Masakan Ma Hwe Hwe benar-benar luar biasa, ia bisa membuat daging sapi dimasak seperti daging ayam, seperti daging bebek yang gemuk, seperti rasanya ayam arak, ada kalanya demikian lunak seperti tahu.
Ia bisa masak daging sapi menjadi beberapa macam hidangan yang berlainan rasanya, yang lebih aneh ialah rasa daging itu tidak seperti daging sapi rasanya.
Ketika tiba gilirannya hidangan kedelapan, diantar sendiri oleh Ma Hwe Hwe, pemilik plus tukang masak rumah makan itu berkata kepada para tamunya:
“Hidangan meskipun kurang baik, tetapi araknya masih boleh juga, cianpwe semua harap minum lebih banyak sedikit.”
Si Raja Garuda Lengan Satu mendadak menggeprak-geprak meja, lalu katanya dengan suara keras:
“Araknya juga tidak baik.”
Ma Hwe Hwe terkejut, hingga saat itu berdiri terpaku di tempatnya.
Masih untung Thio Bu Kek segera menyambungnya sambil tertawa:
“Araknya meskipun arak baik, tetapi jikalau tidak ada selendang merah yang menemani arak, rasa arak juga menjadi tawar.”
Si Raja Garuda Lengan Satu tertawa besar, katanya:
“Benar, itu tidak salah! Kau yang sudah pernah sekolah sudah tentu harus tahu bahwa arak sekali-kali tidak boleh dipisahkan dengan paras elok.”
Ma Hwe Hwe juga tertawa, katanya:
“Boanpwee sebetulnya juga belum pernah memikirkan hal itu, tetapi karena kwatir bahwa perempuan-perempuan di sini umumnya biasa saja, mungkin nanti malah akan tidak dipandang oleh cianpwe sekalian.”
“Kabarnya perempuan di sini kesohor, apakah seorang yang elok saja sudah tidak ada?” tanya si Raja Garuda Lengan Satu sambil mengerutkan alisnya.
“Ada sih ada, tapi cuma satu saja......”
Si Raja Garuda Lengan Satu kembali menggeprak meja dan berkata:
“Satu sudah cukup! Imam tua ini adalah seorang beribadat, Thio Bu Kek terkenal seorang laki-laki takut istri, dan tua bangka she To ini meskipun kemauannya ada, tetapi tenaganya sudah kurang, maka kau tidak perlu khawatirkan terhadap mereka, mereka pasti tidak suka!”
To Siao Thian berkata sambil tertawa:
“Benar, asal kau mencarikan seseorang saja untuk Su khong cianpwe sudah cukup, aku si tua bangka ini hanya ingin menonton di samping saja. Sebagai orang yang sudah lanjut usianya, asal dapat menonton dari samping juga sudah cukup puas.”
Thio Bu Kek juga ikut-ikutan berkata sambil berkata:
“Lelaki yang takut istri, menonton saja juga tidak baik, tetapi jikalau tidak menonton sebentar, aku masih benar-benar berat untuk pergi. Toa Ma, tolong kau pergi panggil satu kali ini saja.”
“Boanpwe sekarang hendak mencari, tapi....”
“Kenapa?” bertanya si Raja Garuda Lengan Satu sambil pendelikkan matanya.
“Nona itu sangat terkenal dengan sikapnya yang terlalu angkuh, belum tentu dapat diketemukan dengan segera” menjawab Ma Hwe Hwe.
“Itu tidak halangan, aku justru senang kepada perempuan yang angkuh, sebab perempuan yang angkuh pasti mempunyai apa yang berlainan dengan yang lain. Jikalau tidak, bagaimana ia bisa berlaku angkuh?” berkata si Raja Garuda Lengan Satu sambil tertawa besar.
“Kalau begitu, harap supaya cianpwe suka menunggu sebentar....”
“Menunggu lama sedikit juga tidak apa. Buat urusan lain aku si loya meskipun tidak mau menunggu, tetapi kesabaranku untuk menunggu perempuan justru aku mempunyai.”
Sudah hampir satu jam si Raja Garuda Lengan Satu menunggu, namun perempuan elok itu masih belum datang juga.
To Siao Thian, terus menenggak araknya berkata sambil menggelengkan kepala:
“Perempuan ini benar-benar sangat angkuh sekali.”
Si Raja Garuda Lengan Satu juga berkata sambil menggelengkan kepala:
“Kalau tua bangka ini benar-benar tidak mengerti adat perempuan, pantas kau menjadi buangan selama-lamanya....... apa kau kira perempuan itu benar-benar beradat angkuh?”
“Apakah tidak?” bertanya tiba-tiba To Siao Thian.
“Dia berbuat demikian, bukanlah karena adatnya yang benar-benar angkuh, itu hanya sengaja menarik perhatian atau kesukaan kaum lelaki saja.”
“Menarik kesukaan kaum lelaki?”
“Benar, ia tahu kaum laki-laki semuanya adalah orang yang tidak berharga, semakin lama menunggu, semakin besar perasaan tertariknya, sehingga semakin merasakan betapa berharganya perempuan itu. Perempuan yang begitu diundang segera datang, lelaki umumnya menganggap tidak berarti.”
“Sungguh suatu pendapat yang hebat, aku tak sangka saudara Su-khong bukan saja tinggi kepandaian ilmu silatmu, tetapi terhadap perempuan juga ternyata mempunyai pengertian yang mendalam.”
“Hendak mempelajari soal sifat dan adat perempuan, jauh lebih sulit dari pada mempelajari ilmu silat.”
Mendadak si Raja Garuda Lengan Satu itu berdiam sambil tertawa, lalu pasang telinga, kemudian berkata sambil tertawa:
“Nah, itu dia sudah datang.”
Baru saja ucapan itu keluar dari mulutnya, di luar pintu sudah terdengar suara langkah kaki yang halus.