Ia ternyata mengerti sifat laki-laki yang benar-benar, ia tahu laki-laki yang kedudukannya semakin tinggi dan semakin banyak akal tentu semakin senang kepada perempuan yang tidak dengar kata. Sebab mereka sudah terbiasa melihat banyak orang yang selalu dengar katanya.
Jarang melihat perempuan semacam dia itu baru senang dengar perempuan yang membuat mabuk dirinya.
Benar saja, si Raja Garuda Lengan Satu sedikit pun tidak marah, sebaliknya malah tertawa semakin senang, katanya:
“Benar, benar, benar! Selanjutnya, siapa yang berani main-main dengan ibumu, aku akan potes lebih dulu lehernya!”
Kini Si Nio barulah dengan terpaksa duduk lagi.
Thio Bu Kek lalu berkata:
“Kalau nona tidak suka main-main, apakah yang nona sukai?”
“Apa pun aku tidak suka, apa pun aku tidak senang,” menjawab Si Nio.
“Satu jawaban yang sangat bagus, benar-benar lebih menarik daripada suara orang menyanyi!” berkata si Raja Garuda Lengan Satu sambil tertawa besar.
“Ucapan nona sudah demikian enaknya, nyanyiannya pasti lebih enak lagi. Entah nona bisa menyanyi apa? Sudikah nona menyanyi, supaya kami semua bisa turut merasa senang?” berkata Thio Bu Kek sambil tertawa.
HATI PEREMPUAN
“Aku tidak bisa menyanyi,” menjawab Si Nio.
“Kalau begitu......... nona tentunya bisa main mandolin?” bertanya pula Thio Bu Kek.
“Juga tidak bisa.”
“Bagaimana kalau main Tipa?”
“Lebih tidak bisa.”
Thio Bu Kek tertawa, katanya:
“Kalau begitu......... nona sebetulnya bisa main apa?”
“Aku datang hanya untuk menemani kalian minum arak, sudah tentu bisanya cuma minum arak.”
Si Raja Garuda Lengan Satu tertawa besar ketika mendengar ucapan itu, kemudian berkata:
“Bagus sekali! Bagus sekali! Bisa minum arak sudah cukup bagus, aku justru senang sekali kepada perempuan yang bisa minum arak.”
Wanita yang mengaku bernama Si Nio ini benar-benar boleh dikata bisa minum arak. Thio Bu Kek sebetulnya sengaja hendak meloloh ia hingga mabuk, supaya perempuan itu bisa lebih cepat menunjukkan tingkah-lakunya yang sebenarnya.
Tetapi Si Nio semakin banyak menenggak arak, sinar matanya semakin terang, sedikit pun tidak dapat dijejaki sampai di mana kuatnya dia minum arak. Maka itu, Thio Bu Kek sebaliknya tidak berani mengajak ia minum lagi.
Si Raja Garuda Lengan Satu sendiri tidak berani meloloh ia minum arak. Ia adalah seorang laki yang mengerti, bahwa buat menikmati orang perempuan itu sedikit mabuk, perempuan itu tidak boleh mabuk arak benar-benar.
Ia juga mengerti caranya menguasai waktu.
Ketika saatnya tiba, ia sendiri yang lebih dulu berpura-pura mabuk.
Sementara itu, Thio Bu Kek juga tahu diri, telah menganggap saatnya tiba, ia berkata sambil tertawa:
“Saudara Su-khong beberapa hari ini terlalu lelah, sekarang barangkali tidak sanggup minum arak lagi!”
“Ingin tidur saja...... aku sudah mabok, hendak tidur........”
“Toa Ma sudah menyediakan satu rumah yang tenang di belakang sana, tolong nona ini antar saudara Su-khong ke kamar!” berkata Thio Bu Kek.
Si Nio mendelikkan matanya tetapi tidak menolak, ia membimbing si Raja Garuda Lengan Satu berjalan ke luar. Perbuatan seperti ini rupanya sudah biasa dilakukannya.
To Siao Thian berkata sambil tertawa:
“Aku masih menganggap ia benar-benar tidak ada apa-apanya yang berlainan, kiranya pada akhirnya juga sama saja seperti perempuan yang lain.”
Thio Bu Kek juga lantas berkata sambil tertawa:
“Pada akhirnya, setiap perempuan dalam dunia ini memang semua sama saja. Terutama perempuan semacam ini, mereka memang lantaran hendak menjual diri baru keluar melakukan pekerjaan semacam ini. Kalau tidak buat menjual diri, tidak mungkin dia mau berbuat demikian.”
“Hanya cara menjual diri perempuan ini tadi sebetulnya agak berlainan dari yang lain,” berkata To Siao Thian sambil tertawa.
Rumah yang disediakan oleh Ma Hwe Hwe untuk keperluan si Raja Garuda Lengan Satu benar saja sangat tenang.
Begitu masuk pintu, Si Nio mendorongnya sekuat tenaga, katanya dingin:
“Mabukmu seharusnya sudah waktunya untuk sadarkan diri!”
“Mabuk arak mana bisa sadar demikian cepat?” berkata si Raja Garuda Lengan Satu sambil tertawa.
“Kau sebetulnya memang tidak mabuk, apa kau kira aku bisa kau kibuli?” berkata Si Nio sambil tertawa dingin.
“Juga tahu, sadar ialah mabuk, mabuk berarti sadar, penghidupan manusia memang seperti main sandiwara. Perlu apa kau bedakan demikian jelas?”
Ia mencari poci teh sendiri, lalu ditenggaknya begitu saja, sedang mulutnya menggumam:
“Arak terbuat dari air, tapi air benar-benar tidak seperti arak enaknya.”
Si Nio memandang padanya dengan sinar mata dingin, katanya:
“Sekarang aku sudah antar kau pulang, kau masih hendak suruh aku bikin apa?”
Dengan tangannya yang tinggal satu, si Raja Garuda Lengan Satu menarik tangan Si Nio, lalu berkata sambil menyipitkan matanya:
“Orang laki pada saat seperti ini hendak melakukan apa, apakah betul-betul kau tidak mengerti?”
Si Nio mengibaskan tangannya, katanya dengan suara keras:
“Dengan hak apa kau mengira aku perempuan semacam itu? Dengan hak apa kau mengira aku bisa melakukan perbuatan semacam itu?”
“Aku hanya bisa berbuat dengan hak ini,” berkata si Raja Garuda Lengan Satu, yang sudah lantas mengeluarkan sepotong uang mas, dilemparkan di atas meja, sedang matanya tak lepasnya terus melirik kepada Si Nio dan mulutnya berkata:
“Ini kau mau tidak?”
“Kami yang melakukan pekerjaan seperti ini, tujuannya memang buat mencari uang semata-mata. Jikalau bukan lantaran hendak mencari uang, siapa yang kesudian harus dianggap botol arak oleh orang lain?”