JJikalau aku sudah melihat golok itu, mau tidak mau akan tergerak dan tertarik hatiku. Dan kalau sudah begitu, mau tak mau tentu akan timbul juga pikiran jahat untuk merampasnya. Kalau tidak berhasil, maka akibatnya akan kehilangan nyawa.”
“Dan bagaimana jikalau berkasil kau rampas ?”
“Jikalah ku berhasil merampasnya, kau tentunya akan minta padaku. Meskipun aku merasa berat, juga tidak enak tidak kuberikan kepadamu. Maka itu, sebaiknya aku tidak usah melihatnya saja.” kata Siauw Cap-it-long sambil menghela nafas.
Hong Sie Nio berbangkit sambil menjejakkan kakinya, katanya dengan suara gemas bercampur dongkol :
“Kiranya kau demikian tidak ada gunanya. Aku benar-benar salah ukur terhadap dirimu, Baik, kalau kau tidak mau, biarlah aku sendiri yang pergi, biar tidak ada kau, kau boleh lihat aku bisa mati atau tidak.”
“Sifatmu yang setelah melihat barang baik, lantas ingin dapatkan, benar-benar aku tidak tahu sampai kapan bisa kau rubah.” berkata Siauw Cap-it-long sambil tertawa getir.
Raja garuda lengan satu.
KOTA ITU tidak besar, tetapi cukup ramai, sebab kota itu merupakan pusat yang harus di lalui oleh para pedagang yang pergi atau pulang, dari daerah luar benteng dengan daerah Tiong-goan. Pedagang-pedagang kolesom, kulit dan kuda dari daerah Koan-tong, pedagang-pedagang mas yang hendak mendatangkan barang mas dari gurun pasir kedaerah Tiong-goan, hampir semuanya singgah satu atau dua malam di tempat itu.
Justru lantaran banyaknya pedagang yang lalu lintas dan singgah di kota itu, barulah menjadikan kota itu luar biasa ramainya.
Di kota itu ada dua hal yang paling ter.
Satu ialah soal makan, kaum pria di dalam dunia ini jarang sekali yang tidak suka makan enak. Disini terdapat berbagai macam makanan yang berbeda-beda jenisnya, untuk memenuhi selera para tamunya.
Daging kambing dikota itu bahkan lebih gemuk dan lebih murah dari daging kambing yang terdapat di kota raja, rumah makan Ngo-hok-lauw terkenal dengan hidangannya apa yang dinamakan kepala singa dimasak asam manis, hidangan dari rumah makan itu tidak kalah dengan hidangan di kota Hang-ciu yang terkenal.
Sekalipun tamu yang paling cerewet, disini juga akan merasa puas.
Kedua sudah tentu soal perempuan, perempuan yang dimaksudkan disini ialah perempuan golongan “P”, kaum pria di dunia ini sedikit sekali jumlahnya yang tidak suka perempuan, Disini terdapat berbagai tingkat kaum wanita golongan “P”. Orang boleh pilih sesukanya, yang sesuai dengan keinginannnya.
Disuatu kota hanya mempunyai dua rupa hal yang terkenal, meskipun tidak terhitung banyak, tetapi kedua hal itu sudah cukup menarik perhatian buat banyak kaum lelaki yang singgah disitu.
Satu rumah makan yang bernama In-tek-goan, pemiliknya bernama Ma Hwe Hwe bukan saja bisa membuat daging dari seekor sapi, bisa di jadikan sebanyak seratus delapan macam sayuran yang berlainan rasa, tetapi juga merupakan salah seorang terkenal sebagai jago gulat di daerah luar bentengan.
Rumah makan In-tek-goan tidak terlalu besar, hiasan dan perlengkapannya juga tidak terlalu indah. Tetapi pemiliknya Ma Hwe-Hwe, dengan ikat pinggang kulit sampingnya yang lebar, dengan batok kepalanya yang botak, berdiri di depan pintu sambil memegang perutnya yang gendut, merupakan reklama hidup dari rumah makan tersebut.
Orang-orang kalangan kang-ouw yang melalui kota itu, jikalau tidak berkunjung ke rumah makan In tek-goan untuk minum secangkir dua cangkir arak, dengan Ma Hwe-Hwe seolah-olah kurang berarti.
Pada hari-hari biasanya meskipun Ma Hwe Hwe juga selalu menunjukan wajahnya berseri-seri semangatnya yang selalu segar tetapi hari itu Ma Hwe Hwe lebih gembira.
Hari belum lagi terlalu terang, Ma Hwe Hwe sudah tidak henti-hentinya berjalan keluar rumah makannya, matanya selalu ditujukan ke jalan raya seolah-olah sedang menantikan kedatangan tamu agung.
