Angin kencang tiba-tiba menghembus datang dari kejauhan, hawa terasa lebih dingin. Tapi semua laki-laki yang berdiri di belakang Tong Thong-san mencucurkan keringat dingin, telapak tanganpun basah kuyup.
Bak Pek menatap Tong Thong-san, katanya tawar: "Apakah tuan sudah mau damai?"
Toan-cap-ji tiba-tiba melompat ke depan, bentaknya bengis: "Kau tanya dulu golokku......."
Seorang laki-laki baju putih kembali tampil dari belakang Bak Pek, katanya: "Biar aku yang tanya."
"Kaupun menggunakan golok?", tanya Toan-cap-ji.
"Benar", sahut laki-laki baju putih. Begitu tangannya terkembang, dari tongkat pendeknya dia keluarkan sebilah golok.
Baru sekarang Toan-cap-ji sempat perhatikan, tongkat pendek yang mereka bawa beraneka bentuknya, ada yang lebar, tipis, ada yang bundar atau gepeng, jelas di dalamnya menyimpan berbagai senjata yang berlainan. Kalau lawan menggunakan pedang, mereka menghadapi dengan pedang, demikian pula kalau musuh pakai golok, merekapun gunakan golok.
Toan-cap-ji tertawa dingin, jengeknya: "Baik, kau lihat golokku ini", tubuhnya bergerak setengah lingkar, tahu-tahu Yan-ling-to menyambar dengan suara menderu kencang membabat ke pundak kiri laki-laki baju putih. Ternyata laki-laki baju putih tidak berkelit tidak menghindar, golok di tangannya berbareng bergerak dengan jurus Li-pik-hoa-san (berdiri membelah gunung Hoa-san), goloknyapun membabat pundak kiri Toan-cap-ji.
Tapi tingkat kepandaian Toan-cap-ji lebih tinggi dari Tong Yang, kelihatannya jurus serangannya sudah dilancarkan sepenuhnya, namun laksana kuda berhenti di ambang jurang, badan berputar kaki menggeser sekaligus tajam goloknya ikut berputar balik, dari gerak delapan penjuru yang mengandung serangan golok, mendadak berubah terbalik memukul genta mas, sinar goloknya yang kemilau laksana bianglala membelah dada laki-laki baju putih. Tak nyana laki-laki baju putihpun laksana menghentikan kuda di ambang jurang, dari gerakan delapan penjuru mengandung serangan, golok berubah terbalik memukul genta mas. Walau gerakannya sedikit terlambat, tapi jikalau Toan-cap-ji tidak lekas merubah gerakannya, umpama dia membelah lawannya, jiwa sendiripun takkan selamat.
Kalau laki-laki baju putih tidak hiraukan mati hidupnya, dia justru masih ingin hidup. Waktu melancarkan serangannya ini, sebelumnya sudah siaga menghadapi segala perubahan. Mendadak mulutnya bersiul nyaring, kedua tangan terkembang dan menggetar, badannya melambung ke tengah udara, waktu menukik turun, goloknya membacok leher laki-laki baju putih dari kiri. Kali ini dia menyerang dari atas, jelas kedudukannya lebih menguntungkan, seluruh badan laki-laki baju putih sudah terkurung di dalam sinar goloknya, bukan saja tak mampu merubah permainan, untuk menyelamatkan diripun tak mungkin lagi. Tapi orang baju putih memang tidak mau berkelit. Di kala golok Toan-cap-ji membabat leher, golok lawanpun menusuk lambung Toan-cap-ji.
Golok tiga kaki itu amblas seluruhnya, tinggal gagangnya yang masih terpegang. Keruan Toan-cap-ji memekik bagai guntur menggelegar, badannya yang kekar meluncur tegak bagai roket yang meninggalkan landasan setinggi dua tombak. Darah segar muncrat bagaikan hujan lebat, membasahi sekujur badan laki-laki baju putih. Mukanya tetap dingin kaku tak berperasaan. Setelah Toan-cap-ji terbanting jatuh dari tengah udara, baru dia ikut terjungkal roboh.
