Orang itu adalah sitabib terbang Kongsun Leng. Sedang dua tukang tandu tadi sungguh tidak disangka sangka ternyata adalah orang orang rimba persilatana yang berkepandaian tinggi namun tidak ditunjukkan, cepatnya mereka bergerak, benar benar sangat mengagumkan.
Empat bilah pedang itu bergerak dengan berbareng, menikam dari depan belakang, atas dan bawah, dalam waktu sekejap mata saja, sudah menutup semua jalan mundur sitabib terbang, biar bagaimana hendak mengelak, ditubuhnya pasti tidak terhindar dari dua buah lubang.
Hong Sie Nio meskipun merupakan seorang Kangouw kawakan tapi tidak menduga akan terjadinya hal demikian, ia ingin memburu dan coba mencegah juga sudah tidak keburu lagi, ia mengira kali ini sitabib terbang barangkali akan mati ditangan mereka.
Siapa sangka pada saat yang sangat berbahaya itu tubuh sitabib terbang mendadak dimiringkan, dua bilah pedang telah lewat disamping tubuhnya, dua bilah yang lain baru mengenakan bajunya, tetapi sudah berhasil dijepit oleh dua jari tangan kiri dan dua jari tangan kanan, jari tangan itu bagaikan tangan besi yang menjepit sangat kuat.
Dua tukang tandu itu mengerahkan seluruh kekuatan tenaganya juga tidak dapat bergerak sama sekali.
Sesaat kemudian, terdengar suara “tak!!’ dua kali, dua bilah pedang tajam tadi sudah dipatahkan oleh jari tangan sitabib terbang.
Dua tukang tandu itu dalam keadaan terkejut, lalu lompat mundur dan jumpalitan sejauh dua tombak.
Sitabib terbang masih memejamkan mata tapi kedua matanya menyambit keluar, dua potong ujung pedang yang tergenggam ditangannya melesat dan berubah menjadi dua benda berkeredipan.
Kemudian disusul oleh dua kali suara jeritan ngeri.
Darah segar muncrat keluar dari tenggorokkan dua tukan tandu tadi, meskipun dua orang itu sudah mati, namun gerak melesatnya mereka masih tetap hingga darah merah berceceran ditanah.
Ketika suara jeritan itu berhenti, suasana kembali berubah menjadi sunyi senyap seperti semula belum ada kejadian itu.
Dalam suasana sunyi itu, tiba tiba terdengar suara tepuk tangan nyaring.
“Siapa?” bertanya sitabib terbang dengan suara bengis. Sepasang matanya selalu terbuka lebar lebar, memancarkan sinarnya yang tajam, ditujukan ketempat dimana Hong Sie Nio sedang tempatkan diri, ia segera menampak wajah Hong Sie Nio yang sedang memandangnya dengan berseri seri.
Sitabib terbang mengerutkan alisnya, katanya: “Oh, kiranya kau”
“Sudah banyak tahun kita tidak ketemu, tak disangka Kongsun Sianseng masih tetap gagah dan lincah seperti dahulu kala, tampaknya kepandaian ilmumu semakin banyak maju lagi” berkata Hong Sie Nio sambil tersenyum.
Sepasang alis sitabib terbang semakin dikerutkan, katanya: “Sie Nio, kau demikian meerendahkan diri terhadap aku situa bangka, apakah kedatanganmu ada maksud?”
Hong Sie Nio menghela napas, katanya menggumam: “Jikalau aku berlaku baik kepada orang, orang mengatakan aku datang hendak minta pertolongan, jikalau berlaku tidak baik terhadap orang, orang mengatakan aku tidak sopan. Aiiih! Jaman ini benar benar tidak mudah menjadi orang”
Sitabib terbang mendengarkan dengan tenang diwajahnya tidak menunjukkan sikap apa apa.
“Sebetulnya aku hanya kebetulan lewat di tempat ini, tiba tiba kuingat dan ingin menengok kau, bagaimana juga, kita toh masih terhitung kawan kawan lama” berkata Hong Sie Nio.
Sitabib terbang masih tetap mendengarkan dengan tenang, tidak ada reaksi sedikitpun juga.
Hong Sie Nio mengawasi padanya sejenak, lalu menepok nepok pakaiannya sendiri dan berkata: “Kau lihat, aku toch tidak sakit, tidak terluka, untuk apa aku harus minta pertolonganmu?”.
“Sekarang bukankah kau sudah melihat aku?”.
“Ya”.
“Baik sampai ketemu lagi”.
Hong Sie Nio mengedip-ngedipkan matanya, dengan tiba-tiba tertawa terkekeh-kekeh, dan berkata:
“Benar saja kau ini seperti rase tua, siapapun tidak dapat menipumu”.
Kini sitabib terbang barulah tunjukkan tertawanya, kemudian berkata;
“Ketemu siluman perempuan seperti kau ini, aku juga terpaksa menjadi rase tua”.
Sepasang mata Hong Sie Nio berputaran lalu berkata sambil menunjuk jenasah dua orang tadi yang ada ditanah:.
“Tahukah kau siapa dua orang ini? Apa sebab ia hendak hendak membunuh kau?”.
“Aku situa bangka seumur hidupku malang melintang didunia Kang ouw, membunuh orang tak terhitung jumlahnya, kalau ada orang membunuh aku, itu juga merupakan satu hal yang wajar, perlu apa aku harus mencari keterangan asal-usul mereka?”, menjawab si tabib terbang hambar.
