Diujung jalan raya, ada sebuah warung bakmi kecil.
Kabarnya warung bakmi itu sudah dibuka sejak beberapa puluh tahun berselang, bahkan tidak peduli hujan angin deras, tidak peduli tahun baru atau harian sembahyang apa saja, tukan mie itu belum pernah mengaso satu hari saja.
Oleh karena itu, maka orang orang yang suka pesiar diwaktu malam, semua tak usah khawatir akan kelaparan, disebabkan seandainya benar sampai pulang tak dapat pintu dari istri, setidak tidaknya masih bisa makan diwarung mie kecil itu sehingga kenyang.
Tukang mie seorang she Thio benar-benar sudah lanjut usianya, kumis jenggot dan rambutnya semua sudah berwarna dua, saat itu sedang duduk di bangkunya, dan minum mie kuahnya sambil menundukkan kepala, lenteranya yang terbuat dari kertas sudah menjadi berwarna kuning dan kehitam-hitaman, hal ini mirip sekali dengan wajahnya.
Langganan-langganan lama yang datang ke situ, semua sudah tahu bahwa orang tua itu selamanya tidak pernah menunjukkan sikap apa-apa kecuali jikalau ia sedang minta uang, juga sedikit sekali mendengar ia mengucapkan kata-kata.
Ketika Siauw Cap-it-long dan Hong Sie Nio tiba di warung kecil itu, Siauw Cap-it-long lalu berkata:
“Mari kita makan mie di sini saja?”
Hong Sie Nio mengerutkan alisnya, lalu berkata:
“Baiklah”
“Kau tak usah mengerutkan alis, mie daging sapi di sini kutanggung kau selamanya belum pernah makan.”
Ia lalu mengambil tempat duduk di belakang sebuah meja yang sudah hampir rubuh, katanya dengan suara keras:
“Lao Thio, hari ini aku ada membawa tamu agung, bikinkan mie yang agak baik.”
Si orang tua she Thio menolehpun tidak, ia hanya melirik Siauw Cap-it-long dengan mata yang tidak menunjukkan sikap apa-apa, seolah-olah mau berkata:
“Tak perlu kau tergesa-gesa, tunggu aku habiskan dulu mie kuahku ini.”
Siauw Cap-it-long menggeleng-gelengkan kepala, katanya sambil tertawa:
“Orang tua ini adalah satu makhluk yang aneh, jangan kita ganggu dia”
Siauw Cap-it-long yang namanya menggemparkan rimba persilatan tidak berani mengganggu seorang tua penjual mie, ucapan ini keluar dari mulutnya sendiri, siapakah yang mau percaya? Maka itu Hong Sie Nio merasa geli juga mendongkol.
Lama mereka menunggu si tukang mie tua she Thio barulah mengeluarkan dua piring sayur sepoci arak diletakkan di atas mejanya yang butut, setelah itu ia berjalan pergi lagi tanpa menoleh juga.
Hong Sie Nio tidak tahan rasa gelinya, ia berkata:
“Kau barangkali masih ada hutang arak padanya!”
Siauw Cap-it-long membusungkan dada, katanya sambil tertawa:
“Aku sebetulnya masih hutang padanya serenceng uang, tetapi kemarin dulu aku sudah lunasi....”
Hong Sie Nio memandang padanya lama sekali, baru menghela napas perlahan dan berkata:
“Orang-orang dunia Kang-ouw semua mengatakan bahwa Siauw Cap-it-long adalah seorang Kang-ow merangkap berandal besar yang turun tangan paling cepat dan padangan mata paling jitu selama lima ratus tahun ini, ada siapa yang tahu bahwa Siauw Cap-it-long hanya mengundang kawannya makan mie dengan daging sapi, bahkan ada kemungkinan masih perlu hutang”
Siauw Cap-it-long tertawa besar, katanya:
“Ada aku yang tahu, juga ada kau yang tahu, apakah itu masih belum cukup?.... Mari, minum secawan”
Begitulah orangnya Siauw Cap-it-long, ada orang memaki dia, ada orang membenci dia, juga ada orang yang suka dia, tetapi sedikit sekali orang yang mengerti jiwanya.
Ia juga tidak mengharapkan orang bisa mengerti akan dirinya, selamanya belum pernah memikirkan untuk diri sendiri.
Jikalau anda sebagai Hong Sie Nio, maka anda suka padanya atau tidak?
Hong Sie Nio memiliki suatu kelebihan yang paling baik. Kalau orang lain minum banyak bisa menjadi mabok seperti orang sinting, atau sepasang matanya bisa menjadi lamur, tapi dia tidak.
Semakin banyak dia minum, sinar matanya sebaliknya semakin terang, siapapun tidak bisa mengetahui ia sudah mabuk atau belum. Sebetulnya ia tidak terlalu kuat minum, tetapi sedikit sekali orang yang berani bertaruh minum dengannya.