Keruan berubah hebat muka Tong Thong-san, bergegas dia melompat bangun, bentaknya beringas: "Ilmu silat macam apa itu?".
"Memangnya ini bukan ilmu silat", sahut Bak Pek tawar.
"Lalu terhitung apa?"
"Hanya sebagai peringatan belaka."
"Peringatan?"
"Peringatan ini memberitahu kepada kita, jikalau kau bertekad membunuh orang, orangpun akan membunuhmu"
Sin Su tertawa dingin: "Kukira belum tentu", jengeknya.
Dia tetap menggantol ujung pedangnya dengan jari kelingking, pelan-pelan dia maju sehingga ujung pedangnya terseret di atas salju, mengeluarkan suara gemerincing. Raut mukanya yang pucat seperti bercahaya, demikian pula sorot matanya bersinar tajam, katanya dingin: "Jikalau aku ingin membunuh, jangan harap kau bisa membunuhku."
"Kukira belum tentu." seorang laki-laki baju putih lain tampil ke depan. Habis bicara orang itu sudah berada di depan Sin Su, gerak-geriknya lincah dan cekatan.
"Belum tentu?," Sin Su menegas.
"Betapapun ketat dan ganasnya ilmu pedang, pasti dapat dipatahkan."
"Tapi ilmu pedang pembunuh takkan ada orang yang bisa mematahkan."
"Ada semacam orang."
"Orang macam apa?."

"Orang yang tidak takut mati."
"Jadi kau ini orang yang tidak takut mati?."
"Apa senangnya hidup, kenapa harus takut mati?."
"Jadi kau hidup hanya untuk mati?."
"Ya, mungkin demikian."
"Kalau demikian, biarlah ku tamatkan riwayatmu.".
Pedang tiba-tiba keluar dari serangka, dalam sekejap beruntun menusuk tujuh kali. Deru angin seperti bambu pecah. Sinar pedang bagaikan kilat. Tampak udara diliputi bintik-bintik kemilau yang bertebaran, sehingga orang sukar membedakan dan menentukan posisi yang akan di arah.
Laki-laki baju putih tidak ingin berdebat, maka dia tidak menghindar, dia berdiri diam di tempatnya tanpa bergeming, menunggu dengan tenang. Memang dia sudah siap gugur, perduli dari arah mana pedang lawan menusuk dirinya, dia tidak perduli lagi.
Tujuh kali Sin Su melancarkan tusukan, laki-laki baju putih bergerakpun tidak, gerak pedang Sin Su amat cepat dan tangkas, sekali menyerang terus ditarik balik, tujuh kali tusukan pedang hanya serangan gertak sambel belaka, mendadak kaki bergerak di permukaan salju, tahu-tahu bayangan sudah meluncur ke belakang laki-laki baju putih. Sebelumnya sudah dia perhitungkan, kedudukan mematikan lawan amat menguntungkan dirinya, jelas betapapun lihay seorang tokoh silat, takkan mungkin turun tangan pada sudut yang mematikan.
Untuk membunuh lawan, maka sedikit kesempatanpun pantang memberi peluang kepadanya sehingga diri sendiri yang terbunuh malah. Maka tusukan gertak sambel terakhir menjadi tusukan yang sesungguhnya, sinar pedang laksana kilat menusuk ke punggung laki-laki baju putih.
Terdengar "Cras...." ujung pedang yang tajam itu berbunyi masuk ke dalam kulit daging. Sin Su merasakan ujung pedang amblas menyentuh tulang di badan lawan. Tapi pada saat itu pula, dia melihat tusukan pedangnya tidak amblas di punggung orang, namun menusuk dada. Karena pada saat tusukan hampir mengenai sasaran, tiba-tiba laki-laki baju putih membalikkan badan, dengan dadanya dia sambut tusukan pedang Sin Su.
