar kedoknya...."

"Kedoknya?" tak tahan Ting Ling bertanya, "kedok apa?."

"Biasanya dia selalu mengenakan kedok, karena sebelum dia merias dan berdandan, biasanya tak pernah menghadapi siapapun dengan muka aslinya."

Ting Ling berkata: "Kalau tiada orang melihat muka aslinya, walau Wanpwe berhasil membuka kedok dan melihat wajah aslinya, tetap aku tidak tahu tulen atau palsu?"

"Aku pernah melihat muka aslinya, pada mukanya terdapat suatu tanda yang luar biasa, asal kau melihat tanda khas ini, pasti kau mengenalnya."

"Tanda apa?" tanya Ting Ling.

Kini giliran Wi Thian-bing yang mendekat tempelkan mulut ke telinga orang, membisikkan dua patah kata. Berubah muka Ting Ling, lama dia terlongong dan serba susah, akhirnya dia coba-coba mencari tahu: "Bahwa Cianpwe pernah melihat muka aslinya, tentunya adalah teman baiknya, kenapa tidak Cianpwe sendiri yang ke sana menengok asli palsunya?"

Tiba-tiba terunjuk rasa gusar pada muka Wi Thian-bing, katanya marah-marah: "Kusuruh kau pergi, kau harus pergi, urusan lain kau tidak usah peduli!."

Ting Ling tidak banyak bicara lagi, di kala Wi-pat-ya mengamuk, tiada orang yang berani bersuara. Dengan mendelik Wi Thian-bing bertanya bengis: "Kau mau pergi tidak?"

Ting Ling menghela napas, katanya: "Bahwa Wanpwe sudah tahu akan rahasia ini, tidak inginpun terpaksa harus pergi."

Kembali Wi Thian-bing tertawa gelak-gelak, serunya: "Bagus, kau memang seorang pintar, aku orang tua biasanya suka orang-orang pintar." dengan keras dia tepuk pundak Ting Ling, katanya pula: "Asal kau mau pergi, peduli ada urusan lain apa saja, aku boleh memberikan kepadamu."

Tiba-tiba Ting Ling tertawa, katanya: "Sekarang Wanpwe hanya mohon Cianpwe suka mengijinkan sebuah permintaanku."

"Permintaan apa?"

"Wanpwe ingin memukul seseorang."

"Siapa yang ingin kau pukul?" tanya Wi Thian-bing.

Han Tin segera menjawab di sebelah sana: "Aku!"

Benar juga Ting Ling sudah putar badan pelan-pelan melangkah mendekati ke depan Han Tin, katanya tersenyum: "Benar, memang aku ingin memukulmu." senyumannya masih begitu lembut dan halus, seperti orang malu-malu, tapi tangannya tiba-tiba terayun, sekali dia hantam hidung Han Tin, kontan Han Tin terhantam terbang ke belakang beberapa kaki jauhnya.

Ting Ling menjura kepada Wi-pat-ya, katanya tersenyum: "Segera Wanpwe pergi ke Leng-hiang-wan, dalam waktu lima hari pasti ada khabarnya." habis kata-katanya, orangnya sudah menghilang.

Wi Thian-bing menghela napas, mulutnya seperti mengigau: "Anak-anak muda generasi mendatang, jauh lebih celaka di banding generasi kita, sungguh suatu kenyataan yang mengenaskan......"

ooo)O(ooo