Dan sekarang, sinar matanya demikian terang seperti lampu pijar, sepasang matanya terus menatap Siauw Cap-it-long, suatu ketika mendadak ia berkata:
“Kisah tentang golok itu, apakah kau tidak ingin dengar?”
“Aku sudah tidak ingin dengar lagi” menjawab Siauw Cap-it-long.
Lama juga Hong Sie Nio mengendalikan perasaannya, akhirnya ia tidak sabar lagi dan bertanya:
“Mengapa kau tidak ingin dengar?”
“Sebab jikalau aku bilang mau dengar, kau bisa lantas tidak mau menceritakan. Sebaliknya jikalau aku kata tidak ingin dengar mungkin kau bisa menceritakannya sendiri kepadaku.”
Belum habis ucapannya, Hong Sie Nio sudah tidak dapat menahan rasa geli dihatinya, hingga ia tertawa besar, sedang mulutnya memaki-maki:
“Kau ini benar-benar setan.... orang lain sering mengatakan bahwa aku adalah siluman perempuan, tetapi aku siluman perempuan ini jikalau bertemu dengan kau setan laki-laki ini juga tidak berdaya sama sekali.”
Siauw Cap-it-long hanya menenggak araknya saja tidak menjawab. Ia tahu bahwa saat itu ia tidak bisa menjawab. Apabila ia menjawab sepatah saja, ada kemungkinan Hong Sie Nio tidak mau bercerita atau mengatakan apa-apa lagi.
Terpaksa Hong Sie Nio menyambung ucapannya sendiri, katanya:
“Sebetulnya, tidak perduli kau ingin dengar atau tidak aku tetap akan menceritakan juga padamu. Golok itu namanya Kwa liok to!”.
“Kwa liok to?”.
“Benar Kwa liok to!”.
Nama ini sunguh aneh dan baru pula, dahulu aku belum pernah mendengar nama semacam itu?”.
“Sebab golok ini baru keluar dari perapian belum sampai setengah tahun”.
“Sebilah golok yang baru saja dibuat ternyata sudah dapat mengutungkan benda pusaka kuno, kekuatan tenaga dalam orang yang membuatnya, apakah dibandingkan dengan seorang tukan membuat senjata tajam pada jaman perang?”.
Hong Sie Nio tidak menjawab, sebaliknya ia bertanya:
“Sesudah beberapa pembuat golok kenamaan seperti Kan Tjiang, Bo Gee, Auw-tie Tju dan lain-lannya, masih ada satu tukang membuat pedang dan golok kenamaan yang tidak pernah muncul didunia Kang ouw. Tahukah kau siapa dia?”.
“Apakah dia bukan Cie hujin?”.
“Benar, tidak kusangka kau benar-benar mempunyai sedikit pengetahuan?”.
“Cie Hujin bukanlah seorang wanita, ia hanya seorang she Cie bernama Hujin. Pedang yang digunakan Keng Ko untuk membunuh raja Cin, adalah pedang buatan dari Cie Hujin ini.
Sekarang mata Siauw Cap-it-long bergerak-gerak, tiba-tiba berkata:
“Golok Kwa liok to itu apakah dibuat oleh Cie lu Ci Cie taysu?”.
“Kau juga tahu”, bertanya Hong Sie Nio heran.
Siauw Cap-it-long hanya tertawa saja kemudian baru berkata:
“Cie Lu Cu adalah keturunan dari Cie Hujin, kau sekarang mendadak mengatakan tentang diri Cie Hujin, sudah tentu ada sedikit hubungannya dengan golok Kwa liok to itu”.
Sinar mata Hong Sie Nio menunjukkan sikapnya yang memuji, katanya:
“Benar, golok Kwa liok to itu memang buatan Cie taysu. Lantaran golok itu, ia hampir saja menggunakan waktu dan tenaganya seumur hidup. Nama Kwa liok itu diambil dengan maksud: “Kerajaan Cin kehilangan liok atau manjangan, orang-orang seluruh dunia pada mengejar, hanya yang menang dan mendapatkan manjangan dan memotongnya. Maksudnya juga, hanya seorang pendekar nomor satu yang dinamakan Kwa liok to ini!. Ia terhadap goloknya ini terlalu bangga, disini kita dapat membayangkan sendiri”.
Sepasang mata Siauw Cap-it-long memancarkan sinar terang, tanyanya cemas:
“Kau tentunya sudah pernah melihat golok itu?”.
Hong Sie Nio memejamkan mata, menghela napas panjang dan berkata sambil tertawa:.
“Itu benar-benar sebilah golok pusaka, pedang Cek-hee ketemu dengannya seolah-olah berubah menjadi besi karatan”.
Siauw Cap-it-long lebih dulu mengeringkan arak dalam cawannya, kemudian berkata sambil menepuk meja:
“Golok pusaka seperti itu, entah aku ada jodoh melihatnya atau tidak?”.
“Kau sudah tentu masih ada kesempatan dapat melihatnya”.
Siauw Cap-it-long tiap-tiap menghela napas kemudian berkata:
“Aku tidak kenal dengan Cie-taysu, dengan cara bagaimana ia mau memperlihatkan golok pusakanya kepada orang yang belum pernah dikenalnya?”.