Takkan ada orang menduga kejadian ini, siapapun takkan mau menggunakan badan sendiri untuk menahan tusukan pedang. Tapi kenyataan laki-laki baju putih ini pakai badan sendiri sebagai tameng. Keruan berubah muka Sin Su, sekuatnya dia menarik pedang, sayang ujung pedang terjepit di sela-sela tulang iga lawan dengan kencang. Waktu dia menarik pedangnya, pedang laki-laki baju putih juga sudah menusuk dirinya tanpa bersuara sedikitpun, tak ubahnya seperti seorang gadis yang gemulai lembut menancapkan sekuntum kembang mekar ke dalam botol, maka pedang itu amblas ke dadanya.
Rasa sakit tidak terasakan lagi olehnya, hanya dadanya tiba-tiba dingin, kejap lain sekujur badan menjadi dingin kaku.
ooo)O(ooo
Bagai kelopak kembang merah berhamburan darah muncrat dari luka-luka mereka. Berdiri berhadapan, kau pandang aku, aku pandang kau. Laki-laki baju putih tidak mengunjuk perasaan apa-apa, sebaliknya muka Sin Su berkerut kaget dan ketakutan. Walau ilmu pedangnya jauh-jauh lebih tinggi, meski serangannya jauh lebih lihay dari Tong Yang, namun akhirnya gugur bersama.
Babak ini berakhir begitu saja. Tong Thong-san berjingkrak berdiri, namun selekasnya dia meloso jatuh duduk pula dengan lemas, selebar mukanya pucat pias. Bukan dia tidak pernah melihat orang dibunuh, tapi selamanya tak pernah terpikir olehnya, membunuh orang ternyata begini ganas dan mengenaskan, begitu menakutkan. Membunuh dan dibunuh sama-sama keji dan menakutkan.
Bak Pek menatapnya lekat-lekat, katanya dingin: "Jikalau kau ingin membunuh orang, orang lainpun akan membunuhmu pula, pelajaran ini tentu sudah dapat kau insyafi sekarang."
Pelan-pelan Tong Thong-san manggut-manggut, sepatah katapun tak bicara, karena tiada yang perlu dia katakan.
"Oleh karena itu, kaupun harus mengerti," demikian ujar Bak Pek lebih lanjut, "membunuh dan dibunuh sama-sama menderita."
Tong Thong-san percaya dan mengakui, menghadapi kenyataan ini terpaksa dia harus percaya.
"Lalu kenapa kamu masih ingin membunuh orang?", tanya Bak Pek.
Terkepal kencang tinju Tong Thong-san, katanya tiba-tiba: "Aku hanya ingin tahu, kalian bertindak demikian apa maksudnya?"
"Tiada maksud apa-apa!"
"Apakah Lo Toh yang memanggil kalian kemari?"
"Bukan, aku tidak kenal kau, akupun tidak kenal Lo Toh"
"Tapi, kalian tidak segan-segan berkorban bagi mereka"
"Bukan, kami rela gugur demi kepentingannya, kita mau mati, supaya orang lain hidup", dipandangnya mayat-mayat yang bergelimpangan, lalu berkata pula: "Ketiga orang ini memang sudah mati, tapi puluhan jiwa orang lain akan bertahan hidup lantaran kematian mereka, apalagi sebetulnya mereka tak perlu mati."
Tong Thong-san menatapnya dengan kaget, katanya: "Apa benar kalian dari Ceng-seng?"
"Kau tidak percaya?"
Tong Thong-san memang tak percaya, dia menduga orang-orang ini datang dari neraka. Tidaklah pantas dalam dunia fana ini ada manusia seperti mereka.
"Kau sudah terima?"

"Terima apa?"
"Merobah banjir darah menjadi damai tentram."
Mendadak Tong Thong-san menghela napas, katanya: "Sayang sekali umpama aku mau terima toh tak berguna."
"Kenapa?"
"Karena masih ada seorang lain yang tak mau terima."
"Siapa?"
"Wi-pat-tay-ya."
"Boleh kau suruh dia mencari aku."
"Kemana mencarimu?"
Sorot mata Bak Pek yang dingin terjun ke tempat jauh, lama sekali baru dia berkata pelan-pelan: "Di dalam kota Tiang-an, kembang Bwe di dalam Leng-hiang-wan, tentu sekarang sudah mekar........"