Hampir menjelang hari petang, dari jalan raya benar saja mincul sebuah kereta kuda yang di cat hitam, kereta itu ditarik oleh empat ekor kuda besar, larinya pesat sekali berjalan di jalan raja yang banyak orang lalu lalang juga tidak mengendurkan lari kudanya. Untung kusir kereta tampaknya cukup pandai mengendalikan kudanya. Juga lantaran empat ekor kuda yang menarik kereta itu merupakan kuda-kuda jempolan yang disah terlatih dengan baik, maka meskipun kereta itu larinya pesat, tapi tidak sampai menimbulkan kecelakaan lalu lintas.
Di jalan raya itu meskipun tidak sedikit jumlahnya kereta kuda yang mondar-mandir tetapi kereta kuda yang demikian besar dan mewah masih jarang tampak, sudah tentu menarik banyak perhatian dari penduduk dan tamu dari luar kota yang berada di kota itu, mereka pada keluar menyaksikan dengan perasaan terheran-heran.
Kereta mewah itu baru berhenti di depan rumah makan In tek-goan, Ma Hwe Hwe sudah maju menyongsong, dan dengan wajah berseri-seri membuka pintu keretanya.
Orang-orang yang menyaksikannya, pada merasa heran, meskipun Ma Hwe Hwe seorang pedagang, tapi biasanya tidak mau merendahkan derajat sendiri, untuk menyongsong setiap tamunya, hari ini mengapa kelakuannya demikian hormat terhadap tetamu yang di dalam kereta itu ?
Orang pertama yang turun dari atas kereta ialah seorang laki laki setengah baya bermuka putih dan di bawah hidungnya tumbuh kumis yang jarang, mukanya yang bulat sering-sering unjukkan senyumnya, tubuhnya yang sudah mulai gemuk mengenakan jubah panjang sutera hijau berkembang-kembang yang sepadan sekali dengan tubuhnya, sikap orang ini tampak ramah, tampaknya seperti keturunan raja-raja atau kongcu yang sedang pesiar dalam pakaian preman.
Ma HWe Hwe segera mengangkat kedua tangannya memberi hormat, seraya berkata sambil tersenyum :
“Thio tayhiap datang dari tempat yang jauh, tentunya sudah letih sekali, silakan dulu didalam.”
Laki-laki setengah baya itu juga membalas hormat sambil tersenyu, dan berkata :
“Tuan Ma terlalu merendahkan diri, silakan.”
Orang banyak, terutama orang-orang dari kalangan Kang ouw yang pada berdiri berjubal menonton di tepi jalan, ketika mendengar ucapan Ma Hwe Hwe dan sebutannya kepada terhadap orang itu, dalam hari samar-samar sudah dapat menduga siapa adanya laki-laki setengah baya itu, hingga mata mereka tampak terbuka semakin lebar.
Apakah orang ini adalah ketua dari golongan Bu-kek, Thio Bu Kek yang dengan satu tangan dengan ilmunya Sian-thian-bukek, dan ilmu pedang Bu-kek-kiam pernah menggemparkan rimba persilatan ?
Dan siapakah orang kedua yang akan turun dari kereta itu ?
Orang kedua yang turun dari kereta itu adalah seorang tua berambut putih, orang tua ini dandanannya sederhana, hanya baju atas berwarna abu-abu, bagian bawah mengenakan pakaian berwarna biru, selain dipinggangnya dengan ikat pinggang warna putih, ditangannya membawa pipa rokok panjang, tampaknya seperti orang desa yang sangat bodoh, tetapi kalau sepasang matanya bergerak, memancarkan sinar yang menakutkan.
Ma Hwe Hwe segera membungkukkan badan dan tertawa sambil berkata :
“To loya, beberapa tahun tidak lihat, keadaan loya tampaknya semakin sehat.”
Orang tua itu mengangkat kepala dan tertawa terbahak-bahak :
“Semua ini adalah berkat kawan-kawanku yang masih hidup.”
Orang tua itu seorang she To, tentu dia adalah orang yang berdiam di Koan-tong selama empat puluh tahun, pipa panjang ditangannya itu selain berfungsi sebagai pipa rokok, tetapi juga khusus digunakan untuk menotok jalan darah ditubuh manusia, di kalangan Kang-ouw mendapat julukan Koan-tong tayhiap tukang totok jalan darah, nama yang sebenarnya ialah To Siao Thian! Dalam kereta ada dua orang yang terkenal namanya itu, mungkinkah orang ketiga adalah seorang lemah ?
Orang banyak pada kasak kusuk, membicarakan kedatangan orang-orang itu, perhatian mereka menjadi besar.
Orang ketiga yang turun dari kereta adalah seorang imam jangkung dan kurus kering. sedang hidungnya seperti hidung betet dan pelipisnya tampak menonjol.