“Golok itu sekarang tidak berada ditangan Cie Lu cu”.
“Lalu ada dimana?”.
“Aku sendiri juga tidak tahu”.
Siauw Cap-it-long kali ini benar-benar tercengang, ia mengangkat cawan araknya, lalu diletakkan kembali, ia bangkit dari tempat duduknya dan berjalan berputaran kemudian duduk lagi, lalu mengambil sepotong daging sapinya, sudah lupa dimasukkan kedalam mulutnya.
Hong Sie Nio tertawa geli, katanya:
“Tak kusangka aku juga bisa mendapat kesempatan menyaksikan kau demikian cemas. Bagaimanapun juga, kalau masih muda tentu tidak dapat menahan kesabarannya”.
Siauw Cap-it-long mengawasi Hong Sie Nio sambil kedip-kedipkan matanya, kemudian berkata:
“Kau kata aku seorang muda? Aku ingat kau masih muda dua tahun daripadaku”.
Hong Sie Nio memaki-maki sambil tertawa:
“Setan kecil, kau jangan coba menyanjung-nyanjung aku lagi!, Aku lebih tua daripadamu lima tahun, empat bulan dan tiga hari, kau seharusnya panggil aku enci baru benar”.
“Enciku, kau ingat demikian jelas?”, berkata Siauw Cap-it-long sambil tertawa getir.
“Adik, kau masih tidak lekas menuangkan arak untuk encimu?”.
“Ya ya ya ya ku akan tuangkan arak”.
Hong Sie Nio melihat menuangkan arak, baru berkata sambil tertawa:
“Ha..... itulah baru namanya adikku yang baik”.
Ia sedang tertawa, tapi dimatanya toh masih menunjukkan sikap sedih, sehingga air matanya seolah-olah hendak mengalir keluar, ia mengangkat kepala dan minum kering arak dicawannya, baru berkata lagi lambat-lambat:
“Golok Kwa-liok-to itu kini sedang dalam perjalanan menuju kedaerah ini”.
Siauw Cap-it-long panik mendengar ucapan itu, hampir saja araknya tertumpah diatas meja, tanyanya pula dengan sikap cemas:
Disepanjang jalan ada orang yang melindungi golok itu atau tidak?”.
“Golok pusaka yang demikian kesohor, mana bisa tidak ada orang melindunginya?”.
“Siapakah orang yang melindunginya?”.
“Thio Bu Kek......”.
Baru saja Hong Sie Nio mengucapkan nama itu, Siauw Cap-it-long sudah merasa tertarik, lalu memotongnya :
“Thio Bu Kek ini, apakah bukan ketua golongan Bu kek dahulu?”.
“Kalau bukan dia siapa lagi?”.
Siauw Cap-it-long diam sesaat lamanya barulah perlahan-perlahan menganggukkan kepala, agaknya sudah menetapkan suatu rencana dalam hatinya.
Hong Sie Nio terus menatap wajahnya, memperhatikan perubahan sikap pada wajahnya, kemudian berkata pula:
“Kecuali Thio Bu Kek, masih ada lagi Koan tong tayhiap To Siao Thian, satu-satunya tokoh jago pedang golongan Hay lam yang bernama Hay leng cu......”.
“Sudah cukup, tiga orang ini saja sudah cukup”.
“Tetapi mereka masih belum anggap cukup, maka mengundang lagi Su-khong Koan yang mendapat nama julukan raja garuda lengan satu dengan satu tangan dahulu pernah membinasakan delapan penjahat besar, yang membuat namanya jadi tekenal”.
Siauw Cap-it-long tidak berkata apa-apa lagi.
Hong Sie Nio masih terus menatap wajahnya, katanya pula:
“Ada empat orang ini yang melindungi golok pusaka itu, dalam dunia rimba persilatan pada dewasa ini, barangkali sudah tidak ada orang yang berani merampas golok itu lagi”.
Siauw Cap-it-long mendadak tertawa besar katanya:
“Bolak-balik kau berkata, ternyata cuma ingin memanaskan hatiku supaya dapat merebut golok itu untukmu”.
“Apa kau tidak berani?”.
“Kalau aku merebut golok untuk kau, golok itu selanjutnya akan menjadi milikmu, dan aku masih tetao bertangan hampa!”.
Hong Sie Nio menggigit bibir, katanya:
“Mereka memasuki benteng ini dengan membawa dan melindungi golok itu, tahukah kau apa sebabnya?”.
Siauw Cap-it-long menggeleng-gelengkan kepala, katanya sambil tertawa:
“Tidak tahu, dan aku juga tidak perlu tahu. Sebab, biar bagaimana mereka tentunya tidak akan mungkin mau memberikan golok itu kepadaku.”
“Taruhlah kau tidak berani merampas golok itu, apakah kau juga tidak ingin melihatnya saja?”
“Tidak!”
“Kenapa?”

(Bersambung Jilid 2)