“Aku sudah tahu bahwa kau tidak takut mati jikalau kau dibunuh oleh seorang tingkatan muda secara tidak terang, bukannya itu sangat mengecewakan? Apakah kau kau tidak takut namamu yang sudah kesohor itu akan hancur lebur?”.
Sepasang biji mata sitabib terbang tampak bergerak-gerak menatap wajah Hong Sie Nio lama sekali, dan lalu berkata dengan suara berat.
“Kau sebetulnya hendak suruh aku berbuat bagaimana?”.
Hong Sie Nio dengan sikap tenang dan sambil berpeluk tangan berkata:
“Jikalau kau mau membantu aku, aku nanti akan membantumu mencari keterangan tentang musuh-musuhmu. Kau harus tahu mencari keterangan itu adalah keahlianku”.
Sitabib terbang menghela napas, katanya sambil tertawa getir:
“Aku memang sudah lama tahu, kau mencariku tidak mungkin ada urusan baik”.
“Tetapi kali ini benar-benar mengenai soal yang sangat baik”, berkata Hong Sie Nio sungguh-sungguh.
Ia berjongkok dihadapan tandu sitabib terbang, katanya pula:
“Bukan saja mengenai urusan baik, tetapi juga urusan besar, setelah urusan ini berhasil, kau dan aku semuanya akan mendapat kebaikan semua”.
Sitabib terbang berdiam agak lama, diwajahnya tiba-tiba menunjukkan senyum getir, katanya lambat-lambat: “Sudah tentu dikutung orang”, jawabnya sitabib terbang sambil tertawa getir.
“Siapakah yang berbuat demikian kejam?”, bertanya Hong Sie Nio.
“Aku sebetulnya juga suka membantu tenaga kepadamu, tetapi sayang kedatanganmu sudah agak terlambat”.
“Sudah terlambat? Kenapa?”, bertanya Hong Sie Nio sambil mengerutkan alisnya.
Sitabib terbang tidak menjawab, sebaliknya ia membuka selimut yang menutupi bagian kakinya, Hong Sie Nio saat itu seperti dengan mendadak diguyur air dingin, sekujur tubuhnya menjadi kaku.
Ternyata sepasang kaki sitabib terbang sudah dipotong orang sebatas lulut.
Kepandaian ilmu meringankan tubuh sitabib terbang itu sudah terlalu tinggi sekali, itulah yang mendapat dia julukan tabib terbang. Kalau ilmunya yang dinamakan burung walet terbang diatas air ia keluarkan, benar-benar ia dapat menyambar burung terbang dengan tangannya, tetapi sekarang sepasang kakinya sudah dikutungi oleh orang.
Hong Sie Nio benar-benar lebih terkejut daripada menyaksikan tanga Hoa Peng yang sudah terkutung juga oleh orang, maka ia lalu bertanya dengan sepasang mata yang membelalak:
“Apa artinya ini?”
“Siauw cap-it-long!” menjawab sitabib terbang, sepatah demi sepatah.
Hong Sie Nio mendengar disebutnya nama itu napasnya serasa berhenti, lama sekali ia dalam keadaan begitu, lalu dengan mendadak ia lompat bangun dan berkata sambil membanting kaki;
“Aku tidak memikirkan dia, mengapa kalian hendak menyebut dia?”.
“Kau seharusnya pergi mencari dia, hanya asal ia membantumu, urusan yang bagaimanapun besarnya tak usah takut tak akan berhasil?”, berkata sitabib terbang.
“Dan kau? apakah kau tidak ingin mencari dia untuk membalas dendam?”, bertanya Hong Sie Nio.
Sitabib terbang menggeleng-gelengkan kepala dan berkata:
“Meskipun ia menganiaya aku, tetapi aku tidak sesalkan dia”.
“Kenapa ?”.
Sitabib terbang memejamkan sepasang matanya, tidak menjawab lagi.
Lama Hong Sie Nio berdiam, baru terdengar suara elahan napasnya yang panjang katanya:
“Baik, kalau kau masih tidak mau membuka mulut juga, aku nanti akan ajak kau pulang saja”.
“Tak usah”.
“Mana boleh kau kata tak usah? Dengan keadaanmu seperti ini, dapat kau turun gunung ?”.
“Laki-laki perempuan ada batasnya, aku tidak berani minta pertolonganmu, Sie Nio silahkan kau lanjutkan perjalananmu!”.
“Apa laki-laki dan perempuan ada batasnya? Aku selamanya juga tidak anggap aku sebagai orang perempuan, aku selamanya tidak perdulikan hal-hal semacam itu”, berkata Hong Sie Nio sambil mendelikkan matanya.
Ia juga tidak perduli sitabib terbang itu mau tidak, sudah memondong dia dari tempat duduk diatas tandunya.
Terhadap perempuan seperti Hong Sie Nio, sitabib terbang hanya bisa tertawa getir, tidak bisa berbuat apa-apa.
Malam semakin larut, tanah kuburan itu tampaknya semakin menyeramkan, dikuburan dimana sitabib terbang berdiam, meskipun terdapat sinar lampu tetapi tampaknya seperti kelap-kelipnya api setan.
“Aku benar-benar tidak mengerti, mengapa kau suka berdiam diri ditempat semacam ini?”, bertanya Hong Sie Nio.
“Bertetangga dengan setan adakalanya lebih aman daripada berkawan dengan manusia”, menjawab sitabib terbang.
“Itu memang benar, setan setidak-tidaknya tidak bisa mengutungi kedua kakimu”, menjawab Hong Sie Nio dingin.