Dia seorang beribadat, tetapi pakaiannya sangat mewah, pada jubahnya yang berwarna ungu, terdapat sulaman benang emas, di belakang punggungnya mencoren sarung pedang yang terbuat dari kulit ikan paot, di bagian atas dilapis dengan mas,pedangnya juga merupakan sebilah pedang panjang yang bentuknya aneh.
Sepasang matanya yang sipit selalu memandang ke atas, seolah-olah tidak pandang mata kepala semua orang.
Ma Hwe Hwe menunjukkan sikapnya yang lebih menghormat, katanya sambil membongkokkan badan:
“Boanpweh sudah lama dengar nama besar Hay totiang, hari ini bisa bertemu sebetulnya merasa sangat beruntung sekali!”
Imam tua itu memandangpun tidak, hanya mengangguk-anggukkan kepada dan menyahut dengan seenaknya: “Hm, hm!”
Hay hotiang? apakah imam itu yang mendapat julukan Hat leng cu?
Ilmu pedang dari golongan Hay-lam, terkenal dengan gerakannya yang cepat dan aneh, jago pedang golongan Hay-lam, semuanya juga mempunyai sifat yang aneh-aneh, selamanya tidak suka mengadakan perhubungan dengan orang-orang golongan lain.
Dalam pertempuran di pulau tong-ya pada tujuh tahun berselang, yang pernah menggemparkan rimba persilatan. pocu pulau itu dengan tiga belas muridnya, semua terbinasa di bawah pedang golongan Lam-hay, akan tetapi sembilan tokoh golongan Lam-hay juga mati hanya tinggal Hay-leng-cu seorang yang masih hidup, sejak pertempuran itu, nama Hay-leng-cu semakin kesohor, tetapi juga semakin tidak pandang mata orang lain.
Mengapa hari ini ia bisa datang bersama-sama dengan Thio Bu kek dan thio Siao Thian? Yang paling mengherankan ialah, tiga orang itu setelah turun dari keretenya tidak ada satu yang langsung masuk ke dalam, semuanya pada berdiri di pinggir pintu, rupanya mereka masih menunggu turunnya orang keempat.
Lama sekali, dari dalam kereta baru tampak turun seorang lagi.
Orang itu begitu turun dari keretany6a, semua pada terkejut.
Orang itu sesungguhnya terlalu aneh.
Tinggi tubuhnya tidak cukup lima kaki, namun kepalanya besar sekali, rambut diatas kepalanya yang awut-awutan dengan alisnya yang tebal hampir menjadi satu garis, mata kirinya memancarkan sinar berkilauan, namun mata yang kanan tampaknya tidak bercahaya seperti mata ikan yang sudah mati. Di atas bibir kumisnya tumbuh seperti rumput tak karuan tebal dan merah bagaikan darah.
Lengan kanannya sudah terkutung sebatas bahu, yang tinggal hanya sebuah lengan kiri yang panjangnya sangat menakutkan, jikalau diluruskan mungkin dapat mencapai ujung kakinya.
Tengannya itu masih menenteng sebuah bungkusan panjang yang terdiri dari kain berwarna kuning.
Kali ini Ma Hwe Hwe tidak berani mengangkat muka sama sekali, dengan sikap yang sangat hormat sekali, ia berkata sambil tertawa:
“Dengar kabar locianpwe hendak datang maka teecu sengaja memilih seekor sapi jantan ...”
Dengan sikap kemalas-malasan orang berlengan satu itu mengangguk-anggukkan kepalanya dan berkata:
“Sapi jantan lebih baik dari pada sapi betina, tetapi entah dalam keadaan mati, ataukah masih hidup?”
“Sudah tentu masih hidup. teecu sengaja tingglkan untuk locianpwe dahar dalam keadaan segar.” menjawab Ma Hwe Hwe dengan muka berseri-seri.
“Bagus, bagus! Mempunyai cucu seperti kau ini, masih boleh juga, masih mengerti caranya menghormati orang tua” berkata orang berlengan satu itu sambil tertawa besar.
Ma Hwe Hwe dianggap sebagai cucu, ternyata masih menunjukkan sikap yang sangat girang, orang yang tidak mengetahui asal usul orang tua berlengan satu itu, dalam hati sedikit banyak tidak habis mengerti.
Tetapi ada sebagian orang yang sudah menduga siapa adanya orang tua berlengan satu itu, dalam hati sebaliknya anggap Ma Hwe Hwe sangat beruntung, sebab bisa dianggap cucu oleh orang yang mempunyai nama julukan raja garuda lengan satu, sebetulnya bukan suatu soak yang sangat mudah.
