Hay leng-cu sendiri juga sudah berpaling untuk melihat, ia sebetulnya ingin menyaksikan bagaimana rupanya orang yang dikatakan luar biasa eloknya itu.
Pintu ruangan itu memang terbuka, hanya ditutup dengan selapis tirai saja.
Di bawah tirai tampak sepasang kaki.
Sepatu yang dikenakan oleh orang yang mempunyai kaki itu, meskipun hanya sepasang sepatu lemas yang terbuat dari kain berwarna hijau, tetapi modelnya indah, hingga membuat sepasang kaki itu juga tampak indah.
Meskipun hanya baru melihat sepasang kakinya saja, si Raja Garuda Lengan Satu sudah merasa puas.
Kepala yang luar biasa besarnya itu mulai bergoyang-goyang, satu matanya yang memancarkan sinar berkilauan terus menatap sepasang sepatu itu tanpa berkedip, sedang biji matanya juga seolah-olah seperti mau melompat keluar.
Dari luar tirai, terdengar suara orang bertanya:
“Apakah aku boleh masuk?”
Nada suaranya itu sedemikian dingin, tetapi lembut halus dan sangat merdu.
Si Raja Garuda Lengan Satu tertawa besar, katanya:
“Kau tentu saja boleh masuk, lekas.... masuklah.”
Kaki di luar tirai masih belum bergerak. Dari luar itu tiba-tiba tampak diulurkan masuk sebuah tangan.
Tangan itu sangat putih, jari-jari tangannya panjang dan halus, kukunya dipotong demikian bersih dan ramping, tetapi tidak mirip dengan seorang perempuan yang suka bersolek. Di atas kukunya hanya dipoles dengan minyak kembang.
Jari itu bukan saja indah, tetapi juga mempunyai sifat lain.
Hanya melihat tangan itu saja, sudah menimbulkan kesan bahwa perempuan itu benar-benar lain dari pada yang lain.
Si Raja Garuda Lengan Satu tidak berhentinya mengangguk-anggukkan kepala dan berkata sambil tertawa:
“Bagus,bagus....bagus sekali...”
Tangan itu perlahan-lahan mulai menyingkap tirai.
Perempuan yang berbeda dengan perempuan lainnya itu, akhirnya berjalan masuk juga.....
Dalam bayangan To Siao Thian, perempuan yang sangat angkuh itu, pasti berpakaian sangat mewah, bersolek dengan pupur tebal atau dipenuhi oleh berbagai perhiasan barang permata.
Tetapi anggapan demikian itu ternyata keliru.
Perempuan itu hanya mengenakan pakaian kain hijau yang span, tampak sederhana sekali, di wajahnya tidak terlihat bedak, atau pupur dan lipstik. Hanya di daun telinganya ada sepasang giwang yang terbuat dari mutiara kecil.
To Siao Thian merasa heran, ia sungguh tidak menyangka perempuan tuna susila dandanannya demikian sederhana, bahkan boleh dikata sedikit bersolekpun tidak ada.
To Siao Thian sudah berusia lanjut, tetapi pengertiannya terhadap kaum wanita sebenarnya tidaklah banyak. Sedangkan pengertian perempuan itu terhadap kaum pria agaknya lebih banyak. Rupanya dia tahu benar, bila ia bersolek terlalu menyolok, akan kelihatan seperti biasa saja.
Hati kaum pria memang benar-benar sangat aneh, mereka selalu mengharapkan perempuan golongan tuna susila tidak mirip dengan perempuan tuna susila, tetapi mencari yang mirip dengan gadis bangsawan, atau gadis pingitan dari keluarga baik-baik.
Tetapi apabila mereka bertemu dengan perempuan yang baik-baik, bersih suci, mereka sebaliknya mengharap wanita ini bisa mirip dengan wanita tuna susila.
Maka itu, apabila perempuan tuna susila yang bersikap dan berdandan seperti perempuan biasa golongan baik-baik, pasti menjadi terkenal, dan gadis golongan baik-baik jikalau mirip dengan perempuan tuna susila, juga pasti bisa menarik banyak kaum lelaki yang mengejar-ngejar padanya.
Thio Bu Kek meskipun takut istri, tetapi suami yang takut istri kadang-kadang juga bisa menyeleweng di luar. Di dalam dunia ini, umumnya tidak ada orang laki yang tidak suka menyeleweng seperti juga tidak ada kucing yang tidak rakus.
Begitu juga Thio Bu Kek ini, ia pernah menyeleweng beberapa kali, dalam kesannya, setiap perempuan tuna susila begitu masuk ke dalam menemui tamunya, di wajahnya selalu tersungging senyum manis.... sudah tentu senyuman itu bersifat profesional.
Akan tetapi perempuan yang duduk bersama-sama ini sebaliknya berbeda dengan wanita biasa.
Ia bukan saja tidak tertawa atau tersenyum, bahkan sepatah katapun tidak keluar dari mulutnya.
Begitu berjalan masuk, lalu duduk di atas kursi, sikapnya demikian dingin, seolah-olah sebuah patung.
Hanya patung ini benar-benar sangat elok.
Usianya agaknya sudah tidak muda lagi tetapi juga tidak terlalu tua, sepasang matanya jernih berkilat di ujungnya agak berdiri ke atas, tampaknya malah semakin menggiurkan.
Mata si Raja Garuda Lengan Satu sudah menyipit, katanya sambil tertawa:
“Baik,baik... silahkan duduk.”
Wanita itu memandang padanyapun tidak, jawabnya dingin:
“Aku sudah duduk”
“Oya benar benar! Kau sudah duduk, dudukmu bagus sekali.” berkata si Raja Garuda Lengan Satu sambil tertawa.
“Kalau begitu kau bileh lihatlah sepuas hatimu, aku memang sudah ditakdirkan hidup untuk dilihat orang” menjawab perempuan itu.
Si Raja Garuda Lengan Satu menepok meja, katanya sambil tertawa besar:
“Tua bangka, kau lihatlah.... kau lihatlah. Perempuan ini betapa menyenangkan, setiap patah kata yang keluar dari mulutnya berbeda sekali dengan orang lain, ia ternyata berani membantah aku.”
Jikalau ada orang lain berani membantah ucapannya ia pasti akan pukul kepala orang itu hingga pecah, tetapi wanita itu sudah membantah ucapannya sebaliknya ia malah merasa kesenangan.
Aih kaum wanita benar-benar hebat.
“Ku tidak tahu nona ini suka memberitahukan namanya atau tidak?” demikian To Siao Thian berkata juga tertawa.
“Namaku Sie Nio.” menjawab wanita itu lekas.
“Sie Nio?..... Pantas kau demikian tidak gembira, kelihatannya kiranya kau sedang memikirkan ibumu? Apakah ibumu juga demikian cantik seperti kau?” bertanya si Raja Garuda Lengan Satu sambil tertawa besar.
Sie Nio tidak berkata apa-apa, ia bangkit dari tempat duduknya dan lalu berjalan keluar.
Si Raja Garuda Lengan Satu berseru:
“Tunggu dulu, tunggu dulu! Kau hendak ke mana?”
“Aku hendak pergi.”
“Pergi? Kau mau pergi? Baru saja kau datang, apa sudah mau pergi lagi?” tanya si raja garuda lengan satu heran.
“Meskipun aku adalah seorang perempuan yang jual tawa dan muka manis, tetapi ibuku bukan demikian! Aku datang ke mari juga bukanlah hendak mendengar ucapan kalian yang membawa-bawa ibuku untuk dibuat permainan,” jawab Si Nio dingin.