Dibagian belakang rumah makan In tek goan, ada sebuah pekarangan kecil, disediakan khusus untuk tamu-tamu agung, didalam pekarangan itu ada sebuah gunung-gunungan itu ada beberapa pohon besar.
kini dibawah pohon besar itu ada seekor sapi yang dicancang dengan tambang besar.
Sapi itu luar biasa besarnya, sepasang tanduknya besar dan runcing, seolah-olah dua bilah golok.
Bungkusan kuning ditangan raja garuda lengan satu tadi, kini entah emana disimpannya, saat itu ia sedang berputaran mengitari sapi jantan itu, sedang mulutnya mengeluarkan suara cericisan, berkata tidak berhentinya:
“Bagus, bagus, .......”
To Siao Thian yang menyaksikan itu berkata sambil tersenyum:
“Saudara Su-khong, kalau sudah merasa puas, mengapa masih belum turun tangan?”
“Kau si tua bangka tidak berguna ini, apa ingin menonton pertunjukkanku?” berkata si raja garuda berlengan satu sambil tertawa cekikikan.
Kemudian dengan tiba-tiba ia melambaikan tangannya di depan mata sapi jantan itu. Keruan saja sapi itu yang mendadak dikejutkan, menundukkan kepala, dengan kedua tanduknya yang runcing menyeruduk perut si raja garuda.
Si Raja Garuda membentak sambil tertawa besar:
“Bagus!”
Sementara itu, tubuhnya yang pendek mengelak, entah dengan cara bagaimana, ia sudah berada di perut sapi, sedang satu tangannya yang panjang bergerak, ternyata sudah masuk ke dalam perut sapi besar tadi.
Sapi jantan yang merasa kesakitan, lompat-lompatan ke atas, sehingga tambang besar yang mengikat lehernya telah terputus, sapi itu menerjang ke depan, darah segar mengucur keluar dari bawah perutnya dan dalam keadaan kalap sudah menubruk dinding tembok pekarangan.
Dinding tembok itu diseruduk sehingga terjadi sebuah lubang, sebagian tubuh sapi jandan itu masuk ke lubang tadi. Sapi itu meronta-ronta seperti kalap, tapi karena darahnya mengucur terlalu banyak, akhirnya tidak bisa bergerak lagi.
Pada saat itu, hati sapi besar tadi sudah berada di tangan si Raja Garuda lengan satu. Ia tertawa besar dan membuka mulutnya, hati sapi yang baru dirogoh dari perutnya itu telah dimakan begitu saja.
Suara mengunyah hati sapi yang baru dikeluarkan dari dalam perutnya itu kedengarannya begitu keras, benar-benar dapat membuat bulu roma orang yang melihatnya.
Hay leng cu yang menyaksikan perbuatan si Raja Garuda Lengan Satu, mengerutkan alisnya, ia berpaling tidak berani mengawasi lagi.
Si Raja Garuda Lengan Satu tampaknya sangat bangga sekali, ia berkata sambil tertawa cekikikan:
“Kau tidak perlu mengerutkan alismu, dengan orang seperti kau, jikalau ingin makan hati sapi hidup-hidup secara demikian, barangkali tidak mudah, sedikitnya kau masih perlu melatih ilmu cengkeraman kaki garuda sepuluh tahun lamanya.”
Di wajah Hay leng cu yang angkuh tampak marah, katanya dingin:
“Aku tidak perlu melatih segala ilmu cengkeraman kuku garuda.”
Si Raja Garuda Lengan Satu pendelikkan matanya dan berkata:
“Kau tidak perlu mempelajari atau melatih, apakah kau tidak pandang mata ilmu cengekeraman kuku garuda loyamu ini?”
Sebelah tangannya yang masih berlumur darah segera sudah menyambar kepada Hay leng cu.
Hay leng-cu lompat mundur hingga delapan kaki, parasnya semakin pucat.
Si Raja Garuda Lengan Satu mendongakkan kepala dan tertawa besar, katanya:
“Imam kecil, kau tak usah takut, aku si loya hanya main-main menggertak kau saja. Aku dengan imam tua gurumu itu adalah sahabat baik, bagaimana aku boleh menghina kau si bocah ini?”
Hay leng-cu sudah berusia lima puluh tahun lebih, tak disangka masih ada orang panggil ia bocah, hingga dua tangannya gemetaran bahna menahan hawa amarahnya, namun ia tidak mempunyai nyali untuk menghunus keluar pedangnya.
Kekuatan tenaga si Raja Garuda Lengan Satu yang dapat menoblos perut sapi dan mengambil hati dari dalam perutnya, bukan saja menunjukkan kekuatan tenaganya yang besar, tetapi juga menunjukkan sifatnya yang kejam, benar-benar membuat orang lenyap keberaniannya.
Perjamuan makan yang diadakan di ruangan besar rumah makan itu, sudah mulai masuk dalam ronde ketujuh.